"Dendam bukan jalan keluar. Tapi bagiku, itu satu-satunya jalan pulang"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4
“Ah, mana mungkin sampeyan ngomong kayak gitu,” sergah salah satu dari golongan putih. “Sampeyan sendiri belum pernah ketemu, apalagi ngerasain langsung kehebatannya. Jangan sampai omongan sampeyan malah bikin nyali kami menciut, Kyai!”
Kyai Banjar menatap tajam, lalu angkat bicara, “Kyai Prana itu adik seperguruan ku. Ilmunya cuma setingkat di bawahku. Tapi dia tewas mengenaskan di tangan Pendekar Iblis.”
Ucapannya bikin suasana makin hening. Beberapa orang tampak terkejut, bahkan sampai ternganga tak percaya.
“Makanya,” sambung Kyai Koneng, “daripada kita asal maju dan mati konyol, mendingan kita cari jalan untuk bisa menyadarkan dia. Jangan sampai nyawa melayang sia-sia.”
Musyawarah itu terus berlangsung, membicarakan kegemparan yang mengguncang dunia persilatan kegelisahan yang bukan cuma dirasakan oleh golongan putih, tapi juga membuat golongan hitam resah.
Sampai matahari hampir tenggelam di ufuk barat, belum juga ada jalan keluar yang dianggap tepat untuk menghadapi Pendekar Iblis. Hingga akhirnya Kyai Banjar berdiri dari tempat duduknya.
“Saudara-saudara sekalian,” katanya lantang. “Hari sudah mulai malam. Kita sudahi dulu pertemuan ini. Keputusan sementara, masing-masing dari kita harus berusaha mencari cara untuk menyadarkan Pendekar Iblis dan membawanya ke jalan yang benar. Tapi… kalau segala upaya itu tak berhasil juga, maka tak ada pilihan lain dia harus dimusnahkan.”
"Seperti tugas kita untuk melenyapkan kaum hitam, supaya hidup ini jadi tenteram, aman, dan makmur. Ini semua demi anak cucu kita nanti," ujar seorang tetua dengan suara lantang. Semua yang hadir mengangguk-angguk setuju, meski di balik wajah-wajah itu tersimpan rasa penasaran dan amarah yang menggelegak, ingin segera menghabisi biang kerok kekacauan itu. Contohnya saja Aji Mahendra, atau yang dikenal sebagai Pendekar Pedang Naga.
**
Di tengah rimba yang lebat, tampak seorang pemuda dengan baju biru tua seperti warna kulit terong, melesat cepat di antara pepohonan. Dia adalah Raka. Tujuannya tak jelas, tapi satu hal yang pasti ia tengah memburu Pengemis Nyawa, pendekar tua yang telah merenggut nyawa keluarganya. Sudah lama dia mencari, bahkan tempat yang dikenal sebagai sarang Pengemis Nyawa di Ceruk Gua Bangkai pun pernah ia datangi. Tapi tempat itu kini kosong, tak berpenghuni.
"Klang!.. Klang!.. Klang!"
Tiba-tiba, telinganya menangkap suara benturan benda-benda keras dan teriakan manusia yang bersahut-sahutan. Sebuah senyum tipis muncul di wajahnya. Ia segera melesat ke arah sumber suara. Bukan karena ingin menonton perkelahian atau tampil sebagai jagoan penyelamat. Ia hanya berharap, di sanalah Pengemis Nyawa berada.
Raka meloncat dan hinggap di dahan pohon besar, tak jauh dari lokasi pertempuran. Tapi saat ia melihat apa yang terjadi di bawah, wajahnya langsung berubah kecewa.
Setelah sadar bahwa orang yang ia cari tak ada di sana, matanya justru menangkap pemandangan mencengangkan seorang gadis berpakaian hijau sedang bertarung mati-matian melawan belasan orang berbaju kuning yang semuanya bersenjata golok. Mendadak ia teringat pada tiga orang yang pernah coba mencuri kudanya, dan ternyata, mereka kini ikut berada di antara para pengeroyok itu.
"Tangkap Kirana hidup-hidup! Jangan sampai lecet sedikit pun! Aku ingin memuaskan nafsuku dengannya!" teriak seorang lelaki dari pinggir arena. Tubuhnya tegap, kepalanya pelontos, namun dagunya penuh jambang tebal. Ia mengenakan pakaian kuning, dan di pinggangnya tergantung cambuk ber bandul besi bulat bergerigi tanda bahwa dialah pemimpin dari para penyerang.
Sekilas terlihat bahwa ilmu silat gadis bernama Kirana itu jauh di atas rata-rata. Jika lawan datang satu-satu, mungkin sudah lama tumbang semua. Tapi kini, ia harus menghadapi serangan serempak yang datang bertubi-tubi, layaknya gelombang tak henti menggulung pantai.
Sampai jurus ke empat puluh, Kirana belum juga mendapat celah untuk membalas. Ia masih harus mengelak dan bertahan, bergerak lincah menghindari tajamnya tebasan golok. Tapi serangan-serangan itu mulai mengambil korban pakaiannya telah koyak di sana-sini, bahkan...
Dadanya yang montok sedikit tersingkap, membuat si penyerang makin menjadi-jadi.
Raka hanya memperhatikan dari kejauhan. Awalnya dia enggan ikut campur, tapi rasa kasihan perlahan muncul juga.
"Cuiihh..." Raka meludah ke samping, tanda kesal. Sekali hentak, tubuhnya langsung melayang turun menghampiri ketua pengeroyok yang sejak tadi cuma tertawa-tawa.
Melihat kemunculan orang asing yang tiba-tiba, si ketua perampok refleks mundur selangkah. Dia bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Tapi anehnya, Raka malah berdiri tenang sambil tersenyum padanya.
"Heh… siapa Kau?" bentak si kepala perampok.
"Hehehe... ngab, daripada kita cuma gatel ngeliatin mereka berantem, gimana kalau kita yang main-main?" jawab Raka santai.
"Kurang ajar! Kau nggak tau lagi ngadepin siapa!"
"Aku juga nggak pernah tanya Aku lagi ngadepin siapa," balas Raka dengan nada datar, tapi tajam.
Ucapan itu membuat si kepala perampok merasa diremehkan dan murka.
lanjut dong