Love With Ketos

Alana yang sedang latihan tinju di markas, di kagetnya dengan kedatangan empat cowok tampan yang entah dari mana. Gadis itu melempar sarung tinjunya ke segala arah dan menghampiri para sahabatnya sambil membuka botol air minum.

"Kalian dari mana?" tanya Alana dengan salah satu alis dinaikkan.

Sementara yang ditanya tampak tak percaya dengan apa yang mereka lihat baru saja. Celana lengging dengan taktop tanpa lengan yang sangat ketat di tubuh Alana sungguh membuat ke empat inti Avegas tak bisa berkata-kata.

"Santai saja tatapannya njir, kayak nggak pernah melihat bodi seksi saja," celetuk Alana santai. Berbeda dengan Gio dan Jayden yang langsung membuka jaket dan membungkus tubuh Alana secara bersamaan.

"Kalian apa-apaan?" Protes Alana.

"Otak Jevian sama Roy nggak kayak kita, percaya deh," ujar Jayden.

"Anjir, playboy gini gue juga nggak akan embat ketua sendiri. Sarap lo!" Roy melempar tutup botol ke kepada Jayden. Membuat Alana dan Jevian tertawa.

Tahu tempat, Alana pun segera memasang kancing jaket Gio yang menempel ditubuhnya. Berjalan keluar dari ruangan khusus olahraga tersebut. Duduk di kursi rotan bersama anggota lainnya yang sedang bermain game. Ada pula menikmati petikan gitar teman-teman se geng.

"Btw gue penasaran sama pria yang menghampiri tadi di sekolah. Kalau nggak salah dia daddynya Vano deh," celetuk Gio kala mengingat kejadian saat di sekolah. Di mana pak Aron, pemilik SMA Taruna Bakti, menghampiri Alana yang kala itu duduk seorang diri di pinggir lapangan.

Gio tak tahu apa yang mereka bicarakan, karena hanya melihatnya dari kejauhan. Saat pulang sekolah pun, mereka tidak bersama akibat Gio mempunyai urusan penting dengan inti Avegas selain ketua.

"Cuma nanya gue anaknya Dito atau bukan. Aneh kan? Mana menatap gue terus lagi. Memangnya tampan gue disukai duda gitu?" Alana tertawa di akhir kalimat. Ia sangat heran dengan tingkah daddy Devano tadi. Andai saja bukan pemilik sekolah, dia sudah menguliti pria paruh baya itu.

"Kayaknya sih iya Al, lo akan jadi selera om-om kalau open Bo." Jevian mengelus dagunya dan memperhatikan Alana. Seolah meneliti padahal hanya bercanda.

"Mulut lo anjir, bau sampah!" Gio segera menyumpal mulut Jevian dengan sepotong roti yang ada di atas meja.

Alana beranjak dari duduknya kala mendapatkan telepon dari seorang wanita yang ia idam-idamkan jadi mama mertua. Gadis itu berdiri di pintu samping setelah menjawab panggilan mama Angkara.

"Kenapa Tante?" tanyanya setelah menjawab salam tante Salsa.

"Lana sibuk nggak? Bisa bertemu tante di cafe dekat rumah? Tante ingin mengatakan hal penting, hanya berdua saja."

"Bisa tante, Alana ke sana sekarang ya?"

"Boleh."

Setelah sambungan terputus, Alana pun menghampiri teman-temannya untuk berpamitan, kemudian pergi masih memakai jaket Gio yang kebesaran untuknya.

Tak membutuhkan waktu lama untuk Alana sampai di dekat rumah Angkara, mengingat ia mengendarai motor cukup ugal-ugalan hanya karena tidak ingin tante Salsa menunggu lama. Membenci putranya, tidak harus membenci orang tuanya bukan?

Senyuman Alana mengembang melihat wanita paruh baya melambai padanya. Ia segera duduk dan meminum jus setelah meminta izin, lantaran sangat haus.

"Tante ingin membicarakan apa? Kalau tentang kak Kara di sekolah, Lana sudah pindah sekolah karena kasus narkoba," ucapnya tanpa ada yang ditutup-tutupi.

"Tante tahu Lana nggak mungkin mengonsumsi hal seperti itu. Daddy kamu dulu jagonya di jalanan, tapi nggak pernah menyentuh barang haram. Tante percaya didikan daddy mu."

"Lana kira Tante juga akan percaya seperti kak Kara." Alana tertawa getir, tetapi hanya sesaat sebelum merasakan genggaman hangat wanita cantik di hadapannya.

Senyuman tante Salsa selalu bisa menenangkan hati penikmatnya, termasuk Alana. Sangat beruntung bukan orang yang akan menjadi menantu Salsa? Wanita penuh kelembutan dan sabar seluas samudra.

"Tante boleh minta tolong?"

Alana mengerutkan keningnya. "Ada apa Tante?"

"Lanjutkan perjodohan kalian ya? Kara butuh kamu."

"Maaf Tante, tapi Alana nggak bisa. Kak Kara nggak butuh Lana, dia butuh Tiara. Dia benci sama Lana." Menarik paksa tangannya dari genggaman tante Salsa.

"Maafkan semua sikap Angkara, Lana. Putra tante nggak sepenuhnya jahat, dia hanya menjaga diri agar nggak terlihat lemah di depan siapa pun. Tolong bantu tante! Ini mungkin permintaan egois sebagai orang tua, tapi tante percaya Kara hanya bisa sembuh di tanganmu. Dia butuh perempuan yang aktif sepertimu untuk memancing perasaannya yang selalu dia kubur dalam-dalam."

Mata Salsa berkaca-kaca menatap Alana yang seolah tak ingin membalas tatapannya. Ia sudah berusaha berbicara dengan putranya, tetapi Angkara selalu menghindar. Sudah membujuk agar ingin ke dokter untuk terapi, tetapi tak pernah mendengar.

"Kara sakit apa tante?"