"Mahasiswi nakal harus dihukum!" Suara dinginnya menggelegar dan mengancam. Dia Gabriel, dosen killer yang terkenal kejam dan tidak suka digoda wanita.
Ivy, seorang primadona kampus memiliki nilai yang buruk dan nakal. Akibat kenalakannya, Mr. Gabriel ditugaskan untuk mengurus Ivy.
"Kerjakan soalnya atau aku akan menghukummu."
Karna tersiksa, Ivy mencoba membuat Mr. Gabriel menjauh berdasarkan rumor yang beredar. Tapi bukannya menjauh, Mr.Gabriel malah balik mendekatinya.
“Cium aku dong Mister~” Ivy selalu menggoda dosennya duluan agar risih.
Cup!
Bibirnya seketika dicium dalam dan membuat Ivy kewalahan. Saat pagutan dilepas, Ivy merasa bingung.
“KOK DICIUM BENERAN, MISTER?!”
“Loh kan kamu yang minta, kok di gas malah takut?”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pannery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Niat
Mr. Gabriel pulang dalam keadaan linglung. Langkahnya terasa berat, kepalanya dipenuhi berbagai pikiran yang tak bisa ia abaikan.
Ivy, dengan segala tingkah lakunya yang berani, berhasil meretakkan tembok yang selama ini ia bangun kokoh.
Bahkan ketika Mr. Gabriel berdiri di bawah pancuran air hangat, mencoba menenangkan dirinya, bayangan Ivy tak juga pergi.
Setetes demi setetes air mengalir di wajahnya, tetapi hatinya justru semakin gaduh. Ia teringat bagaimana Ivy mendorongnya ke dinding, menarik dasinya, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya gila.
“Bagaimana perasaanmu? Apakah kamu menyukainya?” Suara itu menggema di kepalanya.
“Gila…” gumamnya pelan, menekan kepalanya di bawah air yang semakin deras.
Namun, seberapa keras ia berusaha melupakan, perasaan itu justru semakin jelas.
Tidak bisa disangkal lagi, ciuman Ivy tadi—walau mendadak—tidak buruk. Justru sebaliknya, ia merasa hangat.
Berada di dekat Ivy, meskipun awalnya menyebalkan, sekarang malah terasa menyenangkan. Gadis itu bahkan membuatnya tersenyum… sesuatu yang jarang ia lakukan.
Namun, di tengah pikirannya tentang Ivy, sebuah bayangan lain muncul—bayangan seorang wanita yang selalu ia lihat dari balik kaca rumah sakit. Ella.
Ella adalah wanita yang dititipkan oleh ayahnya untuk dinikahinya.
Gadis yang dulu ia kenal sebagai sosok lembut dan kuat kini hanya terbaring di ranjang rumah sakit. Tubuhnya semakin lemah dari tahun ke tahun.
Mr. Gabriel selalu datang menjenguknya, meskipun kedatangan itu selalu diiringi perasaan hampa.
Mereka tidak pernah benar-benar memiliki hubungan seperti dua orang yang saling mencintai. Tidak pernah ada ikatan yang nyata.
Ella tidak pernah ingin pernikahan ini. Bahkan, berkali-kali ia menolak perjanjian itu.
Mr. Gabriel tau, Ella juga beberapa kali memiliki pria lain dalam hidupnya. Itu bukan rahasia. Namun, Mr. Gabriel tetap datang, tetap menjaganya.
Hal itu ia lakukan bukan karna cinta, melainkan karna sebuah tanggung jawab yang tertanam kuat dalam dirinya.
Di dalam hatinya, Mr. Gabriel merasa dilema. Antara kewajiban untuk menjaga Ella dan perasaannya yang mulai tumbuh liar terhadap Ivy.
Ivy yang begitu hidup, begitu berbeda dari semua wanita yang pernah ia temui. Gadis itu penuh kejutan, membuatnya tertantang, membuatnya tersadar bahwa ia masih mampu merasakan sesuatu.
Mr. Gabriel menatap pantulan dirinya di cermin kamar mandi. Air menetes dari rambutnya yang basah.
Tatapan matanya tajam namun terlihat lebih lembut dari biasanya. Untuk pertama kalinya, ia merasa ingin menyerah pada janjinya.
“Aku hanya perlu menjaganya kan..” Gumamnya pelan. "Aku juga harus memilih seseorang untuk diriku sendiri."
Mr. Gabriel menarik nafas panjang, meneguhkan hatinya.
Kini, pikirannya semakin jelas. Ella bukan lagi masa depannya. Tidak ada gunanya mempertahankan janji yang akan berujung hampa.
Dan Ivy… Ivy adalah gadis yang berhasil membuatnya lupa sejenak akan beban hidup yang selama ini ia pikul.
Ivy adalah kebebasan, sesuatu yang liar namun indah. Ia ingin terus melihat senyum Ivy, ingin terus merasa hidup setiap kali berada di dekatnya.
“Baiklah,” gumam Gabriel, kali ini dengan nada yang lebih yakin. Ia akan mengikuti nalurinya.
Apa pun risikonya, ia tidak akan menolak perasaan yang sudah mulai tumbuh dalam hatinya.
Langkahnya terasa lebih ringan ketika ia keluar dari kamar mandi. Untuk pertama kalinya, ia tersenyum kecil saat memikirkan seseorang. Gadis itu benar-benar telah meretakkan dinding hatinya.
“Dia benar-benar nakal sampai berhasil membuatku galau begini,” ucapnya pelan, tapi kali ini suaranya terdengar lembut.
Entah bagaimana, ia justru menantikan pertemuan berikutnya dengan Ivy.
...****************...
Beberapa hari kedepan, waktu bimbingan dengan Mr. Gabriel.
Ivy melangkah memasuki gedung kampus dengan jantung yang berdegup lebih kencang dari biasanya.
Setiap langkah menuju ruang kelas terasa seperti jarak yang memanjang, seakan tak berujung. Nafasnya ia tahan, kedua tangannya memegang tali tasnya erat, berusaha meredam kegugupannya.
Saat Ivy membuka pintu ruang bimbingan, pandangan pertamanya langsung jatuh pada Mr. Gabriel yang sedang fokus membaca materi di mejanya.
Pria itu terlihat begitu tenang, tak acuh seperti biasanya. Namun, ketika Ivy mendekat, tatapan tajam Mr. Gabriel beralih sejenak, melirik gadis itu.
“Selamat siang, Mister…” Suara Ivy terdengar lirih, nyaris bergetar.
“Hmm…” Mr. Gabriel bergumam, menutup bukunya perlahan. Kemudian, tanpa peringatan, pria itu berdiri dan berjalan menuju pintu.
Kunci pintu itu berputar—suara klik terdengar jelas, membuat Ivy menelan ludahnya.
“Eh… Apa?” Ivy bergumam panik, tubuhnya langsung menegang.
Apa maksudnya? Kelas ini hanya mereka berdua—seperti biasa—tetapi kali ini suasananya terasa begitu berbeda. Ada ketegangan yang menggantung di udara.
Ivy mundur setengah langkah, tatapannya melekat pada Mr. Gabriel yang berjalan mendekat dengan langkah pelan.
“Mister, kenapa pintunya dikunci?” Tanyanya, mencoba terdengar tenang, namun suaranya jelas bergetar.
Mr. Gabriel berhenti tepat di hadapannya. Tatapan pria itu menembus dirinya, tajam namun terasa… hangat.
Bibirnya sedikit melengkung membentuk senyum samar.
“Kamu masih ingat pertanyaan yang kamu ajukan kemarin?” Bisiknya, suaranya rendah dan dalam, membuat bulu kuduk Ivy meremang.
“Pertanyaan apa?” Ivy berusaha menghindari tatapannya, namun pria itu mencondongkan tubuhnya lebih dekat.
“Apakah aku menyukainya…” Mr. Gabriel mengulang, matanya tak lepas dari wajah Ivy yang memerah.
Jarak di antara mereka semakin dekat, dan Ivy bisa merasakan detak jantungnya yang memukul keras di dalam dada. “Aku punya jawabannya sekarang.”
Ivy menelan ludahnya, tenggorokannya terasa kering. “Apa… apa jawabannya, Mister?”
Mr. Gabriel mendekat lebih lagi, sampai Ivy bisa merasakan hembusan nafas hangatnya. Pria itu tersenyum kecil sebelum berbisik di telinganya, “Ya, aku menyukainya. Aku suka ketika menciummu."
Waktu terasa berhenti. Ivy nyaris tidak bisa berpikir ketika tangan Mr. Gabriel perlahan mendarat di bahunya.
Sebelum Ivy sempat merespons, pria itu menahan tengkuknya dan tanpa aba-aba, ciuman terjadi lagi dengan begitu intens.
Ivy membelalakkan mata, jantungnya seperti akan meledak. Namun, sentuhan itu lembut sekaligus menuntut.
Sebuah kombinasi yang membuat kepalanya berputar dan tubuhnya melemas.
Ketika Mr. Gabriel akhirnya melepaskan hal itu, Ivy terengah, wajahnya bersemu merah. “M-Mister… apa yang—”
“Kalau kamu? Apa yang kamu rasakan sekarang?” Mr. Gabriel memotongnya, tatapannya lembut namun serius.
Ivy menggigit bibir bawahnya, bingung harus menjawab apa. “Aku… aku…”
“Apakah menjawab pertanyaan seperti itu sulit?” Mr. Gabriel membalas perlakuan Ivy kemarin.
Wajah Ivy seketika memerah, ia geram sekaligus senang. "YA, AKU MENYUKAINYA!"
Mr. Gabriel tertawa kecil lalu menepuk kepala gadis itu lagi.
Ivy nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja ia katakan. Wajahnya memanas, dan ia hanya mampu menatap pria itu dengan mata membulat.
Mr. Gabriel tersenyum tipis sebelum akhirnya menjauh perlahan. “Sekarang, duduklah. Kita akan mulai bimbingan seperti biasa.” Ucapannya terdengar tegas, namun ada sedikit kelembutan di dalamnya.
Ivy menunduk, wajahnya masih merah padam. Namun, senyum kecil terukir di bibirnya.
Untuk pertama kalinya, ia merasa hubungan mereka telah melangkah lebih jauh—sesuatu yang hanya ada dalam angan-angan kini terasa begitu nyata.
Dan di saat itu, Ivy tau jelasnbahwa hatinya sudah sepenuhnya jatuh kepada pria itu.
***
Suasana di dalam ruangan terasa begitu sunyi, hanya terdengar detak jam di dinding yang berputar pelan.
Ivy duduk di kursinya dengan gugup, tangannya memegang pena yang sama sekali tak bergerak.
Berbeda dari biasanya, pandangan Mr. Gabriel kali ini seolah menelan setiap inci dirinya—tenang, namun berbahaya.
“Buka bukunya,” perintahnya, suaranya rendah dan nyaris berbisik.
Dengan tangan gemetar, Ivy membuka lembaran materi di hadapannya. Namun pikirannya tak mampu fokus.
Hatinya bergemuruh, Ivy masih terjebak dalam bayang-bayang adegan yang dilakukannya bersama pria itu, beberapa menit lalu.
Mr. Gabriel, yang tadinya duduk di seberang meja, tiba-tiba bangkit dan berjalan mendekat.
Langkahnya berat namun terukur, menciptakan ketegangan yang memenuhi ruangan.
Tanpa peringatan, ia menaruh tangannya di meja Ivy, membungkuk sedikit hingga wajah mereka hanya terpisahkan oleh beberapa sentimeter.
“M-Mister… apa—”
“Bimbingan kali ini berbeda, Nona Ivy,” bisiknya, nada suaranya begitu dalam, menusuk langsung ke relung perasaan gadis itu.
“Kali ini, kamu adalah materinya.”
Ivy meneguk ludah, jantungnya berdebar semakin kencang. Pria itu menjawabnya dengan tatapan yang sulit dijelaskan.
Sebelum Ivy sempat menyadarinya, tangan kuat Mr. Gabriel sudah menarik tangannya, membawanya berdiri di hadapannya.
“Mister…?” Ivy bergetar ketika pria itu menyentuh pinggangnya, mengangkatnya dengan mudah dan mendudukkannya di atas meja kayu yang dingin.
Sensasi kontras itu membuat seluruh tubuh Ivy membeku. “Apa ini…”
Mr. Gabriel tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia mencondongkan tubuhnya lebih dekat, membuat Ivy tak punya ruang untuk mundur.
Hembusan nafas pria itu menyapu wajahnya, menciptakan getaran aneh yang menjalari tubuhnya.
“Kamu terlalu sering bermain-main denganku,” bisiknya, ujung jarinya menyapu rambut Ivy yang jatuh di pipinya.
Sentuhan itu ringan namun menusuk, meninggalkan jejak panas yang tak kasat mata. “Kini giliranku yang akan mempelajarimu.”
Ivy menahan nafas ketika pria itu perlahan mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari miliknya.
Namun bukan b1 bir yang menyentuhnya terlebih dahulu, melainkan hidung Mr. Gabriel yang menggesek lembut sepanjang garis pipinya, turun hingga ke rahangnya.
Ivy menggigit b1 bir bawahnya, matanya terpejam tanpa sadar, seolah menikmati sentuhan halus namun penuh kuasa itu.
“Kenapa sekarang diam, Nona Ivy?” suara pria itu terdengar seperti desisan yang menggoda. “Biasanya kamu banyak bertanya.”
Ivy tak mampu menjawab. Seluruh pikirannya kosong, hanya ada kehadiran pria itu yang memenuhi setiap ruang dalam dirinya.
Ketika Mr. Gabriel akhirnya menyentuh bibirnya, ciuman datang lagi tanpa terburu-buru—perlahan namun pasti.
Ivy merasakan tangannya meremas sisi meja di bawahnya, berusaha menemukan pijakan di tengah badai perasaannya.
Namun ketika hal itu semakin dalam, pria itu menarik tengkuknya, memiringkan kepala gadis itu untuk menyelaraskan gerakannya.
Hal itu terjadi lebih menuntut dan lebih berani. Setiap sentuhannya seakan mengukirkan sesuatu di tubuh Ivy, sebuah jejak yang tak akan mudah terhapus.
Ruangan terasa semakin panas, udara semakin tipis, namun Ivy tak peduli.
“Kamu adalah materi yang menarik, Nona Ivy.” Gumam pria itu dengan suara rendahnya.
Pria itu tak melanjutkan kata-katanya lagi. Sebagai gantinya, ia kembali memperdalam setiap tindakannya.
Sementara tangannya kini bergerak naik, menyentuh wajah Ivy dengan penuh kelembutan.
Jemarinya menelusuri garis rahang gadis itu, turun hingga ke lehernya yang berdenyut kencang, seolah menyadari betapa lemahnya gadis itu di hadapannya.
“M-Mister… jangan seperti ini,” bisik Ivy pelan, hampir tak terdengar.
Namun tubuhnya tetap membalas, kedua tangannya terangkat, meraih kerah kemeja pria itu seakan menolak untuk dilepaskan.
“Ucapan dan sikapmu berbeda sekali,” jawab Mr. Gabriel sambil menatapnya dalam.
Matanya terlihat lebih gelap, lebih berbahaya—dan Ivy tau, ia sedang berada di tepi jurang yang tak seharusnya ia dekati. Namun entah mengapa, ia tak ingin mundur.
Ketika pria itu kembali menc1 - umnya, kali ini lebih lembut dan lambat, Ivy merasa dirinya tenggelam semakin dalam. Seperti daun yang jatuh pasrah mengikuti arah angin.
Dan di tengah semua itu, Ivy menyadari satu hal—ia tak lagi bisa melawan pesona pria ini. Mr. Gabriel telah membuatnya mabuk—tanpa pernah menyentuh segelas anggur.
...****************...
Ruangan itu seperti terisolasi dari dunia luar. Hanya ada mereka berdua—dua sosok yang saling menantang batas, tak ada lagi jarak yang benar-benar memisahkan.
Ivy masih duduk di atas meja, wajahnya merah padam dan nafasnya tak beraturan.
Mr. Gabriel mendekat lagi, langkahnya perlahan namun penuh kepastian.
Jemarinya terulur, menyentuh lembut sisi pipi gadis itu sebelum turun perlahan menyusuri rahangnya, seolah menyelami tekstur kulit yang begitu ia kagumi.
“Ivy…” bisiknya, nyaris seperti geraman yang menggetarkan telinga gadis itu.
Ivy menelan ludah, tubuhnya menegang saat sentuhan pria itu bergerak lebih jauh—turun perlahan ke lehernya.
Ujung jari Mr. Gabriel menyapu lembut kulit sensitif di sana, membuat Ivy seketika memejamkan mata, menikmati sensasi yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Kenapa… kamu tidak mengatakan apapun?" Tanya Mr. Gabriel, suaranya rendah, nyaris serak.
Jemarinya kini bergerak menuju tulang selangka Ivy, berhenti di sana sejenak, bermain-main di atas kain tipis yang menutupi tubuh gadis itu. "Apa kamu takut sekarang?"
Ivy membuka matanya perlahan, menatap pria itu dengan campuran gugup dan berani.
“Tidak…,” jawabnya nyaris tak terdengar. Namun, jawabannya justru memicu senyum samar di bibir Mr. Gabriel—senyum yang lebih berbahaya dari tatapannya.
“Kamu biayanya selalu berani menantangku,” gumamnya. Kali ini, tangannya bergerak ke pinggang Ivy, menggenggamnya dengan mantap.
Hal itu membuat Ivy tersentak kecil, namun ia tak beranjak, hanya bisa mengigit b1 - bir bawahnya demi menahan suara yang ingin keluar.
Mr. Gabriel mendekatkan wajahnya lagi, nafasnya yang hangat menyapu telinga Ivy.
“Aku penasaran…” bisiknya lembut, sementara jemarinya dengan sengaja menyusuri punggung gadis itu, melalui kain yang tak mampu sepenuhnya melindungi dari kehangatan telapak tangannya.
“Sejauh mana kamu bisa bertahan, Ivy?”
Ivy hanya bisa membalas dengan helaan nafas pendek.
Sentuhan pria itu, meski tak kasar, terasa begitu menguasai—mengoyak pertahanannya sedikit demi sedikit.
Tv - buhnya seakan bereaksi tanpa bisa ia kendalikan, seolah Mr. Gabriel tahu persis bagaimana caranya memainkan kelemahannya.
Tangan pria itu kembali bergerak—kali ini lebih jauh, menyapu lembut sisi pinggang gadis itu, mengunci posisinya agar tak bisa lari.
Ivy merasakan panas menjalari tubuhnya, mengalir begitu cepat hingga membuatnya kehilangan fokus.
“Mister…” panggilnya, tak lebih dari gumaman samar.
“Apa?” balas Mr. Gabriel, bibirnya kini hampir menyentuh kv - lit leher Ivy. Suaranya bergetar, namun penuh kendali. "Kamu ingin aku berhenti?"
Ivy menggeleng kecil, hampir tanpa sadar, sementara tangannya bergerak meremas lengan pria itu, mencari pegangan di tengah badai sensasi yang menyerangnya.
“Bagus,” jawabnya singkat, sebelum akhirnya mengecup l3 - her Ivy—pelan. Ivy memejamkan mata, merasakan bagaimana pria itu mengecupnya. Kecupan itu tak lama, namun jejaknya seakan membekas.
Saat pria itu menjauh, Ivy membuka matanya perlahan. Tatapan Mr. Gabriel begitu intens, seakan menyalakan bara yang sudah lama terkubur di dalam dirinya.
“Kamu tidak akan bisa melarikan diri lagi, Ivy,” kata Mr. Gabriel dengan suara rendah, penuh janji. “Karna kali ini aku… tidak berniat melepaskanmu.”
Gadis itu menatapnya tanpa mampu berkata apa-apa. Ada sesuatu dalam tatapan pria itu yang membuatnya takluk—sesuatu yang tak akan pernah bisa ia hindari.
ayo dong up lg..
semangat💪
ikut nyimak novelmu thor..