ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20
Mereka bertiga berdiri berjajar di tengah jalan kecil yang hanya diterangi lampu kuning pucat. Satu pria berdiri paling depan—posturnya tinggi, bahunya lebar, ekspresinya percaya diri berlebihan—dan disampingnya berdiri dua bayangan lain: seorang pria yang tampak kurus namun berotot kering, dan seorang wanita berwajah tajam dengan mata seperti kucing.
Aura mereka tidak istimewa… tetapi jelas bukan manusia biasa.
Adelia mendesis pelan, menyeringai.
“Penyihir bayaran, ya?”
“Penyihir bayaran?” ulang ku, menoleh padanya.
“Mereka para penyihir rendahan yang rela melakukan apapun jika dibayar.” Adelia menatap mereka seolah sedang menilai barang dagangan murahan. “Biasanya tidak punya loyalitas. Tidak punya etika. Tidak punya otak juga.”
Pria pemimpin mendengus, tampak tersinggung.
“Penyihir tingkat 7, Adelia. Kami tidak ada urusan denganmu. Menyingkirlah.”
“Oh?” Adelia mengangkat alis, senyumnya mengembang.
“Jadi kalian hanya penyihir tingkat 8… dan 9?” tatapnya ke masing-masing dari mereka.
“Dan berani menyuruhku minggir?”
“Kau bilang apa?!” bentak wanita itu.
“Kau pikir kau kuat hanya karena sudah tingkat 7?!”
“Dia bahkan belum naik lama!” kata lelaki tingkat 9. “Jangan sombong!”
Adelia memutar mata, malas.
“Aku cuma menyebut fakta. Kalian para kroco… benar-benar sensitif, ya?”
Tekanan aura mereka meningkat tajam.
Ada getaran halus di udara, seperti listrik statis merayap di kulitku.
Aku tahu—pertarungan bisa pecah kapan saja.
Pemimpin mereka melangkah maju.
“Ini peringatan terakhir. Minggir. Sekarang.”
Namun Adelia hanya mendengus geli.
“…Kalau aku bilang, tidak?”
Suasana langsung pecah.
Ketiganya merentangkan tangan, memadatkan energi di sekeliling tubuh. Angin bergolak. Bayangan memanjang di permukaan jalan. Cahaya lampu berkedip.
Tubuh Adelia miring sedikit ke depan, senyumnya berubah menjadi senyum seorang pemburu.
“Baguuuus…”
Nada suaranya rendah, hampir seperti bisikan iblis.
“Aku juga dari tadi menahan diri.”
Dan saat itu—
Cairan hitam muncul dari bawah telapak kakinya—perlahan, seperti tinta hidup yang merembes keluar dari retakan dunia.
Ia merayap ke sampingku, menumpuk menjadi massa gelap yang berdenyut… mengembang… lalu pecah dalam semburan bayangan.
Dari dalamnya muncul wujud ular raksasa sepanjang lima meter.
Sisiknya hitam legam, mengkilap seperti batu obsidian basah.
Mata merahnya menyala, menatap tajam ke arah musuh.
Nafasnya terdengar berat, serak—seperti gesekan dua bilah baja berkarat.
Orochi.
Belum sempat nafasku stabil, angin mendadak berputar.
Gelombang udara menekan tubuhku, sementara bulu hitam-keperakan beterbangan di udara.
Bayangan besar turun dari balik punggung Adelia, membuka sayap selebar hampir tiga meter.
Seekor elang raksasa mengangkat kepalanya tinggi, menatap para penyihir bayaran itu dari atas.
Sky.
Wanita penyihir bayaran itu ternganga.
“A-Apa itu…? Dia memanggil dua familiarnya sekaligus?!”
Pemimpinnya berteriak, pura-pura tetap tenang.
“Tingkatanmu memang di atas kami, tapi melawan satu tingkat 8 dan dua tingkat 9 sekaligus, kau tetap tidak punya kesempatan!”
Dia mengumpulkan energi.
Bola api sebesar bola basket tercipta di tangannya, berputar panas.
“Serang!”
Bola api itu ditembakkan ke arah kami, dengan panas yang membuat udara bergelombang.
Namun—
Craaak!
Orochi melingkari tubuh kami, sisiknya menyatu menjadi perisai hitam setebal baja. Bola api menghantam sisik itu, tetapi hanya meninggalkan asap tipis.
Tidak ada kerusakan. Sama sekali.
Adelia menepuk kepala Orochi.
“Good boy.”
Pemimpin mereka memaki sambil mundur setengah langkah.
“Tidak mungkin… api tingkat delapanku tidak mempan?!”
Namun rasa kagetnya tidak bertahan lama. Dengan geram, ia mengangkat kedua tangan.
Deretan bola api muncul di udara—banyak, puluhan, melayang di atas kepalanya seperti gugusan bintang yang menyala. Dalam satu helaan napas, semuanya meluncur turun, menghujani Adelia dan Orochi tanpa jeda.
Wanita di belakangnya juga tidak tinggal diam. Ia mengangkat kedua tangan, seolah meremas udara. Bayangan hitam merayap dari tubuhnya, menajam, lalu berubah menjadi bilah-bilah gelap yang ditembakkan ke arah Adelia dan Orochi, mengikuti serangan api sang pemimpin.
Sementara itu, pria tingkat sembilan satu lagi menjejak tanah keras. Getaran menjalar cepat. Tanah di bawahnya merekah, dan beberapa pilar batu terangkat dari retakan, melesat tajam ke arah kami.
Tiga serangan sekaligus.
Adelia hanya mendengus pendek.
“Hari ini angin sepoi-sepoi ya… Sky.”
Elang raksasa itu mengepakkan sayap.
BUUAAAAAASSSSHH!!
Satu kali kepakan sayap, dan dunia seperti terbelah.
Angin tajam setajam ribuan pisau berhamburan ke depan, menghantam semuanya sekaligus. Bilah bayangan terpotong. Pilar batu pecah menjadi kerikil. Api yang tersisa langsung padam.
Ketiga penyihir itu terlempar berguling-guling di jalanan.
“M-Mustahil! Itu… itu bukan angin biasa!”
Pria tingkat 9 mencoba berdiri tetapi lututnya goyah.
“Serangan yang barusan…”
Wanita itu terpaku, suaranya bergetar.
“Itu kelas—”
Adelia menyeringai lebih lebar.
“Hei, belum selesai.”
Ia menjentikkan jarinya.
Sekejap kemudian—
Orochi menerjang.
Monyong besar itu menganga, menampilkan deretan taring yang tampak seperti bilah pedang. Ular itu melesat cepat, memotong udara seperti cambuk setan.
Pria pemimpin buru-buru membuat penghalang api, tetapi—
BRUAAAAK!
Penghalang itu pecah seperti kaca.
Ular itu menghantam tubuhnya, melemparkannya ke tembok. Batu bata runtuh menimpa punggungnya.
Pria itu berteriak.
“GAAAAAAH!”
Wanita penyihir bayaran mencoba melarikan diri ke arah semak-semak, tetapi Sky menjatuhkan dirinya dari udara.
DUUUM!
Tanah bergetar saat elang raksasa itu mendarat tepat di depannya. Angin dari sayapnya menghancurkan pagar besi terdekat seperti kertas.
Wanita itu menjerit, terjatuh mundur.
“K-Kami menyerah! Kami menyerah! Kami mund—”
Sky mengeluarkan suara tajam, seperti peringatan predator.
Wanita itu membeku, tak berani bergerak sedikit pun.
Penyihir tingkat 9 yang terakhir mencoba berdiri—tetapi Adelia sudah ada di depannya dalam satu langkah. Gerakannya cepat, hampir seperti teleport.
Tatapannya dingin.
Senyumnya sama sekali tidak manusiawi.
“Aku hanya butuh satu jawaban.”
Suaranya lembut. Berbahaya.
“Siapa yang menyewa kalian?”
Penyihir itu menelan ludah. Wajahnya pucat seputih kertas.
“A-Aku… aku tidak boleh—”
“…Jawab.”
Aura Adelia turun bagai palu.
Keras. Brutal.
Udara menjadi berat seperti lumpur.
Pria itu akhirnya patah.
Dia mengangkat tangan, menunjuk ke udara dengan gemetar.
“K-Keluarga Adikara…! Mereka yang mengontrak kami!”
Aku membelalak.
Adelia terdiam.
Diamnya… aneh. Bukan ragu, tapi seolah sesuatu di kepalanya baru saja terkunci pada tempatnya.
Kemudian ia menarik nafas pelan, dan sebuah senyum tipis muncul di wajahnya—bukan senyum lega, melainkan keputusan.
“Begitu,” ucapnya datar. Ia melangkah maju dan meninju perut pria itu tanpa ragu. Pukulan bersih, cepat, membuatnya langsung tumbang.
Dengan isyarat singkat, kedua familiar miliknya bergerak. Sky menghentakkan sayap, Orochi merayap cepat, dan dalam hitungan detik dua orang lain—wanita serta pemimpin kelompok itu—turut dibuat pingsan. Setelahnya, tubuh kedua familiar itu kembali berubah menjadi tinta hitam dan terserap ke dalam bayangan Adelia seperti biasa.
Aku hanya bisa menatapnya. Adelia berdiri di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, wajahnya sebagian tertutup bayangan.
“Adelia… kau baik-baik saja?”
Ia menoleh pelan.
Tatapannya kosong sesaat, sebelum berubah menjadi lebih fokus. Lebih tajam.
“Kita sudah punya bukti,” katanya dengan suara rendah. “Dan kalau keluarga Adikara ikut terlibat…”
Senyum tipis kembali muncul—bukan marah, bukan senang, lebih seperti kepastian.
“…berarti ini tidak bisa dianggap kasus kecil lagi. Kita harus siap untuk konflik besar.”