NovelToon NovelToon
Misteri Kematian Sandrawi

Misteri Kematian Sandrawi

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Matabatin / Mata Batin / TKP / Tumbal
Popularitas:969
Nilai: 5
Nama Author: lirien

“SANDRAWI!”

Jeritan Ratih memecah malam saat menemukan putrinya tergantung tak bernyawa. Kematian itu bukan sekadar duka, tapi juga teka-teki. Sandrawi pergi dalam keadaan mengandung.

Renaya, sang kakak, menolak tunduk pada kenyataan yang tampak. Ia menelusuri jejak sang adik, menyibak tiga tahun yang terkubur. Dan perlahan, luka yang dibungkam mulai bersuara.

Mampukah Renaya memecahkan misteri tersebut?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Autopsi

“Ibu! Astaga… sebenarnya ada apa ini?! Kenapa Ibu bisa sampai begini, Pak?!” seru Renaya dengan suara bergetar, matanya memerah menatap sang ibu yang terbaring lemah. “Kenapa Ibu memanggil-manggil Sandrawi? Apa yang terjadi dengan Sandrawi?!”

“Lebih baik kamu lihat sendiri ke kamar adikmu,” ujar Baskoro dengan suara parau. Tangannya masih erat mendekap tubuh Ratih yang tak sadarkan diri.

Renaya perlahan bangkit. Hatinya berat meninggalkan sang ibu dalam kondisi begitu, namun ada rasa was-was yang menggerogoti dadanya. Ia perlu tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi di dalam rumah yang kini terasa asing baginya.

Baru saja melangkah keluar dari kamar, Renaya berpapasan dengan Tarjono.

“Lho… Renaya? Kamu pulang rupanya?” Tarjono tertegun, tak menyadari kedatangan Renaya di tengah hiruk-pikuk yang memenuhi rumah.

“Sebenarnya ada apa, Pak? Apa yang terjadi sama adik saya?” suara Renaya tercekat, matanya mulai menelisik ke arah kamar Sandrawi, di mana beberapa polisi dan tim medis tampak sibuk.

Tarjono menarik napas berat, lalu menyingkir sedikit memberi jalan. “Lihatlah sendiri ke kamar adikmu.”

Renaya menelan ludah, langkah kakinya seperti menyeret beban yang tak kasatmata. Dadanya bergemuruh tak karuan, ada firasat buruk yang tak bisa ia usir.

Begitu sampai di ambang pintu, Renaya mengintip dari sela kerumunan. Ia bisa melihat sepasang kaki mungil mencuat dari balik tubuh para petugas medis. Keningnya berkerut, mencoba menyangkal kenyataan yang mulai menyeruak.

Namun semua runtuh dalam Sekejap. Salah satu petugas bergeser, membuka tabir tragis yang selama ini tak pernah ia bayangkan. Wajah pucat pasi Sandrawi terlihat jelas, bibirnya membiru, lidah menjulur kaku.

“Ya Allah… Sandrawi!” teriak Renaya histeris, lututnya lemas seketika.

Ia menerobos kerumunan tanpa peduli tatapan siapa pun, langsung bersimpuh di samping jasad adiknya yang membeku. Para petugas medis secara otomatis menyingkir. Dengan tersedu-sedu, Renaya memeluk erat tubuh sang adik yang hanya tinggal raga itu.

“Sandrawi… kamu kenapa?” isak Renaya, suaranya pecah di sela tangis. “Padahal Kakak sudah pulang… kenapa kamu begini, Dik? Kenapa kamu seperti ini? Jelaskan ke Kakak, sekarang!”

Tarjono yang berdiri tak jauh dari mereka hanya bisa menarik napas berat, menunduk, lalu berujar lirih, “Saya tidak tahu kejadian pastinya, Nduk… tapi waktu pintu kamar ini didobrak, Sandrawi sudah ditemukan dalam keadaan menggantung diri.”

Tangisan Renaya pecah makin keras, tubuhnya bergetar hebat. Bunuh diri? Tidak… ia tidak percaya. Sandrawi yang ia kenal tidak akan melakukan hal seburuk itu. Sepengetahuannya, adiknya baik-baik saja, bahkan selama ini menjalani hari-harinya sebagai mahasiswi dengan tekun.

“Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Sandrawi? Masalah sebesar apa yang kamu tanggung sampai memilih seperti ini?” bisik Renaya, suaranya lemah, sesak, masih mendekap tubuh sang adik yang dingin dan tak bernyawa.

Bukan ini yang ia bayangkan saat memutuskan pulang. Ia ingin menyambut kepulangan ibunya, memeluk adik-adiknya, berkumpul seperti keluarga utuh, bukan menyaksikan kenyataan pahit seperti ini. Tak pernah terlintas di benaknya akan melihat Sandrawi dalam wujud tak bernyawa, membeku, membisu untuk selamanya.

Hati Renaya mencabik-cabik. Penyesalan menghantam dadanya tanpa ampun. Tiga tahun pergi, tiga tahun ia mengabaikan keluarga. Andai waktu bisa diputar, Renaya akan memilih pulang, mendampingi Sandrawi, berada di sisinya, mengetahui kesulitannya… mungkin semua tak akan berakhir seperti ini.

Di tengah isakan Renaya yang mengisi ruangan pengap itu, Kinasih tiba bersama sang suami. Suara langkah tergesa mereka terdengar jelas sebelum tubuh Kinasih menerobos kerumunan.

“Ada apa ini?!” pekiknya panik.

Belum sempat satu orang pun menjawab, pandangan Kinasih sudah lebih dulu menangkap tubuh kaku Sandrawi yang dipeluk Renaya di tengah kamar. Lutut Kinasih nyaris goyah seketika.

“Ya Allah… Sandrawi…” bisiknya, langkahnya terhenti, matanya menatap nanar. Ia menoleh pada polisi yang berjaga. “Ada apa ini… kenapa Sandrawi bisa seperti ini?!”

Salah satu petugas polisi kembali menjelaskan kronologi singkat, sama seperti yang telah dikatakan kepada Renaya. Penjelasan itu mengiris hati Kinasih hingga ia spontan menutup mulutnya, suara tangisnya pecah pelan, menahan sesak yang mencekik.

“Sandrawi… ya Allah… Sandrawi…” isaknya, lalu tubuhnya ambruk ke pelukan suaminya. Tangannya mencengkram baju sang suami, menumpahkan seluruh kesedihan dan perasaan tak percaya di dadanya.

Sementara itu, di luar sana, warga sudah mempersiapkan segalanya. Tenda duka mulai berdiri, para ibu-ibu sibuk menyiapkan kebutuhan pemakaman. Tak lama kemudian, petugas bersama warga membawa jenazah Sandrawi keluar dari kamar untuk dimandikan sebelum disemayamkan.

Renaya dan Kinasih turut serta dalam prosesi pemandian jenazah Sandrawi. Sementara itu, kedua orang tua mereka belum juga tampak keluar dari kamar, kemungkinan besar Ratih masih belum sepenuhnya siuman.

Begitu kain kafan terakhir membungkus tubuh Sandrawi, Renaya terduduk lesu di ruang tamu. Kinasih, masih terisak dalam pelukan sang suami, hanya bisa menunduk dengan wajah basah air mata.

“Ngaji, Mbak! Nangis saja nggak bakal nyelametin Sandrawi!” ucap Renaya dengan nada menusuk.

Kinasih hanya melirik, tatapannya sinis. “Kamu pikir kamu tuh pinter ngaji?”

Renaya menghela napas tajam, tak ingin suasana yang sudah kelam semakin panas. Ia pun bangkit, memilih melangkah menuju kamar ibunya.

Namun langkahnya terhenti saat Baskoro keluar membawa gelas kosong.

“Bagaimana Ibu?” tanya Renaya, nada suaranya mengandung kecemasan.

“Ibumu sudah sadar, barusan juga berhenti nangis. Sekarang lagi istirahat,” jawab Baskoro, suaranya lelah.

Renaya mengangguk sedikit lega. Setidaknya ibunya tidak lagi tersiksa dalam jeritan seperti tadi. Baskoro kemudian berjalan ke dapur, mungkin hendak mengambil teh hangat untuk istrinya.

Renaya kembali mendudukkan diri di sofa, menatap kosong ke arah pintu kamar yang kini tertutup rapat. Hatinya masih bergulat dengan kenyataan pahit: Sandrawi sudah tiada.

Di tengah kesunyian, suara Kinasih memecah keheningan.

“Kenapa kamu pulang?”

Renaya menoleh singkat, menjawab datar, “Sengaja. Mau ketemu Ibu sama adik-adik.”

Kinasih mendecih pelan, menyunggingkan senyum sinis. “Masih ingat pulang, ya.”

Tatapan tajam Renaya menusuk sejenak, namun ia menahan diri, enggan menanggapi.

“Harusnya nggak usah pulang sekalian,” sindir Kinasih lagi, sengaja mengobarkan api di dada Renaya.

Gusar, Renaya mendongak tajam. Awalnya ia tak ingin berseteru, tetapi Kinasih terus saja mengorek luka yang belum kering.

“Kalau memang maunya aku nggak pulang, Mbak, setidaknya Mbak itu bisa jaga adik dengan benar. Tapi nyatanya? Sandrawi sampai hamil pun Mbak nggak tahu!” balas Renaya tajam.

Alis Kinasih terangkat tinggi, wajahnya mengeras. “Maksudmu apa?! Kamu nuduh semua ini salahku?!”

Renaya berdiri, wajahnya merah karena emosi yang meledak-ledak. “Bukan nuduh. Tapi faktanya ya begitu! Mbak paling dekat dengan Sandrawi! Harusnya Mbak bisa lihat, jaga, perhatiin! Kalau Mbak nggak sibuk ngurus diri sendiri, mungkin Sandrawi nggak berakhir kayak gini!”

Kinasih langsung berdiri, nadanya menggelegar, “Jaga mulutmu! Kamu pikir kamu siapa, hah?! Punya andil apa buat adik-adik?! Tiga tahun kamu ke mana aja?! Yang di sini cuma aku! Aku yang jaga mereka!”

Renaya maju selangkah, menatap garang, “Justru karena Mbak di sini yang seharusnya lebih peka! Tapi Mbak malah sibuk hidup enak ngabisin uang kiriman Ibu! Pura-pura peduli!”

“Diam!” pekik Kinasih. “Kamu nggak punya hak ngomong! Orang yang nggak pernah pulang nggak pantes bilang peduli! Kenapa nggak kamu aja yang jagain Sandrawi dari dulu?!”

Renaya mengepalkan tangan, napasnya memburu. “Mbak pikir aku di luar sana senang-senang?! Aku banting tulang, kerja buat keluarga!”

1
Ruby
semangat ya Thor, aku bakal balik lagi kok. Ceritanya bagus, penuh misteri!!
Anonymous: Aww trimksih banyak yaa
seneng banget ada yang support begini🌷☺️🫶
total 1 replies
Ruby
Wahh curiga sama bapaknya /Drowsy/
Ruby
terus pria yang sebelumnya menatap sandrawati b*ndir siapa?
Ruby
siapa yang naruh bawang di sini?!/Sob/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!