Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28. Terlambat
Di dalam mobil pribadinya yang berhenti di basement kantor, Tessa menatap layar ponselnya dengan ekspresi dingin. Jemarinya bergerak cepat, mengetik pesan, lalu menghapusnya kembali. Ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya sejak David menyebut nama "Leon" siang tadi.
Leon.
Nama itu tidak asing. Tapi sangat... mengganggu.
Tessa mengingat kembali percakapan di restoran tempo hari—saat pria tinggi tegap dengan tatapan tajam itu berkata:
“Semakin cepat David melepas Ghea, semakin cepat aku bisa memperistrinya.”
Perkataan itu dulu terdengar seperti lelucon. Tapi sekarang, setelah semua ini… Tessa tak bisa lagi menganggapnya sepele.
Ia meraih ponselnya, menekan kontak yang hanya ia hubungi saat butuh pekerjaan kotor diselesaikan rapi.
“Selidiki seseorang untukku,” ucap Tessa saat telepon tersambung. “Nama lengkapnya Leon. Aku akan kirimkan sketsa wajahnya.”
Suara di seberang menjawab singkat, “Kau ingin aku cari apa?”
Tessa menatap ke luar jendela, matanya menyipit tajam. “Semua. Latar belakang, keluarga, aset, pekerjaannya. Siapa saja yang pernah dekat dengannya. Aku mau tahu apakah pria itu sungguh tertarik pada Ghea, atau hanya… mengejar sesuatu.”
Diam sebentar, lalu ia menyeringai.
“Karena tak masuk akal pria seperti itu jatuh cinta pada istri orang yang bahkan lebih tua darinya… kecuali dia sedang memburu sesuatu yang jauh lebih besar dari cinta.”
Sore itu, David pulang ke rumah.
Sesuatu yang nyaris langka akhir-akhir ini. Bahkan satpam di gerbang sempat ragu untuk membuka pagar, tak menyangka mobil David benar-benar berhenti di sana—sore-sore begini.
"Tumben Tuan pulang sore begini. Aku bahkan tak ingat lagi kapan terakhir kali beliau pulang sore. Akhir-akhir ini tuan suka pulang malam, lalu tak lama pergi lagi," batin sang satpam sambil membukakan gerbang.
David melangkah masuk ke dalam rumah yang akhir-akhir ini enggan ia jadikan tempat untuk pulang. Di tangannya—buket bunga mawar merah muda. Segar. Mahal. Harum. Untuk Ghea.
David meletakkannya di meja makan. Duduk. Menunggu.
Jam enam.
"Jam segini dia belum pulang juga," gumamnya sambil melirik jam dinding.
Jam tujuh.
Seorang pelayan melintas. David menatapnya. "Bik, jam berapa biasanya Ghea pulang?"
Pelayan itu terdiam sejenak sebelum menjawab pelan, “Tidak tentu, Tuan. Tapi… akhir-akhir ini memang sering pulang malam.”
Dalam hatinya, si bibi bergumam, “Tuan bahkan tak tahu jam berapa Nyonya pulang. Sudah lama Nyonya selalu makan sendiri. Yang Tuan sebut istri itu... sudah lama tak Tuan perlakukan sebagai istri. Kasihan sekali Nyonya.”
Jam delapan lewat.
"Aku sudah lapar. Aku tak akan menunggunya lagi," gumam David.
Ia makan malam sendirian. Sendok dan garpu beradu pelan di atas piring. Sesekali ia menatap layar ponselnya. Sebuah senyum kecil muncul di sudut bibirnya saat membalas chat dari Tessa.
Pukul sembilan malam.
Pintu rumah terbuka pelan, dan suara langkah Ghea terdengar menapaki lantai.
Tubuhnya lelah. Teramat lelah. Bahkan menarik napas pun terasa seperti beban.
Ia hanya ingin rebahan, menarik selimut, dan tidur tanpa siapa-siapa menuntutnya tersenyum atau menjawab pertanyaan.
Dalam benaknya, wajah Leon sempat terlintas sekilas. Duduk di ranjang, mengenakan boxer dan senyum tenang itu.
Senyum yang membuat dunia terasa… tidak seburuk ini.
"Jangan pikirkan dia. Jangan."
"Dia… bahkan mungkin hanya ilusi yang datang untuk menyiksa logika."
Ghea membuka pintu kamarnya pelan. Tapi ia terdiam begitu melihat sosok di ranjang.
Bukan Leon.
David.
Pria itu bersandar di kepala ranjang sambil memainkan ponselnya, entah masih chatting dengan siapa. Rambutnya basah, baru mandi rupanya.
Ghea tersenyum pahit. "Saking asyiknya chatting, dia bahkan tak menyadari kehadiranku."
Ghea menarik napas panjang, masuk dan menutup pintu pelan.
Tak sengaja tatapannya jatuh pada meja kecil dekat ranjang. Di sana, buket bunga mawar yang sudah tak lagi segar karena terlalu lama menunggu.
Ini harusnya manis. Buket itu. Usaha David pulang lebih awal. Tapi kenapa rasanya justru… lebih pahit dari apapun yang pernah ia katakan?
Kenapa justru kehadirannya membuat dadanya makin sesak?
"Mungkin karena aku tahu, tangan yang menggenggam bunga itu… adalah tangan yang juga pernah menyentuh wanita lain."
"Mungkin karena matanya menyimpan binar yang dulu untukku—tapi kini hanya muncul saat melihat ponselnya."
"Dan sialnya, aku tahu benar itu bukan urusan kantor. Tapi karena Tessa—perempuan yang mencuri waktunya, pikirannya, dan mungkin hatinya.”
“Ghea,” suara David menyambutnya, setengah ceria, setengah canggung.
Ghea hanya mengangguk kecil, menanggalkan sepatunya pelan. Tak ada senyum. Tak ada sapaan balik.
"Aku tak ingin bertengkar malam ini. Tapi aku juga tak ingin pura-pura baik-baik saja."
Ia berjalan ke arah lemari, mengambil piyama, lalu masuk ke kamar mandi tanpa sepatah kata pun.
Meninggalkan David.
Meninggalkan bunga.
Meninggalkan luka yang masih terlalu hangat untuk disentuh.
"Aku lelah. Bukan hanya karena pekerjaan. Tapi karena mencoba kuat sendirian."
"Dan kini, bahkan rumah pun bukan tempat untuk pulih."
"Terlebih jika pria di dalamnya… adalah orang yang dulu kucintai, dan kini hanya mengingatkanku pada penghinaan."
David menatap punggung Ghea yang menghilang di balik pintu kamar mandi, lalu menghela napas kasar.
"Dia semakin dingin padaku. Seharusnya tadi pagi aku tak memulai pertengkaran dengannya. Sekarang, hatinya seperti beku--sulit untuk dicairkan. Andai semua hartanya sudah di tanganku, aku tak perlu pura-pura peduli—apalagi mencintai."
Namun sesaat kemudian ingatan tentang kemeja dan celana pria lain di lemari Ghea membuat rahangnya mengeras.
"Setelah aku menceraikanmu, aku tak peduli siapa pria yang memungutmu. Tapi untuk sekarang, kau masih milikku. Tak 'kan kubiarkan pria lain menyentuhmu, menginjak-injak harga diriku."
Setengah jam kemudian, Ghea keluar dari kamar mandi sambil menghela napas berat. Uap hangat masih menyelimuti kulitnya, namun hatinya tetap dingin.
"Andai saja yang menunggu di ranjang itu adalah Leon…"
Wajah itu terlintas jelas—dada bidang dan sorot mata tajam yang selalu membuat jantungnya kehilangan irama.
Ada sesuatu dalam diri pria itu yang tak bisa dijelaskan—mendominasi, mengancam, dan… menenangkan.
“Bodoh. Jangan pikirkan dia lagi. Tak mungkin pria seperti dia sungguh menyukai wanita sepertiku—lebih tua, lebih letih, lebih rusak. Bahkan David pun tak berhasrat lagi padaku. Leon pasti punya tujuan tertentu padaku."
Ghea menghela napas kasar.
"Kenapa aku tak bisa menghentikan hatiku berharap bisa melihat dan dekat dengannya?"
Tapi harapan itu langsung retak begitu matanya menatap sosok yang sesungguhnya ada di atas ranjang.
David.
Bukan Leon.
Pria itu menoleh, tersenyum kecil, lalu kembali menatap ponselnya seakan dunia nyata tak cukup menarik dibanding dunia maya yang ia peluk diam-diam.
"Dulu, aku selalu merindukan pelukannya. Dulu, aku menghitung jam agar bisa berada di dekapannya. Dulu, ia adalah rumah."
"Sekarang? Ia adalah luka."
"Tubuh itu, yang dulu kuanggap tempat paling aman, kini justru membuatku merasa terhina."
“Tubuhnya tak pernah istimewa. Tapi dulu, aku memujanya seperti dewa. Kini? Ia mulai menggendut, perutnya menonjol. Bukan karena makanan enak—tapi karena terlalu sering "berolahraga" di tempat yang tak seharusnya."
"Mual. Muak. Aku bahkan ingin muntah hanya dengan mengingat siapa dia sebenarnya."
Ghea berjalan ke sisi ranjang tanpa bicara. Ia menarik selimut, memejamkan mata.
Bukan untuk tidur.
Tapi untuk melupakan bahwa pria yang berbaring di sisinya… adalah luka paling dalam yang tak kunjung sembuh.
Setelah beberapa menit hening yang panjang, David akhirnya bersuara.
“Maaf tentang tadi pagi. Mungkin aku salah ingat soal kemeja dan celana itu.”
Dalam hati: “Jangan sampai dia curiga. Aku masih butuh dia… sampai waktunya aku yang menyingkirkannya.”
"Hum," sahut Ghea singkat. Tak ingin memperpanjang perbincangan. Malas merangkai kata untuk mendeskripsikan dia baik-baik saja.
David ingin melontarkan kekesalan, tapi menelannya. Ia memilih tetap manis—untuk sekarang.
“Aku bawakan bunga kesukaanmu. Tapi malah layu karena kau pulang terlambat. Sibuk sekali akhir-akhir ini, ya? Aku dengar kau sering pulang malam…”
Ghea masih membelakangi, menarik selimut hingga ke bahu.
“Banyak pesanan. Permintaan desain pribadi juga meningkat,” jawabnya datar. Singkat.
David bergeser, mendekat ke arah Ghea.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
semakin kamu mengulur waktu semakin kamu tersakiti,udah serahkan semua sama Leon.,,
Tuh Ghea segera bergerak merebut hak-mu dengan bantuan Leon yang telah punya bukti kejahatan David.
Leon benar mencintai dirimu tidak ingin menguasai hartamu malah memberimu hartanya.
Leon nekat datang lagi di saat David ada di rumah, Ghea senang tuh tapi pasti bingung ketakutan kalau David tahu wkwkwk
Ghea terlalu luka hatinya dengan pengkhianatan David - David suami selingkuh sekaligus mau meraup harta - perusahaan warisan orang tua Ghea.
dan kamu akan menyesal telah menyia-nyiakan Ghea hanya demi sampah
lanjut kak sehat dan sukses selalu 🤲