NovelToon NovelToon
Wajah Tersembunyi

Wajah Tersembunyi

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Identitas Tersembunyi / Pengganti / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / TKP / Mafia
Popularitas:74
Nilai: 5
Nama Author: Pertiwi1208

Dara, seorang detektif yang menangani kasus pembunuhan berantai harus menelan kenyataan pahit. Pasalnya semua bukti dan saksi mengarah padanya. Padahal Dara tidak kenal sama sekali dengan korban maupun pelaku, begitu juga dengan anggota keluarga dan saksi-saksi yang lain.


Dalam keadaan yang terpojok dan tanpa bantuan dari siapapun, Dara harus berusaha membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat dalam aksi pembunuhan keji tersebut.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pertiwi1208, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16

Meskipun hingga saat ini belum menemukan titik terang perihal pelaku pembunuhan berantai, tapi acara pemakaman putri Pak Bagas pun segera dilaksanakan. Tentu saja sangat banyak pejabat-pejabat penting yang menghadiri pemakaman tersebut.

Terlihat Pak Bagas yang sangat bersedih dan benar-benar kehilangan. Terlebih beliau juga hanya hidup bertiga, dengan Putrinya dan cucunya, sementara istrinya sudah meninggal lebih dulu beberapa tahun yang lalu, dan putrinya juga sudah bercerai.

"Pelakunya benar-benar bukan aku, percayalah padaku dan tolong cari dia secepatnya." Saat menghadiri acara pemakaman Dita, tiba-tiba saja kata-kata Pak Tama terlintas di benak Dara, sehingga membuat Dara termenung untuk beberapa saat.

Saat di rumah sakit, setelah dia mendengarkan pengakuan dari Arum, Dara segera pergi ke ruang perawatan Pak Tama yang baru saja dioperasi untuk mengangkat peluru yang ada di kakinya, dan kata-kata itulah yang pertama beliau ucapkan saat melihat Dara masuk ke ruang perawatannya. Terlihat dari sorot mata Pak Tama yang saat itu seakan meminta pertolongan dan juga perlindungan.

"Ada apa?" tanya Dani yang menyadari gelagat aneh Dara dan segera mendekatinya.

"Tidak apa, aku hanya sedang berpikir saja," ucap Dara sembari terus menatap ke arah dalam rumah Pak Bagas, melihat pimpinannya yang begitu terpukul dan putus asa.

"Aku akan bantu-bantu di dalam," pamit Dani yang segera masuk tanpa menunggu respon dari Dara.

Dara menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Dia mengedarkan pandangannya ke semua orang yang tengah menghadiri acara pemakaman tersebut, hingga akhirnya pandangannya tertuju pada anak laki-laki kecil yang sedang bermain, sepertinya dia tidak tahu apa yang sedang terjadi di rumahnya. Dara segera berjalan mendekati anak laki-laki itu yang merupakan putranya Dita. Dara mencoba tersenyum ramah dan memperkenalkan diri bahwa dia adalah rekan kakeknya, barulah anak kecil tersebut mau tersenyum dan menyambutnya dengan hangat. Dara pun mengajak bermain anak tersebut dengan senyum tulus.

"Apa itu…?" tanya Pak Bagas pada dirinya sendiri. 

Saat ini Pak Bagas baru saja menerima telepon dan berbicara di luar rumah, tapi saat sudah menutup panggilan telepon tersebut, tidak sengaja mata beliau tertuju pada Dara dan cucunya. Lebih tepatnya saat ini Pak Bagas tengah melihat kalung Dara yang tidak sengaja keluar dari bajunya, bukan juga kalung itu yang menjadi perhatiannya saat ini, tapi liontin yang menggantung di kalung tersebut, liontin tersebut seperti sebuah cincin.

Pak Bagas pun segera menghampiri Dara untuk memastikannya lagi, karena beliau juga merasa sudah tua, takut jika nanti penglihatannya akan salah.

Grep.

Tanpa basa-basi, Pak Bagas segera meraih liontin tersebut yang masih menggantung di leher Dara, sehingga menyebabkan Dara sangat terkejut. "Emb... ada apa Pak?" tanya Dara yang mendapati bahwa Pak Bagas hanya diam saja seraya terus memegang liontinnya.

"Kamu mendapatkan cincin ini dari mana?" Ternyata penglihatan Pak Bagas tidak salah, dari jauh pun dia sudah bisa mengenali cincin tersebut.

"Ah, cincin ini?" Dara masih bersikap sangat santai sembari mengambil liontin yang dipegang oleh Pak Bagas, lalu segera memasukkannya kembali ke dalam baju.

Bugh.

"Milik siapa cincin itu!" sentak Pak Bagas seraya mencengkram kerah baju Dara, hal itu tentu saja membuat cucunya terkejut dan seketika menangis, hingga menarik perhatian.

"Ini milikku, memangnya kenapa Pak?" Dara pun juga mulai kesal.

"Benarkah?" tegas Pak Bagas dengan penuh penekanan.

"Ya," jawab Dara singkat, seakan menantang.

Mendengar ada keributan di luar rumah, Pak Tedi dan rekan yang lain pun segera menghampiri. Tara segera menggendong cucu Pak Bagas, sementara Pak Tedi dan Dani segera berusaha melepaskan cengkraman tangan Pak Bagas yang masih ada di kerah baju Dara.

"Kenapa kamu membuat keributan saat seperti ini?" hardik Pak Tedi pada Dara, tapi Dara hanya diam saja, karena saat ini dia tengah bertukar pandang dengan Pak Bagas. Tatapan mereka sama-sama tajam. Terlihat juga wajah Pak Bagas yang berubah menjadi merah padam, seakan memendam kemarahan.

"Ada apa ini Pak? Kita sedang kedatangan banyak tamu saat ini," bisik Dani sembari berusaha melepaskan cengkraman tangan Pak Bagas.

Huft.

Bugh.

Beberapa saat kemudian, tangan Pak Bagas pun berhasil dilepaskan, beliau ambruk di lantai dan segera mengatur nafasnya dengan cepat. Namun sedetik kemudian, tangis Pak Bagas tiba-tiba saja pecah, bak anak kecil yang sedang tantrum. Pak Tedi dan Dani pun segera melihat ke arah Dara, sementara Dara segera mengangkat kedua bahunya dan juga mencebikkan bibir. "Aku hanya mengajak main cucunya, lalu dia marah padaku," ucap Dara dengan lirih.

Pak Tedi dan Dani bergegas membopong tubuh Pak Bagas dan mengantarkannya ke kamar untuk beristirahat, acara pemakaman pun diambil alih oleh Pak Tedi dan juga Dani.

"Kenapa dia selalu saja membuat keributan, apa dia tidak tahu tempat dan momen?" gumam Amelia yang juga menghadiri acara pemakaman tersebut. 

Saat Baru saja tiba di tempat, Amelia langsung disuguhi perselisihan adik dan juga atasannya, tapi saat melepas kacamata hitamnya, ada juga senyum licik yang tersirat di bibir Amelia, tanpa diketahui oleh siapapun.

***

Setelah acara pemakaman.

"Hmb, ada apa?" tanya Pak Krisna sembari menempelkan telepon genggam di telinga kanannya.

Saat mengetahui bahwa Pak Tama sudah ditangkap dan terkena tembakan, Pak Krisna pun segera mencari tahu rumah sakit yang tengah merawat beliau. Sejak Pagi buta Pak Krisna sudah memantau di rumah sakit tersebut, tapi Pak Krisna tidak bisa menerobos masuk ke ruang perawatan, karena penjagaan yang begitu ketat.

Tepat saat Pak Krisna menyerah dan hendak kembali untuk mengatur strategi lain, beliau mendapatkan telepon dari Pak Bagas yang meminta janji temu, karena ada hal penting yang harus dibicarakan.

Pak Krisna pun berbalik badan sembari menggertakkan gigi dan juga mengepalkan tangannya. Beliau sangat kesal karena tidak bisa masuk ke ruang perawatan Pak Tama, padahal Pak Krisna ingin sekali menghajar Pak Tama dengan tangannya sendiri. Saat ini dia tidak peduli Pak Tama pelaku yang sebenarnya atau bukan, yang pasti terlihat jelas di video, bahwa Pak Tama sudah mengancam putrinya hingga semuanya menjadi runyam seperti ini.

***

Di pinggir danau, tempat yang biasa Pak Krisna dan Pak Bagas melakukan janji temu.

"Ada apa?" tanya Pak Krisna dengan suara berat, saat mereka berdua baru saja keluar dari mobil mereka masing-masing, tapi Pak Bagas tidak menjawab pertanyaan Pak Krisna, beliau menatap jauh ke arah danau dengan tatapan kosong.

"Cepat buatlah aku bisa berhadapan dengan Tama, aku benar-benar ingin menghajarnya!" kesal Pak Krisna.

Pak Bagas segera menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan, lalu beliau menghadap ke arah Pak Krisna. "Bukan itu yang penting saat ini," ucap Pak Bagas.

"Apa maksudmu?" tanya Pak Krisna dengan wajah serius, karena merasa bahwa Pak Bagas mengabaikan kasus kematian putrinya.

"Sepertinya benar yang dikatakan Dion," ucap Pak Bagas.

"Dion?" tanya Pak Krisna sembari mengerutkan keningnya.

"Salah satu security di sekolah asrama yang berhasil melarikan diri, saat ada penyergapan," jelas Pak Bagas. Seketika Pak Krisna berpikir dan mencoba mengingat nama tersebut.

"Ada apa dengannya? Apa kamu bertemu dengannya?" tanya Pak Krisna.

"Hmb, dia sekarang sedang ditahan, karena mencoba kabur saat bagasinya mau diperiksa," jelas Pak Bagas.

"Memang apa yang bisa ditemukan di bagasinya? Kemungkinan hanya minuman keras murahan saja," ucap Pak Krisna seraya menahan tawa.

"Itulah, dari dulu dia selalu saja bersikap totol," umpat Pak Bagas.

"Dia menjadi tolol dan sangat temperamen sejak ditinggal kabur istrinya," ucap Pak Krisna. Pak Bagas pun hanya mengangguk pelan beberapa kali.

"Lalu apa yang dia katakan?" tanya Pak Krisna.

"Dion mengatakan, bahwa kematian putri kita berhubungan dengan sekolah asrama," jawab Pak Bagas.

"Apa?" tanya Pak Krisna mencoba memperjelas.

"Dion juga bertemu dengan anak perempuan yang sering kita siksa menggunakan setrika. Sepertinya luka bakar itu tidak bisa hilang begitu saja, meskipun sudah berlalu hingga 20 tahun lamanya," jelas Pak Bagas.

"Dan kamu akan semakin terkejut dengan yang aku temukan," ucap Pak Bagas.

"Apa yang kamu temukan?" tanya Pak Krisna.

"Aku menemukan anak itu," ucap Pak Bagas.

"Anak yang mana?" tanya Pak Krisna.

"Anak kembar yang memakai cincin," jawab Pak Bagas dengan segera.

"Benarkah?" tanya Pak Krisna yang saat ini benar-benar terkejut.

"Apa kamu yakin?" tanya Pak Krisna.

"Hmb, aku melihatnya sendiri dengan kedua mataku dan aku juga sudah memastikan cincin itu benar," jelas Pak Bagas.

"Dimana dia?" tanya Pak Krisna dengan segera.

"Cincin itu dijadikan liontin oleh salah satu anak buahku," jawab Pak Bagas.

"Apa? Jadi benar bahwa detektif itu adalah pelakunya?" Seketika Pak Krisna pun langsung teringat akan ucapan Pak Tama, yang mengatakan bahwa Dara adalah pelaku dari pembunuhan mengerikan ini.

"Aku belum memastikannya, aku akan cari tahu dulu, liontin itu miliknya atau bukan, jadi kamu bersiaplah," ucap Pak Bagas yang kemudian pergi meninggalkan Pak Krisna begitu saja.

"Jadi sekarang hidupku telah dihancurkan oleh anak perempuan kecil," ucap Pak Krisna seraya tertawa terbahak sendirian di pinggir danau. 

Pak Bagas sempat melihat ke arah spion, tapi beliau tidak menghiraukan tingkah Pak Krisna, karena kepalanya sendiri pun saat ini tengah penuh.

***

"Maaf atas sikapku yang terakhir kali," ucap Pak Bagas pada Dara.

Setelah bertemu dengan Pak Krisna, Pak Bagas pun segera pergi ke kantor dan menemui Dara, meskipun hari ini sebenarnya beliau sedang cuti, tapi Pak Bagas harus tetap memastikan liontin tersebut.

"Tidak apa-apa Pak," jawab Dara seraya segera berdiri dari kursinya. Mengetahui bahwa akan ada obrolan yang sedikit intim, Pak Tedi pun segera memberi kode pada Tara dan Dani, agar mereka berdua keluar, sementara Pak Tedi tetap di dalam ruangan untuk menjadi penengah.

"Ayo kita makan bersama untuk memastikan, bahwa tidak ada salah paham lagi diantara kita," ajak Pak Bagas pada Dara.

"Tidak perlu Pak, aku tahu anda sedang berduka, aku berjanji akan segera mengungkap kasus ini dengan sangat baik," ucap Dara. 

Bukannya senang karena kasus pembunuhan anaknya akan segera terpecahkan, Pak Bagas malah merasa geram karena mengira Dara hanya memakai topeng saja selama ini.

"Jangan seperti itu, aku merasa benar-benar sangat menyesal, ayo kita ke kedai Bi Sarah untuk makan," ajak Pak Bagas yang segera berbalik badan dan keluar dari ruangan tanpa menunggu jawaban dari Dara. Tanpa diketahui siapapun, Pak Bagas berbalik badan sembari menyeringai tajam.

Dara menoleh ke arah Pak Tedi, beliau pun segera mengangguk pelan, pertanda menyetujui acara makan bersama tersebut. 

***

Sesampainya di kedai Bi Sarah, Pak Tedi cukup tahu diri dan memilih meja yang terpisah, tidak lupa beliau juga mengajak Tara dan Dani untuk satu meja dengannya.

"Maafkan atas sikapku." Sekali lagi Pak Bagas meminta maaf pada Dara. 

"Tidak perlu seperti itu Pak, aku yang seharusnya minta maaf karena kasus ini berjalan sangat lamban, sehingga menimbulkan korban lagi," jelas Dara.

"Apa kamu benar-benar menyesal, atau semua ini hanya strategimu saja, bahkan kamu bisa makan dengan baik di hadapanku," monolog Pak Bagas dalam hati.

"Tapi... ada yang ingin aku tanyakan," ucap Pak Bagas.

"Iya, silahkan saja," ucap Dara tanpa menatap Pak Bagas, karena dia terus fokus pada makanannya.

"Apa cincin itu memang milikmu?" tanya Pak Bagas akhirnya.

"Cincin?" tanya Dara seraya melihat jari-jarinya dengan heran, karena dia tidak sedang memakai cincin.

"Cincin yang kamu gantungkan di kalungmu," ucap Pak Bagas.

"Oh, itu," ucap Dara seraya mengeluarkan kalungnya. Pak Bagas pun menarik nafas dalam saat melihat cincin itu berada tepat di hadapannya, seakan beliau merasakan sesak saat ini dan tidak bisa bernafas dengan baik.

"Ini adalah milikku, kenapa Pak? Apa Bapak pernah melihat cincin yang mirip dengan punyaku?" cecar Dara.

Pak Bagas tidak menjawab, beliau terpaku dengan terus melihat liontin yang saat ini dipegang oleh Dara. "Sejak kapan kamu memilikinya?" tanya Pak Bagas akhirnya, setelah bersusah payah menyadarkan dirinya sendiri.

"Dari kecil, karena sudah tidak muat lagi, maka aku jadikan cincin ini sebagai liontin," jelas Dara yang kemudian memasukkan lagi kalungnya dan melanjutkan makan.

Tanpa diketahui, Pak Bagas mengepalkan tangannya yang saat ini berada di bawah meja, juga wajahnya berubah menjadi merah padam.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!