Ina dan Izhar memasuki kamar pengantin yang sudah disiapkan secara mendadak oleh Bu Aminah, ibunya Ina.
Keduanya duduk terdiam di tepian ranjang tanpa berbicara satu sama lain, suasana canggung begitu terasa, mereka bingung harus berbuat apa untuk mencairkan suasana.
Izhar keluar dari kamar mandi dan masuk kembali ke kamar setelah berganti pakaian di kamar mandi, sementara itu, Ina kesulitan untuk membuka resleting gaun pengantinnya, yang tampaknya sedikit bermasalah.
Ina berusaha menurunkan resleting yang ada di punggungnya, namun tetap gagal, membuatnya kesal sendiri.
Izhar yang baru masuk ke kamar pun melihat kesulitan istrinya, namun tidak berbuat apapun, ia hanya duduk kembali di tepian ranjang, cuek pada Ina.
Ina berbalik pada Izhar, sedikit malu untuk meminta tolong, tetapi jika tak di bantu, dia takkan bisa membuka gaunnya, sedangkan Ina merasa sangat gerah maka, "Om, bisa tolong bukain reseltingnya gak? Aku gagal terus!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
2 minggu kemudian
"Om, aku pengen nginep di rumah Mama malam ini, boleh gak?" Ina merengek, rindu pada Ibunya, setelah dua Minggu tak berjumpa lagi.
Izhar sedang sibuk dengan ponselnya, ia tengah membalas chat dari beberapa teman dokternya. Ina dan Izhar duduk berdua di ruang tamu, jika Izhar sibuk dengan ponselnya, Ina jutsru sibuk dengan tugas sekolahnya.
"Om, kok gak jawab sih? Boleh apa nggak?" tanya Ina agak kesal karena Izhar sibuk terus dengan ponselnya.
"Memangnya harus ya, kita nginep di rumah Mama kamu?" Izhar malah balik bertanya.
"Ya harus, aku 'kan udah lama gak ketemu, kangen banget sama Mama. Mama itu hidup sendirian, jadi ya aku harus sering nengok Mama atau temani Mama di rumah."
Ina adalah gadis yang selalu peduli terhadap Ibunya, dia selalu mencemaskan keadaan wanita itu di rumah mereka yang hanya tinggal sendirian. Ina merasa sangat rindu pada Ibunya, terutama rindu masakan yang dibuatnya, yang bagi Ina adalah masakan terenak di dunia.
"Iya boleh, tapi kita gak bisa terlalu lama tinggal di rumah Mama kamu, paling cuma dua hari aja, soalnya saya terlalu jauh berangkat kerja dari rumah kamu, terlalu menghabiskan waktu di jalan." Izhar setuju untuk menginap di rumah Ina.
"Asyik! Iya, gak apa-apa deh cuma dua hari, aku bisa melepas rindu sama Mama dalam dua hari itu!" Ina girang bukan main, seakan Izhar akan membawanya pergi ke suatu tempat yang langka dan mengagumkan.
"Ya udah, cepat selesaikan tugas kamu, kita pergi habis ashar aja, supaya kita bisa sampai menjelang Maghrib dan gak panas di jalan."
"Siap!"
Ina dengan cepat mengerjakan tugas sekolahnya, tak sabar ingin segera pergi ke rumah orang tuanya. Gadis cantik itu bersemangat sekali menyelesaikan tugasnya, raut wajahnya sungguh terlihat bahagia.
Izhar beranjak dan masuk ke kamarnya untuk berkemas. Pria itu mengambil tas dan memasukkan dua potong baju, juga celana jeans, untuk baju ganti selama menginap di rumah Ina.
'drrrt'
'drrrt'
'drrrt'
Ponselnya bergetar, tanda sebuah panggilan telepon masuk untuknya.
Izhar mengambil ponselnya, Dokter Hasyim yang meneleponnya, segera saja Izhar menerimanya.
"Ya, halo," sapa Izhar.
"Halo, Dok, Anda dimana?" tanya Dokter Hasyim.
"Saya ada di apartemen, memangnya kenapa?"
"Begini, ini saya ada di rumah sakit Citra Husada, saya sedang menemani keponakan saya yang rutin berobat kemari. Tapi, disini saya malah melihat sesuatu yang menurut saya Dokter Iz harus tahu, makanya saya menghubungi."
"Memangnya, ada apa?"
"Barusan, saya melihat Dokter Zaki mengantar Ratih ke ruang pemeriksaan khusus ibu hamil, Dok. Sepertinya, mereka akan memeriksakan kandungan Ratih, Dokter harus kemari supaya tahu dan melihat dengan mata kepala sendiri kalau Ratih dan Dokter Zaki itu pasangan selingkuh yang membuat hancur hubungan kalian!" Dokter Hasyim menjelaskan.
Izhar terkejut, tapi tidak merasakan cemburu sama sekali, ia justru merasa tubuhnya terbakar, terutama hatinya. Tentu saja terbakar oleh api kemarahan, bukan api cemburu.
"Saya akan kesana sekarang, tolong awasi mereka untuk saya!" pinta Izhar tegas.
"Ya, saya akan awasi mereka!"
Izhar mematikan teleponnya, mengambil jaket dan menyambar kunci mobilnya, lalu keluar dari kamar.
Ina yang masih belajar, menoleh pada Izhar yang sudah siap untuk pergi.
"Loh, Om mau kemana? Kok udah rapi aja, bukannya pergi ke rumah Mama nanti malam ya?" Ina bertanya.
"Saya mau keluar sebentar, kamu tetap tunggu dirumah ya, saya gak akan lama kok!" jawab Izhar, memakai sepatu sneakers nya.
"O--oke." Jawab Ina patuh, dengan mata yang tak berpaling dari Izhar yang keluar dari apartemen dengan terburu-buru.
"Om Iz kenapa sih? Kok tiba-tiba dandan terus pergi gitu aja? Dia mau pergi kemana sebenarnya?" Ina bertanya pada diri sendiri, ingin tahu kemanakah suaminya akan pergi.
Ina mencoba memikirkan tempat-tempat yang mungkin akan di datangi oleh suaminya nanti, tapi Ina juga tak yakin suaminya akan pergi kemana. Sehingga, Ina tak begitu peduli dan kembali mengerjakan tugasnya agar cepat selesai.
Izhar keluar dari parkiran basement dengan mobilnya, memacu kendaraannya agak cepat, karena takut Ratih dan Zaki tak segera dilihatnya. Izhar akan menemui mereka sekarang dan meminta penjelasan dari mereka akan hubungan yang mereka lakukan di belakangnya.
Izhar tak akan meminta Ratih untuk kembali, namun ia hanya membutuhkan pengakuannya tentang hubungannya dengan Zaki. Izhar tak membutuhkan Ratih lagi, ia tak butuh wanita murahan sepertinya.
Sekitar 20 menit, mobil Izhar memasuki halaman rumah sakit dan langsung di parkir. Izhar segera masuk ke dalam setelah menggunakan topi dan masker, supaya Zaki dan Ratih tak mengenalinya.
Izhar mengirimkan pesan pada Dokter Hasyim akan keberadaannya, Dokter Hasyim mengatakan bahwa dirinya berada di lantai dua, tengah menunggu antrian. Segera saja, Izhar naik lift menuju lantai dua.
Izhar sangat-sangat tak sabar ingin bertemu dengan kedua pengkhianat itu dan bertatap muka langsung dengan mereka.
Setelah sampai, Izhar keluar dari lift, berjalan ke arah tempat antrian mencari Dokter Hasyim.
Izhar celingak-celinguk mencari sosok bertubuh tinggi dan subur itu di antara banyaknya orang yang mengantri. Tiba-tiba, seseorang mengancingkan tangannya dan melambai pada Izhar, orang itu tak lain adalah Dokter Hasyim, yang juga mengenakan masker sama sepertinya.
Izhar menghampiri Dokter Hasyim dan duduk di sampingnya.
"Dimana mereka?" tanya Izhar.
"Mereka masuk ke dalam ruang pemeriksaan, sudah sekitar 10 menitan di dalam, sepertinya sebentar lagi akan keluar," Jawab Dokter Hasyim, menunjuk sebuah ruangan khusus pemeriksaan untuk ibu hamil.
"Itu beneran mereka 'kan? Jangan sampai salah, saya udah jauh-jauh datang kemari buru-buru."
"Iya, saya gak salah lihat kok, itu memang mereka, mana mungkin saya salah."
Izhar percaya pada Dokter Hasyim, karena sudah mengenalnya sangat lama sejak bekerja di rumah sakit. Izhar memperhatikan pintu ruangan itu, menunggu dua sosok yang ingin ditemuinya.
Selang beberapa menit kemudian, pintu ruangan itu terbuka, Izhar terkesiap, duduk tegak bersiap. Matanya di fokuskan pada pintu yang terbuka, menunggu siapa yang akan keluar.
"Terima kasih, Dokter!" ucap seorang perempuan dari ambang pintu, namun masih membelakangi.
Tak lama, seorang pria keluar lebih dulu, lalu menggandeng tangan wanitanya, hingga tampaklah jelas di mata Izhar, bahwa mereka adalah Ratih dan Zaki.
Izhar tercengang melihat keduanya berjalan bersama melewati kursi antrian, dimana dirinya berada. Ratih menggandeng mesra tangan lelaki itu dan tersenyum bahagia dengan perutnya yang membesar.
Mata Izhar berkaca-kaca seketika, apa yang dilihatnya lebih menyakitkan daripada foto yang dikirimkan Dokter Hasyim saat itu. Ia kini menyadari, Ratih benar-benar mengkhianati dirinya dan bahagia dengan Zaki.
Dokter Hasyim mengusap bahu Izhar, "Sabar ya, Allah sudah membuktikan siapa mereka dan Dokter Iz beruntung karena gak jadi menikahi wanita seperti dia." Ujarnya, menenangkan Izhar.
"Tapi kenapa, kenapa harus Dokter Zaki? Kenapa dia gak selingkuh dengan orang yang jauh dan kemudian pergi sejauh mungkin dari sini? Dengan begitu, saya nggak akan tersiksa seperti ini karena harus melihatnya kembali!"
"Karena Allah pastinya ingin Anda juga tahu kebenarannya, semuanya sudah di atur oleh-nya."
Izhar merasakan hatinya meledak, marah dan kecewa kini bercampur jadi satu.
Izhar berdir dari duduknya, "Saya harus pergi sekarang juga, terima kasih infonya!" ucap Izhar, lalu pergi meninggalkan Dokter Hasyim.
Izhar berlari kecil untuk dapat menyusul Zaki dan Ratih, ia tak mau kehilangan kesempatan untuk bisa berhadapan dengan mereka langsung.
Izhar masuk cepat ke dalam lift menuju ke lantai satu, setelah keluar pun ia masih berlari keluar dari bangunan bertingkat 20 itu. Izhar melihat Ratih dan Zaki masuk ke mobil mereka, kemudian pergi.
Izhar yang tak mau ketinggalan, segera masuk juga ke dalam mobilnya dan menyusul mereka, mobil Izhar berada tepat di belakang mobil milik Zaki.
"Kalian pikir, kalian bisa lari dariku lagi, heh?!" ucap Izhar, seperti kesetanan, ia melupakan hati lembutnya sejenak.
Zaki masih berusaha menghindari dari Izhar, tak mau kalau sampai mereka tertangkap oleh Izhar yang telah di bodohi itu.
"Sialan lu, Izhar! Cowok bego! Cowok tolol!" Zaki masih sempat-sempatnya mengumpat, walaupun tangannya terus menyetir.
"Akkkhhh... Sayang... Perutku sakit..." Ratih meringis, perutnya terasa sakit.
"Kamu tahan, kita harus lolos dulu dari si brengsek itu!"
"Sakit, Mas... Sakit... Akkkhhh..." Ratih sangat kesakitan, perutnya terguncang oleh perbuatan Izhar tadi.
"Berisik! Aku udah bilang, kamu tahan dulu, kita gak bisa berhenti, kita masih harus kabur dari si bangsat itu!" Zaki membentaknya, tak suka konsentrasinya terganggu oleh Ratih.
Ratih meringis, air matanya mengalir, namun tak berani mengeluh lagi, karena Zaki akan kembali memarahinya. Ratih menahan rasa sakitnya, dengan air matanya yang berlinang, wanita itu memegangi perutnya.
Mobil Izhar masih mengikuti mereka dengan cepat di belakang, Zaki terus mengumpat menyebut nama Izhar yang menggangunya.
Begitu melihat pertigaan, Zaki merasa memiliki celah untuk kabur dari Izhar. Dia membelokkan cepat mobilnya ke kiri, sedangkan Izhar tak dapat mengejarnya karena ada sebuah mobil juga yang menggantikan posisi mobil Zaki tadi. Tentu saja, Izhar tak mau menyakiti orang lain, sekalian dua pengkhianat itu.
"Shit!" umpat Izhar, memukul gagang setirnya setelah berhenti di tepi jalan.
"Sialan!" umpatnya lagi.
Izhar tak dapat mengejar mobil Zaki, karena terlalu beresiko menyakiti pengendara lain jika nekat menerobos.
Izhar sangat marah di dalam mobilnya, misinya untuk membalas dendam gagal. Ia hanya marah-marah di dalam mobil, menyesal tadi tak menghantam terus saja mobil Zaki hingga rusak dan keduanya mati.
Yang ada dalam hati Izhar saat ini adalah, dendam pada mereka, ia seolah kehilangan kelembutan hatinya sebagai seorang Dokter.
"Aaarrrggghhhh!!!" Izhar marah dan mengacak rambutnya kasar.
...***Bersambung***...