Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27: Antrean Termahal di Jakarta
Jam makan siang di Kantin Rahardian Group lantai 3 kini menjadi waktu yang paling ditunggu-tunggu oleh ratusan karyawan. Sejak "Dapur Nando" mengambil alih operasional sebulan lalu, suasana kantin berubah drastis.
Tidak ada lagi makanan hambar atau menu yang itu-itu saja. Setiap hari, aroma masakan rumahan yang menggugah selera menguar sampai ke lorong lift, memanggil cacing-cacing di perut para pegawai berdasi.
"Bu Nayla! Cumi asin cabe ijonya masih ada nggak?" seru seorang staf IT yang ngos-ngosan lari dari lift.
"Masih, Mas! Tenang, stok aman!" jawab Nayla dari balik etalase kaca, tangannya cekatan membungkus nasi.
Nayla kini punya tiga asisten yang membantunya melayani, tapi ia tetap turun tangan langsung untuk quality control. Penampilannya rapi dengan seragam polo shirt maroon berlogo Dapur Nando dan topi koki kecil. Wajahnya berseri-seri, aura pengusaha sukses mulai terpancar.
Tiba-tiba, suasana riuh kantin mendadak senyap. Seperti ada tombol mute yang ditekan massal.
Dari pintu utama, masuklah Aditya Rahardian.
Ia datang bersama Pak Darmawan (Direktur Keuangan) dan beberapa manajer senior. Biasanya, para petinggi ini makan di Executive Lounge lantai 40 atau restoran mewah di luar. Tapi sejak Adit membuat kebijakan "Jumat Merakyat", dan kemudian ketagihan masakan Nayla, ia sering turun gunung.
Para karyawan yang sedang antre otomatis menyingkir, membukakan jalan "VIP" bagi sang CEO.
"Silakan, Pak Adit. Duluan saja," ujar seorang staf magang dengan gugup, mempersilakan Adit memotong antrean panjang itu.
Adit tersenyum ramah, tapi menggelengkan kepala.
"Terima kasih, tapi tidak usah. Budayakan antre," tolak Adit sopan.
Tanpa canggung, Adit berjalan ke ujung barisan antrean, berdiri di belakang si anak magang tadi. Pak Darmawan dan manajer lain yang kaget terpaksa ikut mengantre di belakang bos mereka.
Pemandangan itu menjadi tontonan langka. Seorang pria dengan setelan jas Armani seharga puluhan juta, berdiri sabar memegang nampan plastik sambil mengecek email di ponselnya, menunggu giliran mengambil nasi rames seharga 25 ribu rupiah.
Si anak magang di depan Adit gemetar hebat, keringat dingin mengucur. Makan siang paling menegangkan seumur hidup, batinnya.
"Santai saja, Mas. Nggak usah tegang," Adit menepuk bahu anak magang itu. "Rekomendasi menu hari ini apa?"
"Eh... a-anu Pak... Cumi asinnya enak katanya," jawab si magang terbata-bata.
"Oke, saya coba cumi asin."
Setelah 15 menit mengantre (waktu yang sangat mahal bagi seorang CEO), akhirnya Adit sampai di depan etalase.
Nayla menahan senyum melihat Adit yang menyodorkan nampan plastiknya seperti anak asrama minta jatah makan.
"Selamat siang, Bapak. Mau pesan apa?" sapa Nayla formal, matanya berkedip jahil.
"Siang, Bu. Saya mau menu rekomendasi: Nasi merah, cumi asin cabe ijo, sayur asem, sama perkedel dua," pesan Adit lancar.
"Siap." Nayla menyendokkan lauk pauk itu dengan porsi yang sedikit lebih banyak dari standar (sedikit nepotisme sayang tidak apa-apa, kan?).
"Minumnya apa, Pak?"
"Es teh manis, gulanya sedikit aja. Soalnya yang jual udah manis," Adit berbisik pelan saat membungkuk mengambil sendok, memastikan hanya Nayla yang dengar.
Nayla mencubit pelan punggung tangan Adit yang sedang memegang nampan, tersembunyi di balik etalase. "Inget kolesterol, Pak. Jangan gombal terus."
"Siap, Bu Bos. Berapa totalnya?"
"28 ribu."
Adit mengeluarkan kartu e-money karyawannya dan menempelkannya di mesin kasir. Beep. Saldo terpotong. Transaksi profesional selesai.
Adit membawa nampannya dan duduk di meja panjang biasa, berbaur dengan karyawan lain. Ia makan dengan lahap, sesekali mengobrol ringan dengan staf di sebelahnya tentang pekerjaan.
Dari kejauhan, Nayla memperhatikan pemandangan itu dengan hati hangat.
Dulu, ia takut perbedaan status mereka akan menjadi jurang pemisah. Tapi Adit membuktikan sebaliknya. Adit tidak menarik Nayla naik ke menara gading yang sepi, tapi Adit yang turun ke bumi, merayakan kesederhanaan bersamanya.
"Nayla, liat deh," bisik Nenek Ijah yang sedang mengelap meja kasir. "Calon cucu mantu Nenek makannya lahap bener. Pantes pipinya mulai berisi dikit."
Nayla tertawa. "Iya Nek. Bahagia kayaknya dia."
Malam harinya.
Nayla sudah pulang ke rumah barunya. Bukan lagi kontrakan petak sempit di gang, tapi sebuah rumah sewa yang lebih layak dengan dua kamar tidur dan halaman kecil di daerah Tebet. Lebih dekat dengan kantor dan sekolah Nando.
Adit datang berkunjung setelah maghrib, membawa martabak manis kesukaan Nando. Ini adalah rutinitas baru mereka. Makan malam bersama, menemani Nando belajar, lalu mengobrol di teras sebelum Adit pulang.
"Gimana hari ini?" tanya Adit sambil duduk di karpet ruang tengah, membantu Nando merakit lego.
"Alhamdulillah, Mas. Malah tadi nasi nya kurang, jam 1 udah ludes. Besok kayaknya harus tambah stok beras," jawab Nayla antusias sambil membawakan teh hangat.
"Bagus. Rian bilang karyawan pada seneng banget. Katanya produktivitas naik gara-gara makan siangnya enak," puji Adit.
"Ah, Mas bisa aja."adzan
"Ibu, liat! Nando bikin istana!" seru Nando memamerkan susunan legonya yang tak berbentuk tapi tinggi.
"Wah, bagus banget sayang," puji Nayla.
"Ini istana buat Ibu, ini buat Om Adit, ini buat Nenek," tunjuk Nando.
Adit tersenyum, lalu menatap Nando serius. "Nando, Om boleh minta tolong nggak?"
"Tolong apa, Om?"
Adit melirik Nayla sekilas, lalu berbisik ke Nando, tapi suaranya sengaja dikeraskan agar Nayla dengar.
"Om kan udah sering main ke sini. Udah sering makan masakan Ibu. Udah sering anter jemput Nando sekolah. Kira-kira... Nando setuju nggak kalau Om ngelamar kerja jadi Ayahnya Nando? Kontraknya seumur hidup, nggak boleh resign."
Nayla yang sedang minum teh nyaris tersedak. Jantungnya berdegup kencang. Ia meletakkan cangkirnya perlahan.
Nando memiringkan kepalanya, berpikir ala bos kecil. "Hmm... Gajinya apa?"
Adit tertawa. "Gajinya... Om bakal sayang sama Nando dan Ibu selamanya. Om bakal bacain dongeng tiap malem. Dan Om bakal beliin es krim tiap minggu. Gimana?"
Mata Nando berbinar. "Deal! Nando setuju!"
Adit dan Nando melakukan tos kepalan tangan.
Lalu Adit menoleh ke arah Nayla. Wajah main-mainnya berubah menjadi tatapan yang sangat dalam dan serius.
Ia merogoh saku celananya. Mengeluarkan sebuah kotak beludru biru tua. Bukan kotak yang dulu ia buang, tapi kotak baru yang lebih indah.
Adit tidak berlutut secara dramatis seperti di film. Ia hanya menggeser duduknya mendekati Nayla di atas karpet sederhana itu, di antara serakan mainan lego dan remah martabak.
"Nay," suara Adit lembut namun bergetar.
"Saya nggak bisa menjanjikan hidup yang selalu mulus tanpa masalah. Tapi saya janji, apapun masalahnya nanti, kamu nggak akan pernah sendirian lagi ngadepinnya. Saya mau jadi partner bisnis kamu, sahabat kamu, dan imam kamu."
Adit membuka kotak itu. Sebuah cincin emas putih dengan desain minimalis namun elegan berkilau di bawah lampu ruang tengah.
"Nayla Anindya, maukah kamu menikah dengan saya?"
Ruangan itu hening. Nenek Ijah yang mengintip dari balik tirai dapur menahan napas sambil komat-kamit berdoa.
Nayla menatap cincin itu, lalu menatap wajah pria di hadapannya. Pria yang telah melihatnya dalam kondisi terburuk—kumal, miskin, menangis, putus asa—dan tetap memilih untuk tinggal.
Air mata haru menggenang di pelupuk mata Nayla. Tidak ada keraguan sedikitpun di hatinya kali ini.
"Mau," bisik Nayla serak. "Aku mau, Mas."
Adit menghela napas lega yang panjang, seolah baru saja menyelesaikan negosiasi tersulit dalam hidupnya. Ia mengambil cincin itu, menyematkannya di jari manis Nayla. Pas sekali.
"Alhamdulillah..." seru Nenek Ijah keluar dari persembunyiannya sambil tepuk tangan. "Akhirnya! Nenek bisa tenang sekarang!"
Nando ikut bersorak. "Hore! Om Adit jadi Ayah!"
Adit tertawa bahagia, merentangkan tangannya. Nando dan Nayla masuk ke dalam pelukannya. Nenek Ijah ikut memeluk mereka dari samping.
Di rumah sederhana itu, sebuah keluarga baru sedang terbentuk. Bukan karena ikatan darah, tapi karena ikatan cinta yang telah teruji oleh badai, kebohongan, dan air mata, hingga akhirnya menemukan muaranya.
"Mas..." bisik Nayla di pelukan Adit.
"Ya, Sayang?"
"Besok tetep antre ya di kantin. Nggak ada diskon buat tunangan."
Adit terkekeh. "Siap, Bu Bos. Siap."
...****************...
Bersambung...
Terima kasih telah membaca💞
Jangan lupa bantu like komen dan share❣️