Perjalanan seorang pemuda bernama Cassius dalam mencari kekuatan untuk mengungkap misteri keruntuhan kerajaan yang dulu merupakan tempat tinggalnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mooney moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Altar utama
Jormund tersenyum tipis. “Tapi mungkin saja… dia memang membawa jawabannya, persis seperti yang kau bilang.”
Mulgur mengangguk, lalu berdiri perlahan. Tongkatnya menyentuh lantai dengan bunyi ketukan lembut. “Kalau begitu, aku ingin lihat sendiri ekspresi anak itu saat mendengar dugaan kita.”
Jormund ikut bangkit dari tempat duduknya. “Baiklah, bagaimana kalau kita ke altar utama dan tunggu mereka di sana?”
“Ya,” jawab Mulgur sambil mengayunkan tongkatnya ke arah pintu lorong. “Aku ingin tahu… apa Cassius sendiri menyadari apa yang mungkin telah mengincarnya.”
Mereka saling bertukar pandang sebentar, lalu melangkah keluar dari ruang pertemuan, meninggalkan nyala api tungku yang perlahan meredup di balik mereka.
Beberapa saat setelahnya, Langkah kaki Cassius dan Vala menggema lembut di lorong batu yang sunyi. Cassius yang merasa sudah tidak ada lagi rasa canggung diantara mereka, kini lebih tidak menahan diri untuk melontarkan pertanyaan apa saja yang ada dalam benaknya.
“Jadi, ini tempat yang terakhir ya? Lalu kita mau apa setelah selesai berkeliling? Tanya Cassius pada Vala yang berjalan didepannya.
Vala menoleh sekilas. “Setelah kita bertemu dengan Jormund di altar utama, aku akan mengantarmu ke ruangan yang bisa kau gunakan untuk istirahat selama tinggal disini. Setelah itu terserah padamu.”
Cassius meregangkan tangannya ke atas sambil berjalan. “Oke, baiklah kalau begitu. Tapi memangnya apa lagi yang ingin dibicarakan Jormund denganku?”
“Entahlah.” Jawab Vala dengan singkat.
Mereka terdiam lagi beberapa langkah, lalu Cassius meliriknya. “Ngomong-ngomong, kau serius saat bilang ingin kita semua berlatih tanding nanti?”
“Aku penasaran,” jawab Vala tanpa menoleh. “Kau memang terlihat seperti manusia biasa, tapi... mata Balmuth dan Nifrak tidak pernah salah dalam menangkap naluri bertarung.”
Cassius menyipitkan mata. “Jadi...?”
“Jadi aku ingin melihatnya sendiri,” ucap Vala, akhirnya menatapnya. “Bukan untuk menilaimu. Tapi untuk mengenalmu lebih baik.”
Cassius tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat alis dan mengangguk kecil, seolah memahami bahwa kepercayaan di tempat ini tidak dibangun lewat kata-kata, melainkan aksi.
“Setelah Jormund selesai bicara denganmu di altar,” lanjut Vala, “aku akan bilang padanya tentang keinginan kami untuk berlatih tempur denganmu.”
“Baiklah, tapi jangan harap aku menahan diri,” ucap Cassius dengan nada bercanda.
“Jangan harap aku kalah,” balas Vala datar, lalu mempercepat langkahnya sedikit.
Cassius menghela napas pelan, lalu tersenyum sendiri. Entah mengapa, berada di antara para makhluk ini membuatnya merasa lebih bisa menikmati momen kebersamaan ketimbang saat berada di pemukiman dulu.
Begitu mereka melewati lengkungan besar yang menjadi pintu masuk ke altar utama, pemandangan luas langsung menyambut mereka—sebuah ruangan terbuka tanpa atap, dikelilingi dinding batu alami yang tinggi dan kasar. Di tengahnya terbentang sebuah cekungan bundar, seperti kawah kecil, dipenuhi abu dan bara merah menyala. Tak ada kobaran api, hanya bara yang mendesis pelan seolah sedang bernafas.
Di sisi kawah itu berdiri dua sosok, Mulgur dan Jormund. Keduanya berdiri membelakangi mereka, seolah sedang hening dalam doa, atau mungkin tenggelam dalam pikiran masing-masing. Saat langkah Cassius dan Vala berhenti di ambang altar, Mulgur sedikit menoleh, diikuti Jormund yang kemudian sepenuhnya membalikkan badan.
“Akhirnya kalian sampai,” ucap Jormund, suaranya rendah namun terdengar jelas di ruang terbuka itu. Ia menatap Cassius beberapa detik sebelum melanjutkan, “Bagaimana pendapatmu soal tempat ini, sejauh yang kau lihat?”
Cassius menoleh sekilas pada Vala, lalu melangkah maju perlahan. “Aku memang belum banyak melihat keseluruhannya, tapi...” Ia berhenti sejenak, memandang bara di kawah. “Tempat ini... aku cukup menyukainya. Wilayah ini juga seperti menyimpan sesuatu yang dalam. Ada banyak hal yang ingin kupelajari terutama dari cara kalian bergerak, berburu, atau bahkan saat membuat sesuatu.”
Ia lalu menoleh pada Jormund. “Interaksiku dengan mereka sejauh ini... mengesankan. Balmuth dan Nifrak punya pendekatan yang sangat berbeda dalam bertarung, Royrk sangat cermat dengan detail peralatannya. Tempat ini jelas bukan hanya tempat tinggal, ini seperti tempat belajar, dan aku senang bisa berada di dalamnya.”
Mulgur menyela, menyeringai tipis. “Dan keputusanmu untuk ikut ke sini... masih terasa seperti pilihan yang benar bukan?”
Cassius menatapnya sebentar, lalu mengangguk tanpa ragu. “Lebih dari itu. Semakin aku melihat, semakin aku merasa... ini memang jalan yang harus kulalui.”
Mulgur hanya mengangguk pelan, kali ini tanpa canda atau komentar sarkastik seperti biasanya.
Jormund berpaling pada Vala. “Kau sudah cukup mendampingi Cassius sejauh ini. Di altar utama ini, biar aku yang mengambil alih.”
Vala mengangguk patuh. “Baik, kepala pendeta.”
Dengan langkah tenang, mereka berempat berjalan lebih dekat ke arah kawah. Mulgur tetap sedikit di belakang, membiarkan Jormund memimpin.
“Tempat ini,” ujar Jormund sambil mengangkat tangannya ke arah bara, “bukan sekadar ruang ibadah. Ini adalah jantung dari keyakinan kami, tempat kami menerima berkah dari Galrath—naga yang kami sembah sebagai sumber api suci.”
Cassius menatap dalam ke arah bara. Ada sesuatu yang memikat di sana, seperti bisikan dalam diam. Panasnya terasa di kulit, tapi tidak membakar, hanya mengingatkan akan sesuatu.
“Banyak yang mengira kekuatan kami datang dari sihir atau latihan belaka,” lanjut Jormund, “padahal... setiap Draconian yang lahir di bawah api ini membawa percikan kehendak Galrath di dalam dirinya. Bara ini adalah sebuah warisan. Bukan seperti Flame Core, bukan jantung energi. Tapi... abu dari perwujudan Galrath sendiri.”
Cassius mengangguk dengan pelan. Ia menatap kembali ke arah bara, kali ini dengan pemahaman dan rasa menghormati atas apa yang mereka yakini.
“Dan api itu... tetap hidup dalam abu?” tanyanya pelan.
“Tidak hidup, tapi juga tidak mati,” sahut Mulgur dari belakang. “Ia bernafas bersama waktu. Kau bisa merasakannya jika cukup lama menatap.”
Jormund melanjutkan, “Kami percaya mereka yang dipilih oleh Galrath bisa mendengar bisikannya di sini. Kadang berupa mimpi. Kadang... hanya perasaan. Tapi apa pun bentuknya, tempat ini tidak pernah diam bagi mereka yang benar-benar mendengarkan.”
Cassius tidak menjawab. Matanya terus tertuju pada bara, seolah mencoba mencari makna di balik kerlap-kerlip merah yang tak pernah padam.
Jormund melangkah maju, mendekati sisi kawah yang dipenuhi abu dan bara merah yang menyala pelan. Ia berdiri di sana dalam diam sejenak, membiarkan Cassius meresapi suasana sebelum akhirnya bersuara.
“Aku akan memperlihatkan padamu bagaimana cara kami berdoa,” katanya, suaranya terdengar sedikit lebih berat dari sebelumnya. Ia lalu menoleh ke arah Vala yang berdiri beberapa langkah di belakang mereka. “Vala, ambil satu dari tempat penyimpanan.”
Vala mengangguk dan berjalan ke sisi dinding altar, ke tempat semacam rak batu yang menjorok ke dalam. Ia mengambil sesuatu dari dalam mangkuk batu gelap, sebuah benda kecil yang tampak seperti kerikil, warnanya hitam pekat dengan semburat merah pekat di permukaannya, seperti bara yang telah padam namun masih menyimpan panas.