Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.
Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.
Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.
Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.
Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14 – Takdir yang Mulai Bersuara
Kafe kecil itu hangat dan wangi, seperti pelukan pertama setelah seminggu penuh lembur. Embun memilih meja pojok, tepat di depan jendela yang memantulkan cahaya keemasan. Bia duduk di sisi kanan, sementara Lona mengambil sisi kiri—menghadap ke arah meja beberapa baris di belakang mereka.
Embun membuka jaketnya perlahan, mencoba menenangkan napas yang entah kenapa masih “berat” sejak hampir bertabrakan dengan pria tinggi di jalan setapak tadi. Ada sesuatu dalam tatapan singkat itu yang menempel seperti embun pagi di kaca jendela—halus tapi tidak bisa dihapus.
Ia meneguk kopinya, tapi tidak berani menoleh. …sampai akhirnya ia melirik sedikit. Curi-curi pandang.
Dari sela rambutnya yang tergerai, Embun melihat tiga pria duduk di meja belakang Bia. Ia tidak bisa melihat wajah mereka jelas, hanya siluet bahu lebar, hoodie gelap, dan suara tawa pelan yang… entah kenapa familiar.
Bia yang sedang menuang gula ke tehnya menyadari gerakan mata Embun.
“Lo ngeliatin apa?” tanyanya lirih tanpa menoleh.
“A-apa sih,” Embun buru-buru memalingkan wajah. “Cuma liat interior… lampunya bagus.”
Bia menaikkan alis. “Interior mana yang bisa bikin lo pipi merah?”
Embun menunduk semakin dalam. “Panas kali…”
Bia hanya menghela napas panjang—napas seorang kakak yang tahu sahabatnya lagi gugup, tapi memilih tidak membuka rahasia itu dulu.
Sementara itu di meja para Trio Cowok, Samudra sedang sibuk menyetrika ekspresi latte-nya dengan sendok ketika Angkasa tiba-tiba berhenti menyeruput kopi. Mata tenangnya melirik ke arah meja Embun.
“Tuh,” gumamnya pelan. “Yang suaranya kemarin paling keras… temannya.”
Langit, yang sedari tadi fokus pada syal biru itu, perlahan mengangkat kepala. Dan matanya langsung bertemu—secara tidak sengaja—dengan tatapan curian kecil dari Embun.
Hanya dua detik. Dua detik itu cukup untuk membuat udara terasa berbeda.
Embun langsung memalingkan wajah, pura-pura sibuk mengusap froth di cup-nya padahal froth-nya tidak ada.
Langit justru menunduk sedikit, senyum tipis muncul di sudut bibirnya—senyum orang yang baru saja menang undian kecil dari semesta.
Di Meja belakang Samudra, para trio cewek mulai membuka obrolan. Kali ini Bia yang berbicara duluan sambil mengambil croissant.
“Lo sadar nggak sih, Bun,” katanya datar, “kita bertiga kayak pasangan poligami yang gagal. Gue, lo, dan Lona, kita di satu hubungan yang ga stabil.”
Lona hampir tersedak udara. “Biaa… apa sih ini pagi-pagi ngomong poligami??”
Bia melanjutkan dengan tenang, “Lo dua orang ribut mulu. Gue cuma ngeliatin. Udah kayak emak-emak nyuapin anaknya.”
Lona menepuk meja, frustasi. “Gila! Kita belum punya pasangan aja udah dianggap rumah tangga berantakan!”
Embun tertawa kecil, tangannya menutup mulut. “Kayaknya itu bener deh…”
Sementara trio cowok yang berada di Bia juga ikut menyimak, Samudra nyaris menyembur latte-nya untuk kedua kalinya. “GUE DENGER APA TADI? POLIGAMI?? PAGI-PAGI??”
Langit menunduk, bahunya naik turun menahan tawa. Angkasa… smirk. Lagi.
“Bijaksana juga mereka,” katanya pelan.
Langit memandang Angkasa. “Lo denger?”
Angkasa mengangguk “Setiap kata.”
Samudra terkekeh geli “Bro ini seri televisi apa gimana sih??”
Obrolan para ketiga ceciwik masih berlanjut, tiba-tiba Lona berseru lantang sambil memeriksa ponselnya, “Eh gua tadi liat meme! ini persis kita!! ‘Tiga perempuan: satu dewasa, satu chaos, satu bingung kenapa masih ikut.’”
Embun langsung menepuk bahunya. “Lo chaos!”
“Gue??” Lona menunjuk diri sendiri dramatis. “Gue tuh bunga liar di padang gurun kehidupan. Kalian yang nggak bisa ngimbangi!”
Bia menghela napas panjang. “Bunga liar dari mana? Dari tempat sampah belakang minimarket?”
“BIAAA!!” Lona hampir berdiri.
Komentar itu—ya ampun—terdengar jelas sampai meja belakang. Trio cowok hancur ketawanya.
Sam sampai tepuk meja. Langit tutup wajah dengan hoodie sambil bahunya bergetar. Angkasa cuma senyum kecil… tapi senyumnya panjang, puas, seperti sedang menonton komedi panggung.
Embun menoleh dan secara refleks menutup mulut Lona dengan tangan.
“Maaf ya!” katanya cepat sambil setengah berdiri dan menunduk pada meja trio pria itu. “Temen gue emang suara bawaan pabriknya kenceng!”
Lona mengeluarkan suara tercekik: “M-mpphh! Bun!! Gue bukan toa masjid!”
Bia menutup wajah dengan tangan. Trio cowok makin ngakak. Suasana kafe pecah—tapi hangat, bukan memalukan.
Langit mengangkat wajah, dan tatapannya bertemu dengan Embun—lagi.
Tapi sekarang… Embun yang menunduk malu. Langit yang tersenyum. Ada sesuatu yang beresonansi aneh di dada masing-masing.
*
Setelah beberapa menit duduk, kafe itu semakin ramai. Orang-orang mulai berdatangan dengan jaket tebal, menghirup udara hangat dari mesin espresso yang terus bekerja.
Lona, yang dari tadi nggak bisa diam, menggoyang-goyangkan kaki sambil memandangi sudut-sudut kafe. Matanya berbinar aneh—binarnya khas “ide buruk akan segera lahir”.
Embun melihat itu langsung mengembus napas panjang. “Lo kenapa lagi, Lo?” tanyanya dengan waspada.
“Aku dapet… VISI,” jawab Lona sambil berdiri perlahan, penuh drama seperti gereja desa sedang memainkan organ.
Bia menatapnya setengah pasrah. “Visi lo tuh 70% bencana, 30% ketidakjelasan.”
“Yang ini bukan!” seru Lona sambil membuka kamera.
“Gue mau foto. Foto bertiga. Foto cewek-cewek manis yang lagi liburan aesthetic!”
Embun dan Bia saling melirik. Dan dalam hitungan tiga detik, mereka tahu keputusan bodoh apa yang akan menghampiri.
Lona menyeret Embun dan Bia ke depan jendela besar kafe. “Pose. Sekarang.”
Embun menelan ludah. “Pose gimana?”
Lona menunjuk kursi. “Lo duduk manis kayak cewek good girl TikTok.”
Embun langsung memijat dahinya. “Gue bukan karakter Wattpad, Lon.”
“Diam. Sudut kamera harus naik.”
Lona mulai jongkok di lantai untuk mencari angle. Bia yang kalem sampai menunduk, menutupi wajahnya. “Gue malu, Bun… sumpah gue malu…”
Lona mengambil pose jengkol squat, lutut dilebarin, kamera maju-mundur kayak sutradara film avant-garde. Dan kemudian— “Oke sekarang, Bia. Lo jadi model fashion week.”
Bia mematung. “…Apa?”
“DONGAKIN DIKIT. ANGLE HEADER-LINKEDIN. TANGAN DI PIPIK. Yes. Yes. BAGUS.”
Bia hanya berdiri miring, tangan di pinggang, wajah datar, tapi entah kenapa malah terlihat seperti patung lilin Madame Tussauds yang sedang mogok kerja. Embun mulai snort tertawa.
“Lo ketawain gue?” Bia melotot.
“Bukan! Ih sumpah, Bi, lo kayak ikon gedung DPR.”
“EMBUN!!”
*
Dari meja pojok dekat jendela—tempat trio pria itu bertengger seperti tiga pengamat kehidupan yang sudah terlalu lelah menghadapi dunia—suasana perlahan berubah menjadi tontonan komedi live.
Samudra, yang awalnya cuma sibuk mengaduk latte untuk ketiga kalinya, mendadak membeku ketika melihat gerakan aneh di meja depan. Ia menyipitkan mata seperti fotografer mode yang menemukan fenomena alam langka.
Dan kemudian ia melihatnya.
Lona. Jongkok, satu kaki maju, satu kaki lagi entah di mana. Tangan terangkat ke langit… seolah sedang memanggil matahari turun sedikit biar bisa dipotret lebih dekat.
Samudra langsung memegang dada dengan dramatis. “Bro bro bro bro…” suaranya pecah setengah berbisik, setengah teriak tertahan. “Itu cewek… jongkoknya serius banget?? Kayak mau motoin harimau di kebun binatang!”
Kursi Langit bergeser sedikit saat ia memutar tubuh, dan untuk pertama kalinya pagi itu—bahkan mungkin pertama kali minggu itu—dia memekik kecil tertahan.
Bukan tertawa… tapi terkejut antara bingung dan kagum.
Angkasa, si pengacara paling kalem sejagad, akhirnya meletakkan gelas tehnya karena ia tidak bisa lagi menjaga wibawa. Bahunya berguncang pelan, bibirnya mencetak senyum miring yang ia sembunyikan di balik punggung tangan.
Sementara itu, Lona kembali berubah pose. Kali ini ia miring, setengah merangkak, setengah membungkuk dan 100% chaos.
“Bro…” Samudra menutup wajah dengan tangan, suaranya pecah. “Itu pose ninja kenapa aesthetic???”
Angkasa hampir tersedak kopi. Langit menahan napas sambil menunduk, bahunya naik turun pelan—tanda jelas ia sedang berusaha menahan tawa dengan sekuat tenaga.
Sialnya… Lona belum selesai. Ia mengambil posisi baru. Lebih absurd dari sebelumnya. Menjulurkan tangan dengan gaya “meraih matahari” sambil mengangkat dagu sedramatis mungkin.
Samudra menepuk meja. CEKRAK.
“Demi Tuhan…” katanya ngos-ngosan, “itu cewek fotografer atau dukun matahari???”
Angkasa langsung menunduk, wajahnya memerah karena menahan tawa. Langit akhirnya gagal menahan diri—tawa kecil lolos, rendah, nyaris tak terdengar… tapi nyata.
Dan itu membuat Samudra makin heboh.
“Broooo!!! Langit tertawa!!! ini mukjizat!!!”
Langit hanya menggeleng sambil menutup bibir dengan jari, tapi senyum di matanya jelas—senyum orang yang sudah pasrah kalah dalam pertarungan menahan tawa.
Adegan absurd itu terus berlanjut sampai akhirnya Embun muncul di frame pandangan mereka—wajah merah, telapak tangan langsung menempel di muka Lona. Ia menarik Lona seperti ibu menarik anaknya dari mainan berbahaya, sambil menunduk ke arah trio pria itu.
Satu harapan dari raut wajah Embun, semoga bumi menelannya sekarang juga. Dan itu— itu justru membuat ketiganya meledak tawa begitu trio cewek pergi meninggalkan kafe.
Tawa Samudra paling keras. Angkasa ikut ngakak sambil memijat hidung. Langit… menunduk, bahu berguncang pelan—jarang sekali ia tertawa lepas begitu.
*
Setelah satu ronde pose absurd selesai—jongkok ninja, yoga flamingo, dan “memetik matahari”—Lona berdiri tegak dengan napas memburu, seperti atlet yang baru selesai lomba senam lantai.
Ia menatap hasil foto di ponsel, mata menyipit serupa kritikus seni yang menemukan karya belum sempurna.
“…………… TIDAK. INI. BELUM. CUKUP.”
Embun otomatis memegang jaketnya lebih kencang. “Lo mau bikin apa lagi? Poster kampanye presiden?”
Lona mengabaikan sindiran itu sambil menoleh ke kaca besar café yang menghadap lembah. Matanya membesar perlahan.
“Guys… guysss… ini ide terbaik gue sepanjang hidup.”
Bia meletakkan mug pelan-pelan, sudah tahu firasat buruk. “…apa lagi?”
Lona menunjuk kaca besar itu dengan dramatis, seakan memperkenalkan sebuah mahakarya museum Louvre.
“POSE AESTHETIC… NEMPEL DI KACA.”
Embun spontan menatapnya terkejut. “HAH???”
Lona makin semangat. “Kayak cicak. Tapi versi elegan. Kayak photoshoot brand mahal yang edgy gitu!”
Bia memejamkan mata, memijat pelipis. “Lona… kita manusia. Bukan reptil.”
Tapi Lona sudah terlanjur kerasukan. Ia mengambil langkah mundur… menilai permukaan kaca… lalu— Drap. menempelkan kedua telapak tangannya ke kaca. Dua kakinya ikut naik sedikit seperti gaya spiderman low-budget.
“Liat!!! Aesthetic banget kan? Kayak cewek-cewek korea di instagram yang lo insecure-in itu, Biaaa!!”
Di meja belakang, trio cowok langsung freeze. Langit memegang gelasnya lebih erat. Samudra menunduk seketika, bahu berguncang liar. Angkasa sampai menutup mulut dengan punggung tangan—tawa tertahan sudah mencapai batas kemampuan manusia.
Sementara di depan kaca… Bia mencoba mencegah kerusakan lebih besar. “Lona, turun. Lo bikin kaca ini kayak aquarium manusia.”
“NOOO!” Lona berpose semakin dramatis, wajah ditempelkan ke kaca, pipi gepeng. “INI SENI SURREALISM, SAYANG!”
Embun tidak tahu harus tertawa atau menghilang dari muka bumi. “Gue… sumpah… lagi nongkrong sama cicak cosplay.”
Tidak puas hanya dirinya, Lona menunjuk kedua sahabatnya dengan kekuatan penuh.
“Bia! Bun! AYO!!! POSE TIGA CICAK!!”
Bia langsung geleng. “No.”
Embun mengangkat tangan. “Nope.”
Tapi Lona sudah menarik tangan Embun seperti guru olahraga menarik murid malas. “CEPET! Ini momen! Cahaya mataharinya PERFECT! Kabutnya PERFECT! Hidup lo nggak perfect kalau nggak nyobain ini!”
Bia akhirnya menyerah. Dengan ekspresi paling pasrah se-Puncak, ia menempelkan kedua telapak tangan ke kaca… setengah hati.
Embun terpaksa ikut, wajah merah karena malu akut.
Alhasil— TIGA PEREMPUAN di depan kaca raksasa café berpose seperti cicak bertengger, dengan berbagai tingkat kepasrahan, Lona – full cicak artistik, kaki naik, rambut berantakan, wajah mepet kaca. Bia – cicak elegan pasrah, tangan nempel tapi badan tetap jaga wibawa. Embun – cicak malu, cuma nempel setengah sambil ngedip ke arah lantai.
Dan dari meja belakang— Samudra sudah tidak kuat. Ia memukul paha sendiri. “Broooo… apa ini?? Apa ini?? Ada cicak lagi live performance???”
Angkasa memalingkan wajah, tertawa tanpa suara, bahu bergetar hebat.
Langit? Langit memegangi kening… tapi bibirnya melengkung— sebuah senyum paling lepas yang keluar pertama kali sejak pagi.
Chaos itu berlanjut sampai Embun sadar seluruh café mulai melirik. Ia langsung menarik Lona turun sebelum reputasi mereka runtuh permanen.
“TURUN. SEKARANG. GUE MAU PULANG.”
Lona akhirnya turun… masih sambil foto-foto.
Samudra jatuh ke punggung kursinya sambil ngakak. Angkasa akhirnya tertawa—tawa rendah, jarang, tapi jelas-jelas kalah oleh kekacauan itu. Sementara Langit—Langit sampai harus memalingkan wajah sambil menutup mata, bahunya bergetar.
Embun akhirnya benar-benar tidak tahan. Wajahnya sudah merah, separuh karena malu, separuh karena ingin tertawa sampai pecah.
Dia berdiri cepat, menahan tangan Lona. “CUKUP! CU—KUP! LONA. STOP. GUE GAK MAU DIUSIR DARI KAFE INI.”
Lona memprotes. “Yapi—tapi—foto—”
Embun menepuk mulut Lona dengan lembut, tapi cukup kokoh. “LO KALAU BUKA MULUT LAGI, GUE SUMBAT PAKAI CROISSANT, MAU?.”
Barista yang lewat tersedak menahan tawa.
Embun menoleh ke meja trio cowok—yang mencoba mati-matian pura-pura nggak ngeliat.
Ia menunduk dalam-dalam sambil tersenyum malu.
“Maaf ya… temen gue udah bawaan pabriknya begini.”
Sam mengacungkan jempol dengan wajah merah ketawa. Angkasa mengangguk sopan walau matanya berbinar geli. Langit… mengangguk perlahan, senyumnya halus, tatapannya bertahan sedikit lebih lama dari seharusnya.
Dan itu cukup untuk membuat Embun kabur.
“Udah. Udah. Kita pergi,” paksa Embun sambil menyeret Lona seperti guru SMA yang menarik muridnya dari kantin.
Bia mengikuti dengan teh hangat masih di tangan. “Gue belum selesai minum—”
“NANTI MINUM DI LUAR!” bentak Embun.
Mereka bertiga keluar dari kafe dengan kehebohan kecil dan tawa pecah-pecah.
Pintu tertutup. Dan detik itu juga— tawa trio pria meledak.
Samudra menabrak meja saking ngakaknya. Angkasa sampai bersandar ke belakang, satu tangan menutup mata, satu lagi memegang perut. Dan Langit—yang terkenal dingin dan hemat ekspresi—tertawa tanpa suara sampai matanya menyipit.
Tiga pria yang biasanya terlalu elegan, terlalu sibuk, terlalu tenang— kini tertawa bersama seperti anak SMA yang baru melihat meme kocak.
“Astaga…” Samudra terengah. “Itu… gila banget…”
Angkasa menambahkan di sela tawa, “Gue… udah lama… nggak ketawa gini…”
Langit menghambuskan napas, senyum masih bertahan di bibirnya. “Gue juga.”
Dan entah kenapa… tawa itu terasa seperti tanda awal sesuatu yang lebih besar.
Takdir baru saja membuka pintunya. Dan mereka bertiga tidak sadar— bahwa pintu itu akan membawa mereka pada tiga perempuan yang baru saja membuat kafe kecil itu lebih hidup dari biasanya.
**
tbc