NovelToon NovelToon
Cinta Yang Tak Seharusnya Ada

Cinta Yang Tak Seharusnya Ada

Status: sedang berlangsung
Genre:Anak Kembar / Pengganti / Balas Dendam / Cinta setelah menikah
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: SunFlower

Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#15

Happy Reading...

.

.

.

Keesokan paginya tepat saat matahari baru menyinari jendela kamar mereka, suara gaduh kecil terdengar dari arah tempat tidur. Raka yang baru saja selesai bersiap untuk berangkat kerja tertegun ketika melihat tubuh Naira menggigil sambil memeluk selimut.

Keningnya mengernyit.

“Nayla… kamu kenapa?” Tanya Raka sambil berjalan menghampiri Naira.

Ia mendekat dan menempelkan punggung tangannya ke dahi perempuan itu. Dan saat disentuh, suhu tubuh Naira terasa panas.

"Kamu demam,” gumam Raka pelan. Suaranya terdengar cemas, meski ia sendiri tidak ingin menunjukkan itu.

Tanpa ragu ia meraih ponselnya.

“Tolong batalkan semua pertemuan hari ini,” katanya singkat pada asistennya. “Tunda semuanya sampai besok. Ya, semuanya.” Setelah menutup telepon, ia menghela napas berat. Ia tidak bisa pergi dan meninggalkan Naira dalam keadaan seperti ini.

Beberapa menit kemudian, Bik Sumi masuk ke kamar membawa baskom berisi air hangat dan handuk kecil. “Den, saya bantu bersihkan badannya dulu,” ucapnya sopan.

Raka hanya mengangguk dan mundur beberapa langkah, memberi ruang. Ia berdiri di dekat pintu berniat keluar, namun langkahnya tertahan ketika mendengar suara lemah Naira.

“Bik… maaf merepotkan,” Naira berkata pelan, suaranya terdengar serak.

“Tidak apa-apa, Nak. Kamu itu sedang hamil, jadi tidak boleh kecapekan. Tapi ini kenapa kamu bisa sampai demam begini?” tanya Bik Sumi sambil perlahan mengusap tubuh Naira dengan handuk hangat.

Pertanyaan itu membuat Naira terdiam sejenak. Ia menatap langit-langit kamarnya, seperti mencoba mengungkapkan sesuatu dalam pikirannya sebelum akhirnya membuka suara.

“Aku… akhir-akhir ini stres, Bik…” jawab Naira dengan suara lirih. “Aku tidak tahu harus bagaimana.”

Bik Sumi berhenti mengusap, menatap Naira dari samping. “Stres kenapa, Nak? Kamu kan sudah jauh lebih baik sekarang.”

Naira menggeleng pelan. Dadanya naik turun berat. “Aku merasa… Raka berubah.”

Raka yang berdiri di depan pintu sontak menegang. Ia tidak menyangka akan mendengar namanya disebut.

“Berubah bagaimana?” tanya Bik Sumi, hati-hati.

Naira tampak berusaha tersenyum, tapi gagal. “Raka… seperti menjauh dari aku. Seolah tidak ingin berada di dekatku. Dia bahkan… menghindariku seminggu terakhir.”

Bik Sumi terdiam beberapa detik, lalu melanjutkan aktivitasnya. “Mungkin Pak Raka sibuk bekerja, Nak.”

Tapi Naira menggeleng lagi. “Bukan itu, Bik. Rasanya… dia tidak menerima aku. Tidak menerima… calon anak kami.”

Kata-kata itu bagai tamparan keras yang mendarat di pipi Raka. Ia refleks menggenggam kedua tangannya, menahan sesuatu di dadanya yang terasa seperti di hantam sesuatu.

“Aku tidak tahu apa salahku…” lanjut Naira lirih, suaranya pecah. “Aku merasa… keberadaanku sekarang menjadi beban untuk Raka.”

Bik Sumi mengelus tangan Naira, mencoba menenangkan. “Kamu jangan banyak pikiran. Kamu sedang mengandung. Pikiran berat itu bisa buat kamu semakin sakit.”

Naira menutup mata, dan setetes air mata mengalir pelan. “Aku hanya ingin semuanya baik-baik saja. Aku ingin… Raka menerimaku. Menerima anak ini.”

Dada Raka terasa semakin sesak. Raka memejamkan mata, menahan rasa yang tiba-tiba menusuk jantungnya. Ia memang berniat untuk membalas dendam tapi bukan dengan cara seperti ini. Ia hanya mencoba mencari jawaban, memikirkan apa yang harus ia lakukan terkait bayi itu.

Namun kini… Yang ia lihat adalah Naira yang terbaring lemah. Bayangan wajah Nayla kembali muncul di benaknya.

Nayla dulu juga mudah sakit bila terlalu banyak beban pikiran. Nayla yang sering memaksakan diri hingga akhirnya jatuh sakit.

Raka menghela napas panjang, sangat panjang, seolah mencoba menenangkan batinnya sendiri.

Setelah bik sumi pergi, Ia pun berjalan mendekat.

Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, tatapan Raka pada Naira sedikit berubah, meski ada kerumitan yang tidak bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.

.

.

.

Hari itu terasa berjalan begitu lambat, seolah waktu sengaja memperlambat langkahnya supaya Raka benar-benar memperhatikan apa yang selama ini sudah ia abaikan. Seharian penuh ia berada di sisi Naira, memastikan perempuan itu tetap nyaman meski demamnya masih naik turun.

Naira tampak jauh lebih lemah daripada biasanya. Matanya sembab, pipinya memerah dan tubuhnya masih terasa panas. Dan di saat seperti ini, sikapnya menjadi sangat manja.

“Raka…” panggil Naira pelan sambil meringis kecil.

Raka yang duduk di sisi ranjang langsung menoleh. “Apa kamu masih pusing? Atau kamu butuh sesuatu?”

Naira mengangguk lemah. “Sedikit. Aku… mau air.”

Raka bangun dari duduknya lalu berjalan mengambil gelas di meja nakas lalu menyodorkannya perlahan. “Minum pelan-pelan.” Naira menerima gelas itu, tangannya sedikit bergetar. Raka refleks memegang punggung tangannya agar air tidak tumpah. Kontak fisik yang singkat itu membuat Naira mendongak, tatapannya sayu.

“Maaf… jika aku merepotkan kamu,” gumam Naira lirih.

Raka menggeleng. “Tidak. Kamu sedang sakit. Wajar kalau butuh bantuan.”

Naira tersenyum tipis, senyum yang tidak sepenuhnya kuat namun cukup untuk membuat hati Raka tergetar. “Tetap saja… terima kasih.”

Setelah minum, Naira menyandarkan tubuhnya kembali ke bantal. Tapi beberapa detik kemudian, ia mengulurkan tangan, menarik ujung baju Raka.

“Raka…”

“Ya?” Raka menunduk.

“Kamu bisa… temani aku tidur?” tanyanya malu-malu. Nada suaranya seperti anak kecil yang takut ditolak.

Raka sempat terdiam. Permintaan itu sederhana, tapi hatinya berdegup tidak karuan. Namun akhirnya ia duduk di sisi ranjang, membiarkan Naira memegang lengannya sebagai sandaran. Raka menghela napas pelan. Ada sesuatu yang melembut di dadanya ketika melihat Naira bersandar di bahunya.

“Raka…” panggil Naira lagi setelah beberapa menit.

“Hm?”

"Bisa kamu usap keningku? Supaya aku cepat tidur.” pinta Naira

Raka tercekat sejenak. Itu… kebiasaan Nayla dulu. Permintaan yang sama. Nada yang sama. Tatapan sendu yang sama.

"Berbaringlah." Ucap Raka. Tapi Naira bukan Nayla. Mereka berdua memang kembar. Namun entah kenapa, Raka tetap mengangkat tangannya dan mulai mengusap keningnya perlahan.

Gerakannya lembut. Berulang. Menenangkan.

Naira menghela napas panjang, lalu tersenyum. “Begini nyaman sekali…”

Raka menelan ludah. “Tidur saja. Aku di sini.”

“Benarkah?” mata Naira membuka sedikit. “Kamu tidak akan pergi?”

“Tidak akan,” jawab Raka tegas.

Naira memandangnya lama. “Kalau kamu baik begini terus… aku bisa saja salah paham.”

Jantung Raka berdegup kencang. “Salah paham bagaimana?”

Naira tersenyum lemah, pipinya memerah. “Salah paham kalau… kamu mulai kembali menerimaku.. Kamu menerima kehamilanku.”

Raka merasa dadanya sesak. “Aku..."

“Tidak apa- apa.” potong Naira pelan. Ia takut mendengar perkataan Raka selanjutnya akan menyakiti hatinya. "Untuk sekarang, tetaplah seperti ini." Lanjut Naira.

Raka terdiam.

Namun melihat tatapan Naira yang begitu lembut, hatinya sedikit luluh. Ia memalingkan wajah dan mengusap kening itu lagi, mungkin untuk menutupi kegugupannya.

Naira tersenyum bahagia seperti anak yang akhirnya mendapatkan pelukan.

“Tidurlah,” katanya pelan. “Aku ada di sini. Aku tidak akan meninggalkan kamu.”

Naira memejamkan mata, wajahnya tenang. “Jangan pergi ya… meski aku tidur.”

“Aku tidak akan pergi.”

Dan kali ini, Raka mengucapkannya dengan jujur. Beberapa menit berlalu. Naira akhirnya terlelap, napasnya teratur. Raka menatap wajah itu lama.

Perempuan ini… membuat hatinya goyah tanpa ia sadari. Perlahan, Raka menyentuh perut Naira. Bahkan sentuhan itu terlalu singkat. “Apakah aku harus… membiarkan anak ini hidup?” bisiknya lirih. “Haruskah aku mulai menerima kehadiran kalian…?”

.

.

.

Jangan lupa tinggalkan jejak...

1
Tutuk Isnawati
kasihan jingga
Tutuk Isnawati
berarti dua2 emg krg perhatian dan kasih sayang ortu pa jgn2 mreka bkn ank kndung
Tutuk Isnawati
iya bwa pergi aja kyanya tunangan nya nai jg jahat
chochoball: padahal raka juga jahat lohhh
total 1 replies
Tutuk Isnawati
semangat thor.
Tutuk Isnawati
trus hamil ank siapa dong naira
chochoball: Hayoooo anak siapa?
total 1 replies
Tutuk Isnawati
semangat thor
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!