Seorang pemuda lulusan kedokteran Harvard university berjuang untuk menjadi seorang tentara medis. Tujuan dari ia menjadi tentara adalah untuk menebus kesalahannya pada kekasihnya karena lalai dalam menyelamatkannya. Ia adalah Haris Khrisna Ayman. Pemuda yang sangat tampan, terampil dan cerdik. Dan setelah menempuh pendidikan militer hampir 2-3 tahun, akhirnya ia berhasil menjawab sebagai komandan pasukan terdepan di Kopaska. Suatu hari, ia bertugas di salah satu daerah terpencil. Ia melihat sosok yang sangat mirip dengan pujaan hatinya. Dan dari sanalah Haris bertekad untuk bersamanya kembali.
Baca selengkapnya di sini No plagiat‼️
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pena Fantasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
mulai adanya bencana kehidupan
Di dalam ruangan posko pribadi yang sederhana, Haris larut dalam tumpukan berkas. Sudah hampir sebulan lebih ia bertugas, dan sembilan puluh persen misi pembangunan klinik telah berhasil dituntaskan. Sebuah desah lelah lolos dari bibirnya.
"Haduhhh... Sial, banyak banget lagi. Oh iya, dia gimana ya kabarnya? Tanya Agung aja deh."
Ia meraih ponselnya yang tergeletak tak jauh dari jangkauannya, mencari kontak temannya. Hatinya diselimuti rasa khawatir akan kabar gadisnya, yang ia percayakan dalam pengawasan Agung dari jauh agar tak terjadi apa-apa.
"Halo, Ris..." suara Agung menyapa dari seberang.
"Halo, Gung... Apa kabar? Masih di sana, kan?"
"Iya, gue masih di sini. lu pasti mau nanyain dia, kan?" tebak Agung, seolah membaca pikiran Haris.
"Hahaha, iya... Gimana keadaannya di sana? Si bunglon itu gak ganggu dia, kan?"
"Belum sih... Kata Puput, dia sempat debat gitu, tapi ya pacar lu yang menang."
Haris terkejut mendengar Nahda sempat berselisih dengan Lita. "Serius, lu? Tapi kenapa dia gak cerita sama lu?"
"Mungkin gak mau ganggu lu kerja. lu gak usah khawatir. lu fokus aja tugas di sana, Bro. Urusan dia di sini biar gue yang atur."
Haris menghela napas lega. "Lu memang teman baik gue, hahaha."
"Ya jelas dong! Tapi ingat ya, upah gue harus lebih, Bos. Dikira jagain cewek lu gak capek apa?"
"Iyee, tenang aja... Udah ya, gue mau lanjut dulu. Jangan lupa ya."
"Iya, oke. gue mau lanjut kerja dulu."
"Oke, Bro. Makasih ya."
Panggilan diakhiri. Haris merasakan beban di dadanya terangkat. Setidaknya, gadisnya aman. Ia pun bisa menjalani hari dengan lebih tenang.
***
Nahda yang berada di kebun bersama Puput hanya termangu. Mereka berdua tengah beristirahat di bawah pohon rindang, tubuh kelelahan setelah seharian bekerja. Puput menoleh ke arah Nahda, merasakan ada sesuatu yang disembunyikan sahabatnya.
"Kamu kenapa, Han? Kok bengong terus?"
Akhir-akhir ini Nahda memang lebih banyak diam, tak pernah berbagi masalahnya dengan Puput. Hal itu membuat Puput penasaran, sebab baru kali ini ia melihat Nahda seperti menyimpan beban yang amat berat.
"Tidak apa-apa," lirih Nahda.
Puput mengerutkan alisnya. "Kamu gak bisa bohong sama aku, Han. Aku tahu kamu lagi ada masalah. Jangan dipendam sendiri. Ada aku yang bakal bantu kamu."
Mendengar itu, Nahda menghela napas berat. Ia tak langsung menjawab, melainkan menutup matanya sejenak, lalu menoleh ke arah Puput yang memasang raut wajah khawatir.
"Aku cuma kepikiran soal perubahan sikap orang-orang terhadapku, Put. Udah hampir sebulan mereka kaya ketus sama aku... padahal aku gak tahu kesalahanku apa sama mereka..."
Puput mengangguk, terus mendengarkan.
"Kemarin juga... ada orang yang tiba-tiba teriak di depan mukaku, sambil bilang aku itu wanita murahan. Aku gak terima, aku lawan aja... cuma ya itu, semakin melawan, semakin aku dipojokkan..."
Nahda menatap Puput dengan mata berkaca-kaca. "Sebenarnya apa kesalahanku, Put? Kenapa orang-orang sepertinya benci sama aku? Apa kamu juga berpikiran sama? Aku juga takut, kamu sama kaya mereka..." lirihnya, air mata mulai mengalir.
Puput merasakan perih yang dialami sahabatnya. Perlahan ia merengkuh tubuh Nahda, memeluknya erat sambil mengelus punggungnya lembut.
"Kamu gak salah apa-apa, Han. Mungkin ada yang iri sama kamu, jadi banyak yang ngejelekin kamu. Kamu gak usah takut. Ada aku di samping kamu ya," ujar Puput tulus.
"Terima kasih, Put..." lirih Nahda di sela isak tangisnya.
"Udah-udah... Jangan nangis terus. Sekarang kita lanjut kerja dulu ya. Habis itu kita pulang dan ke sanggar. Ada latihan soalnya."
Nahda menghapus air matanya, mengangguk, dan tersenyum manis. "Ayo..."
Puput dan Nahda berjalan beriringan setelah bekerja dari kebun, seperti biasa, berbincang hangat satu sama lain. Tiba-tiba, seorang wanita datang dari arah depan, mendorong tubuh Nahda hingga gadis itu terjatuh ke tanah.
"Hana! Ya ampun!" Ujar Puput terkejut melihat sahabatnya jatuh terdorong. Ia segera membantu Nahda berdiri.
"Masih berani ya kamu menampakkan badanmu di sini, hah?" sembur wanita itu dengan nada menusuk.
Puput tak terima, geram. Ia segera menempatkan Nahda di belakang tubuhnya. Kali ini, ia tak akan membiarkan siapapun menyakiti sahabatnya.
"Apa maksud kamu, hah?! Kamu yang kurang ajar! Datang-datang langsung main dorong orang aja. Sopan gak begitu?!"
"Heh! Puput! Aku gak ada urusan sama kamu ya! Pantaslah dia digituin... secara dia wanita hina, dan gak pantas berada di desa ini!"
Nahda dan Puput terkejut mendengar ucapan kasar wanita tersebut.
"Seharusnya kamu sudah diusir dari kampung ini! Kamu kumpul kebo, kan, sama laki-laki di rumah kamu? Kasihan banget ya, tampang lugu tapi hati busuk!" Wanita itu meludah, perkataannya menusuk.
"Heh!! Jangan asal bicara ya!! Saya tidak pernah melakukan hal sekeji itu!! Siapa yang menyebarkan rumor murahan ini?!" Nahda kembali marah, tak tahan lagi dengan hinaan yang dilemparkan padanya.
"Kamu ada bukti gak kalau Hana melakukan hal itu? Jangan asal ngomong! Fitnah itu lebih kejam daripada pembunuhan!" bentak Puput, membela.
Namun, sepertinya wanita itu tak mendengar pembelaan mereka. "Halah... maling mana ada ngaku! Nanti juga bakal ketahuan sendiri! Udah ah, mau pergi aja... nanti ketularan sial lagi!"
Wanita tersebut berbalik, melangkah pergi meninggalkan mereka berdua yang masih dalam keadaan marah. Pertengkaran mereka ternyata disaksikan oleh sebagian warga sekitar. Puput yang menyadari tatapan menghakimi mereka segera menyerukan ucapannya dengan lantang.
"Kalian ngapain lihat-lihat?! Mau fitnah Hana?! Awas aja ya kalau dari kalian ada yang ketahuan jadi penyebab rumor ini, aku gak akan tinggal diam!"
"Ayo, Han... kita pergi."
Puput merasakan panas di hatinya, begitu juga dengan Nahda. Mereka segera beranjak dari sana, mempercepat langkah menuju rumah. Sesampainya di rumah, Nahda dan Puput langsung terduduk lemas. Emosi mereka masih belum mereda.
"Aku ambil minum dulu ya... kamu tunggu di sini," ucap Nahda.
Ia bergegas ke dapur, mengambil air. Tak lama kemudian, ia kembali dengan membawa dua gelas air putih, satu disodorkan pada Puput.
"Minum."
Mereka berdua meneguk air putih itu hingga tandas. Selain lelah fisik, emosi yang berkecamuk juga membuat mereka butuh ketenangan. Dengan segelas air, emosi mereka perlahan memudar.
"Siapa sih, Han, yang nyebarin berita bohong kaya gitu?"
"Aku juga gak tahu, Put..."
"Memang kamu pernah bawa laki-laki masuk ke rumah?"
Nahda terlonjak kaget mendengar pertanyaan Puput barusan. Raut wajahnya berubah marah, tersinggung dengan pernyataan itu. "Kamu mulai percaya sama mereka?"
Menyadari nada bicara Nahda yang marah, Puput segera memberikan penjelasan atas pertanyaannya. "Enggak... bukan gitu... aku cuma nanya... siapa tahu yang menyebarkan rumor itu, orang yang pernah lihat kamu sama laki-laki."
"Aku gak pernah bawa laki-laki masuk ke rumah... Amir juga cuma sebatas di bale depan. Kecuali..."
"Kecuali siapa?"
"Haris... Mungkin mereka menuduhku kumpul kebo karena Haris sering ke rumahku, Put. Tapi aku berani bersumpah, aku gak pernah melakukan apapun sama dia... dia cuma duduk di ruang tamu layaknya tamu biasa," jelas Nahda, berusaha meyakinkan Puput.
Puput terdiam sejenak. Tak lama kemudian, ia tersenyum. "Aku percaya kok sama kamu. Aku bakal terus bela kamu. Tapi, Han? Kamu gak mau aduin ini ke Haris?"
"Mereka gak bakal percaya kalau aku yang ngomong, Put. Nanti aku disebut halu lagi... ya sudahlah, Put, mau gimana lagi... semoga ini cepat berakhir."
"Aamiin..."
"Lebih baik, kita libur sanggar dulu aja... di luar gak aman buat kamu."
"Iya."
***
Di lain sisi, segerombolan pasukan tentara dan dokter berkumpul di sebuah ruangan. Hari itu, mereka diberikan jeda untuk melakukan rapat dadakan.
Semuanya sangat antusias saat Haris, sang komandan pasukan, mengumumkan bahwa misi mereka telah berhasil. Sorak gembira memenuhi ruangan, terlebih karena ini berarti misi mereka akan segera berakhir dan mereka bisa kembali ke tempat semula.
"Ini berkat Pak Haris... Pokoknya kalau misi ada di tangannya, pasti selesai sempurna," puji seorang junior.
"Ah, gak usah berlebihan... Ini berkat kalian semua. Ya sudah, besok adalah hari terakhir kita di sini. Kalian semua, bersiap rapikan barang ya. Jaga kondisi tubuh kalian... karena besok masih banyak pekerjaan, kalian boleh bubar."
"Siap, Pak!"
Semuanya bubar, jam menunjukkan waktu mereka harus kembali bekerja untuk terakhir kalinya. Di ruangan itu, kini hanya tersisa Haris dan Fahri.
"Akhirnya aku bisa balik juga..."
"Tapi percuma, Bro... kita di sini baru empat bulan. Kalaupun balik, harus mengabdi lagi di desa sebelumnya," ujar Haris, terkekeh.
"Ah elah... kenapa sih gak langsung pulang aja... aku udah capek pengen balik."
"Namanya juga kerja, ya capek lah... Udah jangan banyak ngeluh kamu... Kerja sana!"
Fahri mendengar perintah Haris, hanya mendengus kesal. "Ck... iya iya ah... aku ke markas dulu... Kamu juga sesekali ke sana dong... jangan sibuk jadi dokter mulu."
"Iya, nanti aku ke sana..."
Fahri meninggalkan ruangan dengan wajah ditekuk. Haris yang melihat temannya itu hanya tertawa pelan. Kemudian, ia kembali fokus pada berkas-berkas sebelum melakukan pemeriksaan kembali.
Matanya tiba-tiba salah fokus pada foto di bingkai yang ia letakkan di dekatnya. Senyum tipis terukir di bibirnya.
"Sebentar lagi aku pulang, sayang... tunggu aku ya."
***
Malam pun tiba.
Di sebuah rumah tua, hanya ada seorang gadis cantik yang tengah memasak makan malam. Kali ini, ia tak sendirian. Puput menemaninya, menginap selama seminggu untuk mendampingi sahabatnya.
"Kamu masak apa, Han?"
"Sayur capcay sama ikan lele goreng aja."
"Wuhh... enak ini!"
Seketika, kegiatan mereka terhenti saat mendengar suara ketukan dari arah pintu depan. Keduanya saling berpandangan.
"Siapa tuh, Han?"
"Gak tahu... Kamu lanjut dulu ya... aku mau keluar dulu."
Sreeeekkk...
Nahda membuka pintu depan secara perlahan. Meskipun sedikit takut, ia memberanikan diri untuk memastikan siapa yang datang ke rumahnya selarut ini. Saat pintu terbuka, ia terperangah melihat sosok laki-laki berjas putih tengah tersenyum ke arahnya.
"A Agung?!"
Ternyata yang datang adalah Agung. Nahda mengenal pria tersebut sebagai penolong ibunya dan juga teman dari kekasihnya.
"Halo, Hana... Selamat malam... Maaf mengganggu ya..."
"Iya, A, gak apa-apa... Ayo masuk..."
"Makasih..."
Agung melangkah masuk ke dalam rumah bilik itu dan duduk di bangku kayu yang berada di ruang tamu.
"Kamu sendirian aja, Han?"
"Ah, enggak kok... ada Puput di belakang. Kalau gitu, aku ke dapur dulu ya, A... mau ambil minum."
"Eh... gak usah repot-repot... aku ke sini cuma mau memastikan keadaan kamu baik-baik aja. Haris sering mengomel soal kamu..."
Nahda tertawa mendengar ucapan Agung. Memang benar, Haris menyuruh Agung untuk pergi ke kediaman kekasihnya, memastikan ia baik-baik saja. Haris akan terus mencecar Agung jika perintahnya belum dilaksanakan.
"Aku baik kok, A... Oh iya, A Agung sudah makan bareng kami? Kebetulan aku lagi masak... tapi sekarang Puput yang menggantikan."
"Boleh deh... saya juga belum makan dari siang, hehe... Lumayan," ujar Agung, terkekeh pelan.
"Oke... tunggu dulu ya, A."
Kemudian Nahda meninggalkan Agung sendirian di ruang tamu dan kembali ke dapur untuk melanjutkan masaknya. Puput yang melihat kedatangan Nahda langsung bertanya.
"Siapa yang datang?"
"A Agung yang datang ke sini," ujar Nahda, mengambil alih masakannya.
"A Agung? Maksud kamu Dokter Agung?"
Entah kenapa, mendengar nama Agung, hati Puput merasakan gejolak tak karuan.
"Iya... Oh iya, Put, kamu siapkan nasi ya... kita bakal makan malam bareng sama dia."
"Makan malam bareng Dokter Agung, Han?" Ujar Puput tak percaya.
"Iya... Kamu kenapa sih? Kok kaya kaget gitu?"
Seketika raut wajah Puput terlihat gugup. Ia pun gelagapan karena Nahda mulai bertanya padanya. "Ah... enggak kok, hehe... Ya sudah, aku siapin tempat sama ngasih minum ke dia."
"Oke, Put..."
Kemudian Puput membawakan segelas air untuk diberikan pada Agung yang sedang duduk di ruang tamu. Ia terdiam sejenak. Jantungnya masih berdebar kencang.
"Put... tenang, oke," batinnya.
Lalu, ia pun melangkah menuju ruang tamu dan meletakkan gelas itu di meja kayu tepat di hadapan Agung.
"Dokter Agung... silakan diminum."
"Eh... Puput... makasih ya."
"Iya... aku ke dapur lagi ya, Dok."
"Tunggu—"
Puput terhenti saat Agung menyuruhnya berhenti. "Ada apa, Dok?"
"Boleh temani saya di sini?"
Puput seketika gugup saat Agung menyuruhnya untuk menemaninya duduk.
"T-tapi..."
"Gak apa-apa... Ayo duduk... Saya ingin bicara sesuatu dengan kamu."
Lama terdiam, akhirnya Puput duduk di samping Agung. Ia masih menundukkan kepalanya karena malu.
"Hey... aku ada di depanmu... jangan menunduk begitu."
Lalu, Puput mendongakkan wajahnya dan melihat Agung yang tengah tersenyum ke arahnya.
"Eh, iya, Put... Bagaimana keadaan Hana sama kamu? Dia baik-baik aja, kan?"
Entah kenapa, ada rasa iri di dalam hati Puput. Mengapa Agung selalu mementingkan Nahda? Namun, Puput segera menghilangkan perasaan itu. Ia sadar bahwa dirinya masih kalah jauh dari Nahda, sang kembang desa.
"Put... kamu kok bengong?"
"Eh... iya, Dok... Tadi siang ada kejadian yang bikin emosi."
"Oh ya? Gimana ceritanya?"
Puput mulai bercerita tentang kejadian yang mereka alami tadi siang. Puput menjelaskan dengan detail tanpa dilebih-lebihkan. Raut wajah Agung seketika berubah, menahan amarah.
"Begitu, Dok... Makanya untuk saat ini aku menginap di sini."
Agung menghela napasnya. "Kurang ajar! Kalau Haris tahu bakal habis dia... Tapi, syukurlah kalian tidak apa-apa... Lain kali, jangan diam aja, langsung lapor ke saya ya."
"Iya, Dok..."
Mereka pun terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Puput sepertinya penasaran apakah Agung menyukai Hana. Tapi tidak mungkin, karena ia adalah sahabat dari Haris.
"Eumm... Dokter... saya boleh tanya sesuatu?"
"Tanya apa?"
Puput terdiam sejenak lalu menghembuskan napas beratnya untuk menetralkan hatinya. "Eumm... Dokter sangat baik sama Hana... apa Dokter punya perasaan padanya? Maksud saya, cinta sama Hana?"
Agung menaikkan sebelah alisnya. Puput yang tersadar jika omongannya terlewat dari topik segera meminta maaf.
"Maaf, Dokter... saya gak bermaksud buat Dokter tersinggung," lirihnya tidak enak.
Seketika terdengar suara tawa pelan dari Agung. Sementara Puput hanya melihatnya dengan heran. "Hahaha, kamu lucu ya... Hana memang cantik... tapi, saya tidak punya rasa apapun sama dia... terlebih lagi Hana itu kekasihnya Haris... bisa-bisa bonyok muka saya kalau ketahuan suka sama Hana."
"Lagi pula... ada wanita yang sudah aku incar sejak lama... Wanita itu juga sama kaya Hana... baik, lemah lembut dan sangat peduli dengan sekitar... Yang jelas saya tidak punya perasaan apapun... Semua yang kulakukan murni atas permintaan Haris sendiri."
"Oh, gitu..."
Saat Puput hendak melayangkan pertanyaan lagi, tiba-tiba Nahda datang dan membawa beberapa piring untuk mereka bertiga makan.
"Ayo... makan dulu."
"Waaahh, enak nih!"
"Ayo, A, makan."
Puput pun terdiam. Ia seketika merasa lega jika Agung tidak memiliki perasaan terhadap sahabatnya. Tapi, ia pun tersadar karena telah memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Haduhhh... ngapain aku senang coba... padahal Dokter Agung juga belum tentu suka sama aku... jangan geer," batin Puput, sembari menggaruk kepalanya.
"Put, kamu gak makan?"
"Eh... iya, ini aku mau makan kok."
Akhirnya mereka bertiga makan malam bersama. Suasana rumah mulai terasa kembali hangat. Mereka bertiga saling bertukar pembicaraan sehingga tidak terlalu sepi.
Agung yang memang kelaparan pun makan dengan lahap. Bahkan ia menambah porsinya lagi karena merasa tidak cukup. Setelah hampir 30 menit, makan malam pun selesai. Puput dan Hana segera membereskan bekas makan mereka. Sementara Agung berdiam diri di ruang tamu.
Kemudian mereka berkumpul kembali di ruang tamu usai mencuci piring yang tidak terlalu banyak.
"Makasih ya, Han... udah mau menampung saya makan, hehe... Eumm... saya pamit ya... saya ke sini hanya memastikan kamu baik-baik aja... Jaga diri baik-baik ya..."
"Iya, A Agung..."
"Kamu juga, Put... titip Hana ya... Kamu juga jaga diri ya."
"Iya, Dok..."
Agung melangkah keluar rumah dengan menenteng tas dokternya. Ia hanya ditemani Nahda yang ikut mengantarkannya. Sementara Puput, ia masih membereskan ruangan yang kotor.
"Pulang dulu ya, Han..."
"Iya, A... hati-hati ya."
Agung melangkah menjauh, meninggalkan pekarangan rumah Nahda. Mereka tak menyadari, ada seseorang yang tengah mengawasi Nahda dari kejauhan. Seketika, senyum miring terukir di wajah pengawas itu. Ia datang di waktu yang tepat, saat Nahda mengantar pria tersebut keluar dari rumahnya.
"Gosip baru, hihihi..."