Laluna: 'Aku mengira jika suamiku benar-benar mencintaiku, tetapi aku salah besar. Yang mengira jika aku adalah wanita satu-satunya yang bertahta di hatinya'.
Jika itu orang lain, mungkin akan memilih menyerah. Namun, berbeda dengan Luna. Dengan polosnya Dia tetap mempertahankan pernikahan palsu itu, dan hidup bertiga dengan mantan muridnya. Berharap semua baik-baik saja, tetapi hatinya tak sekuat baja.
Bak batu diterjang air laut, kuat dan kokoh. Pada akhirnya ia terseret juga dan terbawa oleh ombak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon retnosari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kisah dua negara
Angin malam menerpa kulit mereka berdua, tidak ada percakapan. Yang ada hanya tinggal kesedihan ketika seseorang dianggapnya berarti, kini meninggalkan kita. Namun, Luna juga tidak mungkin menahan Aroon meski hatinya begitu berat. Mata yang mulai terpejam bersamaan dengan menetesnya butiran bening itu di pundak Aroon.
“Lun, kamu tidak sedang ileran, kan?” Dengan sedikit menggoda, berharap malam ini bisa menjadikan mereka jauh lebih dekat. Walau akhirnya terpisah oleh negara.
“Lun!”
Dua kali panggilan, tetapi Luna sama sekali tidak menimpali. Membuat Aroon tak lagi memanggilnya. Hingga mereka kedua tiba di depan rumah, yang mana di sana sudah ada Aruna menunggu.
“Paman, apa yang terjadi pada Luna? Kenapa dia ada di gendonganku?” cerocos Aruna dengan penuh kekhawatiran.
“Tidak sengaja bertemu di taman.” Jawab Aroon dengan singkat.
“Bukankah Paman keluar membawa mobil? Lalu di mana sekarang,” ujar Runa dengan heran.
“Luna ingin berjalan kaki sambil melatih kakinya. Aku yang tidak sabar dan langsung menggendongnya,” jawab Aroon.
“Kalau begitu cepat bawa dia masuk, kasihan karena ketiduran di gendonganmu!” ucap Runa karena semenjak Aroon kembali, ia melihat jika Luna sedang tidur.
“Uhm.” Jawaban dari Aroon, lalu lelaki itu pun membawa Luna masuk untuk diletakkan di dalam kamar.
Sesaat kemudian. Tubuh rampingnya berhasil dibaringkan, bibirnya yang memerah, serta bekas dari wajah usai menangis. Kini Aroon bisa menyimpulkan jika tetesan tadi adalah air matanya.
“Lun, aku mencintaimu. Namun, aku juga tidak bisa memaksamu untuk menerima perasaanku.” Aroon bergumam, tangannya mengusap lembut jari-jemari milik Luna, karena selama ini orang yang dikirim Tuhan adalah Luna, tetapi temboknya sedikit tinggi karena mereka berbeda negara.
“Maaf jika aku sempat memiliki perasaan padamu. Jauh sebelum kamu berpisah, dengan yakinnya bisa mendapatkanmu. Sayangnya apa yang aku inginkan tidak tersampaikan,” guman Aroon lagi.
Setelah puas memandangi wajah Luna, menyelimutinya agar tidak kedinginan. Barulah Aroon keluar dengan sedikit ketidakrelaan.
Rupanya keluarnya Aroon sudah dinanti-nanti oleh Runa. Kedua tangannya diselipkan di antara di sela lengan kanan dan kirinya, memandangi sang paman dengan penuh tanya. Rasanya sedikit aneh jika Aroon tiba-tiba menggendong Luna, di mana jarak antara rumah dan taman memakan waktu satu sekitar 40 menit.
“Paman, apa Paman sudah berterus terang kepada Luna?” tanya Aruna.
“Sudahlah. Jangan mengungkit soal ini lagi,” ujar Aroon di mana yang memang sengaja menghindar dari pertanyaan tersebut.
“Apa dia tahu jika Paman besok akan kembali ke jepang?”
Aroon tidak menjawab, langsung melengos pergi meninggalkan Aruna, karena menurutnya. Tak ada yang perlu dikatakan lagi.
Aruna hanya bisa menghela napas. Baru kali ini ia melihat sang paman patah hati dari yang dulu tidak memikirkan soal cinta, tetapi semenjak kedatangannya dan bertemu sosok Laluna. Semua seakan berbeda.
Sedangkan di dalam kamar Luna terisak di bawah selimut. Ia tidak tahu harus berbuat apa, meski sidang berjalan dengan lancar. Tak ada masalah dalam perceraian, bukan berarti harus terburu-buru untuk mencari pengganti Arindra.
Hari-hari yang sulit sudah terlewatkan. Namun, hatinya masih gelisah karena kehadiran Aroon. Batinnya kembali tersiksa oleh perasaannya sendiri yang tak mampu ia bendung.
Keesokan harinya.
Saat ini, tibalah di mana Aroon hendak kembali ke jepang. Luna sengaja tidak ikut mengantarnya karena keterbatasannya dalam berjalan. Di bandara inilah semua kisah akan terputus dan Aroon harus kembali merajut hidupnya kembali.
Aruna yang melihat sang paman tampak gelisah ia pun semakin tak kuasa, air matanya jatuh. Menyesali apa yang sudah terjadi. Seandainya Runa tidak mengajaknya, mungkin Aroon tak sesedih ini. Seandainya ia juga tidak meminta sang paman berlibur di negaranya. Mungkin pertemuan ini tak akan terjadi.
“Paman, apa semuanya akan baik-baik saja?” tanya Aruna kepada pamannya.
“Tentu, jaga diri baik-baik. Jaga Luna juga karena dia tidak memiliki tempat selain kamu di mana harus pulang,” ucap Aroon seraya menepuk bahu sang ponakan.
Aruna mengangguk, memeluk sang paman dengan erat.
“Paman hati-hati juga.”
Aroon mengangguk, tetapi pandangannya bukan ke arah Aruna. Melainkan kesekitarnya, berharap sesuatu yang diinginkan ada di depan mata, tetapi rasanya itu tidaklah mungkin.
Beberapa detik telah berlalu. Tidak ada sesuatu di sekitarnya. Suara peringatan dari operator karena pemberangkatan sebentar. Akhirnya, Aroon—dengan yakin melangkahkan kakinya meninggalkan bandara.
“Sudahlah, lagi pula itu pun tak akan terjadi.” Hanya bisa membatin, Aroon pergi dengan membawa koper. Kepalanya tertunduk lemas karena pada akhirnya kisah yang ia coba jalani harus berakhir.
Sedangkan di tempat yang sama, seseorang berjalan dengan tergesa-gesa. Bermodalkan alat bantu jalan, ditemani dengan seorang laki-laki untuk tetap menjaganya kini sedang menyisiri tempat luas itu.
“Mas, apa aku sudah terlambat?” Dengan penuh sesal, seorang wanita berjalan mencari seseorang yang dianggapnya penting mulai detik ini.
“Tidak, kita masih punya waktu 20 menit lagi. Seharusnya dia masih ada di sini,” ucap lelaki tersebut usai melihat jam tangannya.
“Kalau begitu cepatlah cari, agar dia bisa ditemukan.” Jawab wanita itu, dengan napas naik turun serta menahan rasa nyeri di kakinya. Ia pun tetap tidak ingin menyerah.
Keduanya masih berusaha mencari, waktu kurang 20 menit lagi. Sebelum Take Off, berharap jika orang tersebut belum masuk pesawat.
Beberapa kali Luna memanggil namanya, tak ada yang merespons, itu artinya dia sudah telat. Kali ini ia benar-benar berada di sebuah penyesalan.
“Kita kembali, sepertinya dia sudah masuk ke dalam pesawat.” Suara lemahnya, membuat seseorang yang sempat menemaninya menatap dengan rasa kasihan.
“Tidak, sisa waktu 15 menit lagi. Kita pasti bisa menemukannya,” ucapnya yang tak ingin menyerah ketika mendengar penuturan mantan istrinya.
“Ar, jika kamu mencintaiku. Pasti kamu akan menungguku sebelum mendapatkan izinku,” ucap Luna, saking lelahnya ia pun terduduk di lantai. Menutupi wajahnya karena benar-benar tak berguna.
“Kamu masih punya waktu beberapa bulan untuk menggantikannya, kenapa harus pergi tanpa mendengarkan jawabanku.” Lagi … Luna pun terisak karena sudah terlanjur menyesal.
Luna yang terisak dan menyembunyikan wajahnya di antara kedua lututnya. Merasa jika ada sepasang kaki tepat di depannya.
“Berdirilah, jangan membuatku terlambat!”
Suara itu, suara yang tak asing di telinga Luna. Seketika merasa jika ada secercah harapan sedang menghampirinya.
Setelah memastikan, ternyata benar. Dia adalah lelaki yang dicarinya sedang berdiri mengulurkan tangannya, agar Luna bisa meraihnya.
“Aroon!”
Luna pun langsung berdiri, dengan cepat Aroon pun menangkap tubuhnya.
“Ar, aku minta maaf. Maaf karena membuatmu pergi dengan sia-sia,” ucap Luna dengan air mata yang tak terbendung.
“Terima kasih, terima kasih karena kamu sudah berusaha mencariku, lantas apa hubungan kita sekarang, setelah kamu berhasil menghalangi kepulanganku.”