Hanya berjarak lima langkah dari rumah, Satya dan Sekar lebih sering jadi musuh bebuyutan daripada tetangga.
Satya—pemilik toko donat yang lebih akrab dipanggil Bang... Sat.
Dan Sekar—siswi SMA pecinta donat strawberry buatan Satya yang selalu berhasil merepotkan Satya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfaira_13, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
23. Terlambat Jemput
Matahari pagi menyorot terik di atas lapangan sekolah. Suara peluit terdengar samar dari kejauhan. Di pinggir lapangan, Sekar duduk di atas rerumputan kering bersama Binar dan Nala. Ketiganya menunggu giliran dipanggil, sementara sebagian teman-teman yang lain masih sibuk berlari keliling lapangan.
Sekar duduk dengan kedua tangan yang menangkup kedua lutut. Tatapannya kosong ke arah lapangan, sesekali memandangi rumput yang bergoyang tertiup angin pelan. Rambutnya yang sebatas bahu diikat menjadi satu.
"Woiii Sekar!" seru Binar sambil menyikut pelan lengannya.
Sekar tersentak, mengerutkan dahi. "Apa sih! Bikin kaget aja."
Nala ikut menepuk pundaknya. "Tuh kan bener, dari tadi ngelamun ni anak."
"Enggak, gua lagi liatin rumput yang bergoyang," jawab Sekar dengan malas.
Binar menatap Sekar dengan curiga. "Lo kenapa sih? Dari tadi mukanya kaya yang lagi kusut banget!"
"Gak apa sih, gua lagi males ikut pelajaran olahraga aja," ujarnya memberi alasan, menyembunyikan rasa kesal-nya.
Nala menggeleng pelan. "Lo tuh males di semua pelajaran ya Sekar! Bukan cuma pas olahraga."
Sekar mendesah panjang, semakin menenggelamkan wajahnya di atas lutut, memainkan tali sepatunya. "Lagi bete banget gua sama Bang Satya," katanya menggerutu.
Binar dan Nala saling pandang sebelum menoleh ke arah Sekar lagi. "Lah, kenapa lagi? Marahan mulu lo berdua!" ujar Binar.
Sekar mengangkat bahu tanpa semangat. "Gak tau, lagi gak mood aja. Pokoknya kesel aja. Dia tuh nyebelin pokoknya!"
Angin berembus pelan, rumput di sekeliling mereka bergoyang ikut arah angin.
"Nyebelin tapi lo sayang kan sama bang Satya?" ujar Nala dengan wajah nakal. Senang sekali, bisa menggoda Sekar.
"Ish, najis. Gua sayang sama dia kalo dia bantuin gua doang," balasnya menolak pernyataan Nala. Namun, pipinya memerah samar. Ada senyum yang tertahan di sudut bibirnya.
Mengingat bagaimana cara Satya memperlakukannya selama ini, mustahil ia tak merasa nyaman. Jika diingat lagi, belum ada lelaki lain yang bisa menyaingi Satya untuk saat ini. Bahkan, beberapa kali Sekar mendapat pernyataan cinta, ia terpaksa menolaknya. Bukan karena lelaki itu yang tak baik, hanya saja Sekar tak suka dengan cara lelaki itu mendekatinya. Terlalu basa-basi dan membosankan.
Berbeda dengan Satya, yang selalu punya cara untuk mengajaknya bercanda dan tertawa bersama. Selalu berusaha membuatnya merasa aman, nyaman, dan merasa bebas menjadi dirinya sendiri. Mungkin, karena mereka sudah bersama sejak kecil.
"Hati-hati, nanti kalo udah kecintaan baru tau rasa," celetuk Binar. "lagian, kan dari dulu juga dia nyebelin di mata lo!"
Obrolan mereka terhenti ketika suara guru olahraga menyebutkan nama ketiganya. "Binar, Sekar, Nala! Giliran kalian!"
Binar berdiri paling pertama, menepuk celana bagian belakangnya. "Ayok, biar kita bisa langsung minum habis ini."
Ia meraih telapak tangan Sekar dan Nala, menarik keduanya untuk bangkit berdiri. Lalu ketiganya berlari kecil ke arah lapangan, mengambil posisi bersiap di garis awal. Pak Adi, menaruh peluit kebanggaannya di antara bibir, bersiap untuk meniup. Menunggu kedua muridnya yang lain mengambil posisi.
Dari kejauhan, di sisi lapangan yang lain, Aidan dan Niel yang sudah mendapatkan giliran lebih awal bersorak heboh. "Nala! Ayok semangat! Kata Niel nanti dibeliin es krim."
Niel, yang berada di dekatnya, memukul punggung Aidan cukup keras. Menghasilkan bunyi nyaring yang membuatnya meringis kecil. Beberapa murid lain di dekatnya menertawakan.
Nala mendelik, decakan kecil terdengar samar. "Berisik lo, gua gak butuh!"
Peluit ditiup. Sekar, Nala, Binar, dan kedua teman kelas mereka berlari bersamaan. Sekar dan Nala berada di posisi paling depan. Sedangkan Binar dan kedua temannya yang lain berada jauh di belakang mereka.
Nala yang paling pertama tiba di garis akhir, lalu disusul Sekar dan temannya yang lain. Binar tiba paling akhir, langsung membungkuk—mengatur napasnya yang tak karuan. "Gila... cape banget anjir... " keluhnya dengan suara terputus.
Sekar masih berdiri tegap, meski napasnya juga terputus. Ia membuka ikatan rambutnya dan mengikatnya ulang setelah dirapikan sedikit dengan tangan. "Cepet juga lari lo," ujarnya melirik Nala.
"Oh, jelas! Gua kan berbakat di banyak hal," balasnya menyombongkan diri. Ia merapikan poni-nya yang menempel di dahi karena keringat yang bercucuran.
Tak lama setelahnya, Aidan dan Niel datang menghampiri. Membawakan tiga botol air mineral.
Niel memberikannya langsung untuk Nala. "Minum dulu biar gak dehidrasi," katanya. Ia membukakan tutup botol—dan memberikannya kepada Nala.
Nala menerimanya dengan senang hati. Langsung meneguk-nya dengan rakus. Dadanya naik turun cepat di setiap tegukan.
Sekar mengibas-ngibas kaus olahraga pendek yang dikenakan. Memandang langsung matahari yang menurutnya terlalu panas pagi hari ini. "Ganti baju sekarang yuk! Panas banget di sini."
Binar menyenggol pundak Sekar, matanya melirik Nala. "Panas karena cuacanya, atau karena liat mereka berdua bucin!?"
"Dua-duanya," balas Sekar, meninggalkan keempat temannya lebih dulu menuju kelas.
Suara riuh para siswa memenuhi halaman sekolah. Saling berdesakan, berlomba-lomba menjadi yang pertama keluar gerbang. Namun, berbeda dengan Sekar, ia masih berdiri di bawah sebuah pohon, tak jauh dari area parkir sekolah. Matanya menelisik ke segala arah, mencari keberadaan Satya, yang belum juga terlihat sejak ia keluar kelas. Padahal, biasanya Satya sudah menunggu kehadiran-nya di atas motor. Dalam hati, berbagai serapah sudah diucapkan.
"Eh, lo belum dijemput?" tanya Binar, membawa helm biru gelap di tangannya. Bersiap menuju area parkiran motor. Ia keluar kelas lebih lama karena ada urusan dengan teman-nya yang berada di kelas lain. Sedangkan ketiga teman lainnya sudah pulang sejak tadi.
Sekar menatap layar ponselnya, mengecek lagi pesannya yang dikirim kepada Satya beberapa menit lalu. "Gak tau nih, bang Satya gak jawab chat gua," keluhnya.
"Mau nebeng aja gak?" tawar Binar. Rumah mereka memang tidak satu arah, tapi Binar tak masalah jika harus mengantar Sekar pulang. Toh, mereka sudah berteman dekat.
Sekar menyimpan ponselnya ke dalam saku. "Ah, gak usah deh. Gua bisa naik ojek juga."
Binar tak langsung meninggalkan Sekar begitu saja. "Mungkin, Abang kesayangan lo itu lagi sibuk."
Sekar mengangkat bahunya acuh. "Gak tau ah, makin bete gua jadinya."
"Udahlah pulang bareng gua aja!" ajak Binar sekali lagi.
Sekar yang awalnya menolak, kali ini tampak berpikir lagi. Pilihan terbaik memang menerima tumpangan dari Binar. "Eumm... boleh deh."
ditunggu next chapter ya kak😁
jangan lupa mampir dan ninggalin like dan komen sesuai apa yang di kasih ya biar kita sama-sama support✨🥺🙏
sekalian mampir juga.../Coffee//Coffee//Coffee/
Dikasih koma ya, Kak. Biar lebih enak bacanya. Semangat terus nulisnya!😉