Aaron Dzaka Emir--si tampan yang hidup dalam dekapan luka, tumbuh tanpa kasih sayang orang tua dan berjuang sendirian menghadapi kerasnya dunia.
Sebuah fakta menyakitkan yang Dzaka terima memberi luka terbesar sepanjang hidupnya. Hidup menjadi lebih berat untuk ia jalani. Bertahan hidup sebagai objek bagi 'orang itu' dan berusaha lebih keras dari siapapun, menjadi risiko dari jalan hidup yang Dzaka pilih.
Tak cukup sampai di situ, Dzaka harus kehilangan salah satu penopangnya dengan tragis. Juga sebuah tanggung jawab besar yang diamanatkan padanya.
Lantas bagaimana hidup Dzaka yang egois dan penuh luka itu berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bulan_Eonnie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DD 20 Rencana Mencari Liontin Buna
"Udah, Vir! Fa! Gue emang harus belajar." Dzaka masih mencoba menenangkan ketegangan yang timbul karena kemunculan Dimitri.
"Gak, Ka! Apa gak cukup tadi siang lo ulangan matematika peminatan sampai mimisan dan pingsan, hah?! Jangan ngeyel, Ka!" Raffa mengepalkan tangan hingga urat-uratnya terlihat jelas.
Dzaka menghela napas pasrah. Raffa bukan sosok pemarah dan kasar. Namun, jika sudah berkaitan dengan keluarga ataupun sahabatnya, maka Raffa bisa berkali-kali lipat lebih menyeramkan.
"Kakek lo gila!" ujar Tanvir membuat Dzaka menoleh dan mendapati mata Tanvir yang menyorot tajam seolah ingin menerkam mangsa.
Dimitri akhirnya menyerah. Dia memilih mendudukkan diri dan mengeluarkan catatan materi yang sudah disiapkannya.
Sebuah cekalan kuat di tangannya membuat Dimitri menatap tak suka. "Jangan sok jagoan!" sinis Dimitri seraya menatap lekat sosok di depannya.
"Lo harusnya minggat dari sini kalau masih pengen hidup tenang," balas Tanvir tak kalah sinis. Hingga keduanya kini beradu tatap dengan mata elang yang mengisyaratkan keinginan menghabisi lawannya.
Dimitri menghempaskan cekalan tangan Tanvir dan melangkah mendekati brankar Dzaka. "Ini catatan materi pelajaran hari ini. lo pelajari sendiri aja." Setelahnya Dimitri kembali ke sofa. "Tapi gue gak bisa pergi gitu aja. Suruhan kakek lo ada di luar."
Dzaka hanya menganggukkan kepala mendengar penuturan Dimitri. Saat Dzaka hendak membaca, catatan itu sudah berpindah tangan.
"Stop belajar untuk hari ini, Ka! Atau gue akan menghadap ke kakek lo itu!" ancam Raffa membuat Dzaka menghela napas pasrah lagi.
...----------------...
Dzaka memerhatikan derasnya hujan dalam diam. Entah mengapa melihat air yang jatuh seolah membawa kenangan masa lalu padanya. Kenangan yang selalu menjadi mimpi buruk dalam tidurnya. Sesak di dadanya tak mampu Dzaka hindari.
Netra Dzaka mulai berembun. Tangannya menggenggam selimut dengan erat menyalurkan sakit dari sesaknya. Saat cairan bening itu terjun dari kelopak mata Dzaka, pintu ruang rawat terbuka. Dengan cepat Dzaka menghapus jejak air matanya.
Tanvir dan Raffa terdengar heboh mendebatkan camilan yang mereka beli. Raffa duduk di brankarnya dan Tanvir mengambil posisi tepat di tengah brankar Dzaka dan Raffa.
Awalnya Dzaka dan Raffa berada di ruangan terpisah. Namun, setelah kejadian Dzaka pingsan di hadapan Raffa, sahabatnya itu memaksa perawat memindahkan Dzaka untuk satu ruangan dengannya. Toh yang membayar biaya administrasi rumah sakit Raffa adalah Dzaka.
"Guys! Gue udah nyusun rencana buat nyari liontinnya buna," ujar Raffa membuat atensi Dzaka dan Tanvir teralih dari camilan di tangan mereka.
"Waktu itu Dzaka bilang tempatnya ada dua. Gue udah survey lokasi dan memang bener ada dua toko yang jual liontin itu." Raffa mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan foto dari kedua toko itu.
"Terus rencananya?" tanya Tanvir yang mulai penasaran.
"Karena tokonya ada dua, lebih baik kita berpencar. Jaraknya juga cukup jauh kalau kita harus mengunjungi satu-satu. Hampir satu jam perjalanan." Ucapan Raffa diangguki oleh Dzaka dan Tanvir.
"Dua toko itu memiliki pemilik yang berbeda, meski namanya sama. Pemiliknya masih punya ikatan saudara. Setiap toko punya ciri khas atas barang yang mereka buat dan hanya bisa dijual di toko yang membuatnya," jelas Dzaka berdasarkan informasi yang ia dapatkan.
"Gimana pembagiannya dan kapan kita mulai?" tanya Tanvir yang sudah tak sabar mencari petunjuk kematian bunanya.
"Gue akan ke toko pertama dan lo ke toko kedua, Vir. Dan Dzaka ... cukup mantau dari jauh aja. Terlalu berbahaya buat Dzaka melanggar aturan orang itu lagi." Raffa menatap Dzaka yang hanya tersenyum tipis. Lagi, Dzaka merasa kecewa pada dirinya sendiri. Merasa tidak pernah bisa berguna bagi sahabat-sahabatnya.
"Gak usah sedih, Ka. Raffa bener. Kita gak mau lo disakitin orang itu lagi. Atau kita yang akan bikin perhitungan sama orang itu." Tanvir berucap dengan wajah datar seolah menyiratkan dendamnya pada Tuan Emir.
"Jangan pernah berurusan sama orang itu!" Dzaka selalu tidak bisa berkutik jika sudah diancam seperti itu. Sebab, Dzaka tidak akan pernah membiarkan Tanvir dan Raffa membahayakan diri mereka dengan menentang Tuan Emir.
"Jadi kapan, Fa?" tanya Tanvir lagi, karena Raffa belum juga memberi kepastian.
"Besok," ujar Raffa seraya beradu tatap dengan Tanvir dan Dzaka. Mereka saling memberi kode dari tatapan itu, yang hanya mereka yang memahaminya.
...----------------...
"Anda siapa? Ngapain di luar ruangannya Bang Raffa?" Dimitri terkejut setelah mendengar suara seorang gadis tepat di belakangnya.
Saat berbalik, Dimitri mendapati tatapan curiga yang dilayangkan gadis itu padanya. Tentu saja hal itu membuat Dimitri risih.
Akhirnya Dimitri memilih mengetuk pintu tiga kali dan masuk. Gadis itu mengikutinya masuk dengan tatapan yang tak lepas dari sosok Dimitri.
"Bebeb Qeela?" Raffa langsung melompat dari brankarnya dan mendekati Qeela dengan senyuman yang mengembang.
"Bang Raffa, dia siapa?" tanya Qeela seraya menunjuk Dimitri.
"Dia Dimitri. Guru lesnya Dzaka," balas Raffa sekenanya. Namun, Qeela terlihat masih menilai Dimitri. Terlihat dari bola matanya yang menatap lekat Dimitri dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Biasakan bersikap sopan pada orang yang baru pertama kali bertemu, Nona!" sarkas Dimitri menahan kesal karena tingkah Qeela yang dianggapnya berlebihan.
"Santai dong. Lagian kenapa sewot banget sih? Gue salah apa sama lo?!" Qeela mulai mengeluarkan sifat bar-barnya.
"Remaja zaman sekarang memang tidak beretika. Sudah jelas-jelas salah masih saja bertanya apa kesalahannya. Ckckck." Dimitri mengambil tasnya dan melangkah ke luar ruangan. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia berbalik.
"Jangan pernah bertanya dengan nada mencurigakan pada seseorang yang baru ditemui! Hal itu hanya akan membuat orang lain tersinggung dan sakit hati. Sekalipun orang itu benar-benar mencurigakan, tak ada alasan untuk bersikap tidak sopan seperti itu," ujar Dimitri membuat semua orang terdiam.
Dzaka yang merasakan aura ruang inapnya menjadi tidak nyaman mencoba mencari cara untuk mencairkan suasana. "Maaf, Qee. Bang Dimi orangnya emang kayak gitu."
Dimitri langsung menatap Dzaka tak suka. "Jangan terlalu mudah meminta maaf atas sesuatu yang lo gak tau kebenarannya! Jangan terlalu mudah menyampaikan maaf untuk sesuatu yang sama sekali gak berkaitan dengan lo!"
"T-tapi g-gue gak ma-maksud gitu." Dzaka langsung tergagap mendapat serangan seperti itu dari Dimitri.
"Niat lo emang baik, tapi tindakan lo nyakitin perasaan orang lain. Yang seharusnya diperbaiki malah lo buat rusak semakin parah." Dimitri berbalik dan benar-benar meninggalkan ruang inap Dzaka yang tiba-tiba sunyi.
"Eh, ada apa nih?" tanya Ziya yang baru saja kembali dari kantin rumah sakit bersama Metta. Namun, tidak ada respon sama sekali dari orang-orang yang ditanyainya.
"Tu orang kenapa sih sebenernya?! Sok bijak banget deh!" kesal Qeela setelah berhasil mengendalikan dirinya.
Raffa menepuk pelan bahu Qeela mencoba meredakan amarah gadis itu. Ziya yang tak paham maksud Qeela mengerutkan kening tak mengerti.
"Udah-udah. Duduk dulu, Qee! Ntar lo kena darah tinggi kalau marah-marah mulu," ujar Tanvir seraya kembali menyibukkan diri dengan camilan di hadapannya.
Raffa langsung menarik tas selempang Qeela agar gadis itu mengikutinya menuju brankar. "Bebeb Qeela duduk di sini aja sama Abang Raffa." Raffa berujar dengan senyum manis yang tak pernah luntur dari wajahnya.
Metta memerhatikan dua sejoli itu dengan penasaran. "Cewek itu siapa sih, Zi?"
"Itu Aqella, sepupu aku," balas Ziya berjalan mendekati brankar Dzaka seraya memakan crackers keju, diikuti Metta yang masih memerhatikan gerak-gerik Raffa dan Qeela.
Mereka terhanyut dalam obrolan ringan yang mengundang tawa karena kerecehan Raffa. Sesekali mereka juga akan mendapat suguhan drama percintaan remaja gratis dari Raffa dan Qeela--dua hati dengan rasa yang sama, tapi tak kunjung bersama.
Metta merasa panas melihat kedekatan Raffa dan Qeela yang sangat manis. Tak tahan terlalu lama di sana, Metta meminta izin untuk keluar dengan alasan ingin menghubungi orang tuanya bahwa ia akan pulang telat.
Qeela melihat ke arah perginya Metta dengan senyum tipis.
Kalah sebelum memulai, batin Qeela