Aruna yang sedang menikmati masa kuliahnya yang santai tiba-tiba dipaksa pulang ke rumah untuk sebuah "makan malam darurat". Ia mendapati keluarganya di ambang kehancuran finansial. Ayahnya terjerat hutang pada keluarga Gavriel, sebuah klan penguasa bisnis yang kejam. Aruna "dijual" sebagai jaminan dalam bentuk pernikahan politik dengan Damian Gavriel, pria dingin yang mempesona namun manipulatif
bagaimana cara aruna mengahadapi takdirnya?..... yuk, baca selengkapnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Arsila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Operasi Licin Pelabuhan
Pagi di pelabuhan utara biasanya dimulai dengan deru mesin diesel yang memekakkan telinga dan aroma karat yang bercampur dengan uap garam laut. Namun, hari ini suasana terasa berbeda. Ada ketegangan yang menggantung di udara, sepekat asap knalpot truk kontainer.
Aruna berdiri di atas sebuah peti kemas kosong yang sudah berkarat, mengenakan jaket parka kebesaran, topi bisbol yang ditarik rendah, dan kacamata hitam. Di sampingnya, Tiara sedang sibuk mengunyah cilok bumbu kacang sambil memegang sebuah walkie-talkie.
"Target sudah masuk jangkauan, Kapten Ratu Seblak," lapor Tiara dengan mulut penuh.
"Tiga truk raksasa berlogo Phoenix Global baru saja keluar dari gerbang tol. Mereka terlihat sangat sombong, Aruna. Warnanya putih bersih, seolah mereka tidak tahu kalau di sini isinya debu dan keringat."
Aruna melihat ke arah jam tangannya. "Bagus. Bagaimana dengan pasukan 'Ojek Srikandi'?"
"Sudah di posisi. Enam motor sudah 'mogok' secara strategis di belokan sempit sebelum pintu masuk gudang utama. Truk-truk itu tidak punya pilihan selain lewat jalur samping jalur yang sudah kita siapkan dengan kasih sayang dan minyak goreng curah," Tiara terkekeh jahat.
Di sisi lain pelabuhan, Kira berdiri di dalam ruang kontrol yang sejuk, memandangi layar monitor. Ia tampak sempurna dengan setelan kerjanya yang mahal, kontras dengan keruwetan di luar. Di sampingnya, beberapa pria berjas hitam bersiaga.
"Pastikan pengiriman ini sampai tepat waktu," perintah Kira dingin. "Aku ingin menunjukkan pada Damian bahwa pelabuhan ini adalah milikku sekarang. Begitu truk-truk itu masuk, tutup akses untuk perusahaan Maheswari selamanya."
Namun, di layar monitor, Kira melihat sesuatu yang aneh. Truk-truknya berhenti.
"Kenapa mereka berhenti?" tanya Kira tajam.
"Ada gangguan di jalan utama, Nona. Beberapa motor mogok dan warga sedang berkerumun. Sopir memutuskan untuk mengambil jalur alternatif lewat sisi barat gudang," jawab asistennya.
Kira menyipitkan mata. "Sisi barat? Itu jalur yang jarang dilewati. Tapi tidak apa-apa, yang penting mereka sampai."
Apa yang tidak diketahui Kira adalah bahwa jalur barat baru saja "diberkati" oleh Aruna. Di sepanjang lima puluh meter jalan aspal yang sedikit menurun itu, Aruna dan timnya telah menyiramkan sisa minyak goreng curah yang dicampur dengan air sabun licin. Warnanya tidak terlihat di bawah terik matahari, namun fungsinya jauh lebih efektif daripada ranjau darat.
Truk pertama milik Phoenix Global masuk ke jalur itu dengan kecepatan sedang. Begitu roda depannya menyentuh area "licin", sang sopir merasakan kemudinya mendadak ringan.
"Eh? Kenapa ini?!" teriak sang sopir di dalam kabin.
Begitu ia menginjak rem, bencana dimulai. Truk itu bukannya berhenti, malah meluncur perlahan namun pasti ke arah samping. Roda belakangnya berputar di tempat ( spin ), menciptakan suara derit yang aneh. Truk kedua yang berada di belakangnya mencoba menghindar, namun justru ikut terpeleset.
Dalam hitungan menit, tiga truk raksasa milik Phoenix Global terjebak dalam posisi yang sangat memalukan saling melintang di tengah jalan, tidak bisa bergerak maju maupun mundur karena setiap kali gas ditekan, roda mereka hanya menari-nari di atas lapisan minyak.
"MAMAM TUH PHOENIX!" teriak Aruna dari atas peti kemas sambil melakukan tarian kemenangan kecil.
Kira yang melihat kekacauan itu langsung turun ke lapangan. Ia berjalan dengan sepatu hak tingginya yang mahal, mencoba menjaga martabatnya di tengah tanah pelabuhan yang becek. Namun, begitu ia sampai di area minyak, ia hampir saja jatuh terjungkal jika tidak ditangkap oleh pengawalnya.
"SIAPA YANG MELAKUKAN INI?!" teriak Kira murka.
Aruna melompat turun dari peti kemas dengan gerakan lincah, lalu berjalan menghampiri Kira. Ia sengaja mengeluarkan satu plastik berisi kerupuk seblak dan mulai mengunyahnya dengan santai tepat di depan wajah Kira.
"Wah, wah... ada CEO hebat sedang main seluncuran ya?" ujar Aruna dengan nada polos yang menyebalkan. "Hati-hati, Nona Kira. Di sini jalannya memang agak sensitif sama orang yang hatinya licin. Dia jadi ikut-ikutan licin."
Kira menatap Aruna dengan api kebencian di matanya. "Aruna Maheswari. Kamu pikir lelucon murahan ini bisa menghentikanku? Aku akan menuntutmu atas sabotase operasional pelabuhan!"
"Sabotase? Duh, Nona. Tadi itu ada truk minyak goreng yang bocor, kok. Tanya saja sama warga sekitar. Kami malah sedang bantu membersihkan," Aruna menunjuk ke arah Tiara dan beberapa warga yang pura-pura menggosok aspal dengan sapu lidi, padahal sebenarnya mereka malah meratakan minyaknya.
Kira gemetar karena marah. "Kamu tahu berapa kerugianku setiap menit truk ini berhenti? Kontrakku dengan otoritas pelabuhan bisa batal!"
"Nah, itu dia poinnya!" Aruna mendekat, suaranya berubah menjadi rendah dan serius. "Sama seperti Ayahku yang akan rugi kalau kamu menutup aksesnya. Bedanya, Ayahku orang jujur yang cari makan buat karyawan-karyawannya. Sedangkan kamu? Kamu cuma antek Lukas yang ingin pamer kekuasaan."
Tiba-tiba, suara klakson keras terdengar dari arah jalur utama. Sebuah konvoi truk logistik milik perusahaan Maheswari lewat dengan lancar melalui jalur utama yang tadinya "macet" oleh motor mogok. Damian berdiri di jendela salah satu truk tersebut, memberikan hormat dua jari kepada Kira dengan senyum kemenangan yang tipis.
Tiara yang memegang handy talky berteriak, "Jalur utama sudah bersih! Motor-motor 'ajaib' sudah sembuh semua secara mendadak!"
Kira menyadari bahwa ia telah masuk ke dalam jebakan ganda. Kemacetan di jalan utama hanyalah pengalih perhatian agar truknya masuk ke jalur minyak, sementara jalur utama segera dibersihkan agar truk Maheswari bisa masuk lebih dulu dan memenuhi slot bongkar muat hari itu.
"Ini belum selesai, Aruna!" ancam Kira. "Aku punya dokumen hukum. Aku punya Phoenix Global!"
"Dan aku punya kerupuk seblak," balas Aruna sambil menyodorkan satu kerupuk ke arah Kira. "Mau? Biar otaknya tidak kaku-kaku amat."
Kira menepis tangan Aruna dan berbalik pergi dengan langkah serampangan, hampir terpeleset lagi untuk kedua kalinya.
Damian turun dari truk dan menghampiri Aruna. Ia melihat istrinya yang kotor terkena debu namun tampak sangat bahagia. Damian melepas jasnya dan menyampirkannya ke bahu Aruna.
"Operasi 'Licin' sukses besar, Nyonya Gavriel," bisik Damian. "Pihak otoritas pelabuhan baru saja menelpon. Karena truk Phoenix menghambat jalur logistik penting, izin prioritas mereka dicabut untuk sementara waktu dan dialihkan kembali kepada kita."
Aruna bersandar di dada Damian. "Mas... aku capek juga ternyata jadi agen rahasia. Ternyata lebih susah daripada nawar harga cabai di pasar."
Damian tertawa, mencium kening Aruna di tengah hiruk-pikuk pelabuhan. "Tapi kamu melakukannya dengan luar biasa. Kamu baru saja menyelamatkan bisnis Ayahmu dan mempermalukan musuh terberat kita di depan publik."
Namun, saat mereka hendak meninggalkan pelabuhan, salah satu pengawal Damian mendekat dengan wajah serius. Ia membawa sebuah benda kecil yang ia temukan di bawah salah satu truk Phoenix yang terpeleset.
"Tuan, ini jatuh dari bagian bawah mesin truk mereka saat mereka tergelincir tadi," pengawal itu menyerahkan sebuah alat kecil dengan lampu merah yang berkedip.
Damian memeriksa alat itu. Wajahnya mendadak kaku. "Ini alat pelacak militer... dan bukan milik Kira."
"Maksudnya, Mas?" Aruna ikut bingung.
"Ada pihak ketiga yang mengawasi pengiriman Kira," gumam Damian.
"Seseorang yang lebih berbahaya dari Phoenix Global. Seseorang yang membiarkan Kira melakukan kekacauan ini agar mereka bisa melacak rute rahasia logistik kita."
Aruna menelan ludah. Ternyata, di balik minyak goreng dan sabotase konyol itu, ada benang merah baru yang mulai terulur. Sosok bayangan yang selama ini hanya bersembunyi di balik nama besar Lukas mulai menunjukkan taringnya.
"Mas... apa kita baru saja membuka kotak pandora yang lain?" tanya Aruna lirih.
Damian menggenggam tangan Aruna erat. "Mungkin. Tapi kali ini, kita tidak akan menunggu mereka menyerang. Kita akan mencari siapa pemilik alat ini sebelum mereka sempat bernapas."
Malam itu, mansion Gavriel kembali sunyi, namun suasananya terasa berat. Damian berada di ruang kerja, menatap layar monitor yang menampilkan data dari alat pelacak tadi. Aruna masuk membawakan segelas susu hangat dan sepiring martabak telor.
"Mas, jangan terlalu dipikirkan. Kita kan sudah menang hari ini," ujar Aruna, mencoba menghibur.
Damian menarik Aruna untuk duduk di pangkuannya. "Aruna, alat pelacak ini... kodenya terdaftar atas nama sebuah firma keamanan di Rusia yang dulu pernah bekerja untuk mendiang kakekku. Ini artinya, musuh kita kali ini bukan dari luar keluarga, tapi dari dalam sejarah keluarga Gavriel yang paling kelam."
"Kakek Mas? Bukannya beliau sudah lama meninggal?"
"Secara resmi, iya. Tapi wasiat yang kamu ambil dulu... ada bab yang hilang. Bab tentang seseorang bernama 'The Shadow Partner'. Seseorang yang membiayai awal mula Gavriel Group berdiri namun namanya dihapus dari semua catatan."
Tiba-tiba, lampu mansion berkedip sesaat lalu mati total. Dalam kegelapan, hanya lampu merah kecil dari alat pelacak di meja Damian yang terlihat berkedip semakin cepat.
BIP... BIP... BIP...
"Mas... kenapa alat itu berbunyi?" suara Aruna gemetar.
"Keluar! Aruna, keluar sekarang!" Damian menyambar tubuh Aruna dan melompat keluar jendela ruang kerja tepat saat sebuah ledakan kecil menghancurkan meja kerjanya.
Bukan ledakan besar yang bertujuan menghancurkan gedung, tapi ledakan gas saraf yang bertujuan untuk melumpuhkan. Di luar, di bawah temaram cahaya bulan, berdiri beberapa sosok dengan seragam hitam legam, wajah mereka tertutup topeng taktis. Salah satu dari mereka maju, memegang sebuah tongkat komando perak.
"Permainan anak kecil di pelabuhan sudah selesai, Damian," ujar suara bariton yang sangat berat di balik topeng. "Sekarang, kembalikan apa yang seharusnya milik 'Sang Mitra'."
Aruna, meskipun takut, tetap berdiri di depan Damian sambil memegang sisa martabak telornya. "Woi! Kalian siapa sih? Masuk rumah orang tidak ketuk pintu malah pakai acara asap-asapan! Mau jadi fogging nyamuk ya?!"
Sosok itu terhenti sejenak, tampaknya bingung dengan keberanian (atau kebodohan) Aruna. Namun kemudian ia tertawa dingin. "Wanita ini... benar-benar gangguan yang menarik. Bawa keduanya. Sang Mitra ingin melihat secara langsung siapa yang telah merusak skenario puluhan tahun ini."