NovelToon NovelToon
Pesona Kakak Posesif

Pesona Kakak Posesif

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Anak Yatim Piatu / Identitas Tersembunyi
Popularitas:499
Nilai: 5
Nama Author: Dwi Asti A

Jika bukan cinta, lalu apa arti ciuman itu? apakah dirinya hanya sebuah kelinci percobaan?
Pertanyaan itu selalu muncul di benak Hanin setelah kejadian Satya, kakaknya menciumnya tiba-tiba untuk pertama kali.
Sayangnya pertanyaan itu tak pernah terjawab.
Sebuah kebenaran yang terungkap, membuat hubungan persaudaraan mereka yang indah mulai memudar. Satya berubah menjadi sosok kakak yang dingin dan acuh, bahkan memutuskan meninggalkan Hanin demi menghindarinya.
Apakah Hanin akan menyerah dengan cintanya yang tak berbalas dan memilih laki-laki lain?
Ataukah lebih mengalah dengan mempertahankan hubungan persaudaraan mereka selama ini asalkan tetap bersama dengan Satya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dwi Asti A, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bibirnya Sampai Bengkak

Hanin tengah gelisah di kamarnya seorang diri. Sore itu di rumah, semua orang sedang pergi, kecuali para pegawai di rumahnya.

Ting Tong ...!

Suara bel rumah berdentang, Hanin mendengarnya. Namun, dia tidak tertarik untuk melihat siapa yang pulang. Ia berpikir mungkin Miranda baru kembali dari acara arisan bersama teman-temannya atau Elvan yang pulang dari kantor.

Hanin masih duduk di sisi tempat tidur memandang ponsel di tangannya, layar yang menunjukkan halaman mengenai ciri-ciri pria penyuka sesama jenis. Perkataan Awan sebelumnya mengenai kakaknya cukup mengganggu pikirannya.

Tok ... Tok ... Tok ... Tok ...!

Dia terkejut dengan suara ketukan pintu di kamarnya. Hanin mendongak.

“Siapa?” tanya Hanin masih tak beranjak dari duduknya.

Tok ... tok ... tok ...!! suara ketukan pintu semakin keras dan tidak sabaran, membuat Hanin segera beranjak dan meninggalkan ponsel di tempat tidur. Ia melangkah sambil berpikir siapa yang tidak sabaran itu mengetuk kamarnya.

Tiba di depan pintu, Hanin meraih Handle pintu lalu menariknya. Tiba-tiba dorongan cukup keras dari luar membuat Hanin mundur beberapa langkah. Hanin membeliakkan matanya tak percaya dengan sosok yang berdiri di depan pintu.

Satya sudah berdiri di sana dengan raut wajah muram, menatap ke arahnya tak ada keramahan sedikit pun. Hanin mengira mungkin Satya baru pulang dan masih lelah.

“Kakak kamu bilang baru tiba malam hari, mengapa jam segini sudah kembali? Tanya Hanin antara senang juga heran.

Satya masih berdiri di sana dengan pandangan matanya tak berubah. Nafasnya naik turun. Salah satu tangannya mengepal erat, satu tangannya lagi memegang ponselnya. Ia tiba-tiba melempar ponsel itu di sofa, lalu berjalan dengan cepat ke arah Hanin yang hanya beberapa langkah di hadapannya. Dalam waktu singkat tubuh pemuda itu sudah berada di depannya, menekan tengkuk Hanin dan mencium bibirnya dengan kasar.

Hanin membeliakkan matanya kaget, sekian detik dia berusaha mendorong tubuh Satya menyingkir. Namun, Satya tak bergeming dari tempatnya. Dia melepaskan ciumannya ketika menyadari ada yang salah pada sikapnya. Ia tertunduk, lalu menatap mata Hanin yang masih bergetar tegang.

“Maaf.” Hanya itu yang keluar dari bibirnya setelah sekian waktu terdiam dengan sikap yang aneh. Satya kemudian meninggalkan kamar itu begitu saja.

Hanin masih berdiri mematung di tempatnya. Kejadian itu begitu cepat seperti sebuah mimpi yang hilang ketika dia terbangun. Satya menciumnya, mencium bibirnya dengan kasar membuat bibirnya sedikit memerah. Dia merasakan ada hawa amarah dalam sentuhannya yang tidak tahu itu apa. Hanin menyentuhnya mencoba meyakinkan diri bahwa itu bukan mimpi.

‘Mengapa kakak melakukan itu padaku? Bukankah dia selalu marah saat aku menciumnya, tapi hari ini dia pulang dan melakukan itu padaku?’ Hanin tertunduk bingung.

Di dalam kamar mandi Satya masih berdiri di depan cermin menatap wajah dirinya sendiri dengan marah. Apa yang diperbuatnya pada Hanin melintas begitu saja. Tangannya mengepal, lalu menghantamnya pada tembok.

‘Apa yang aku lakukan padanya bagaimana bisa aku berbuat seperti itu pada Hani?’ batinnya penuh penyesalan.

Usai mandi dan sedikit merasa tenang, Satya langsung merebahkan tubuhnya di kasur. Perjalanan pulang hari itu membuatnya merasa sangat lelah.

Satya terbangun ketika mendengar Mbok Indung memanggilnya, “Den Satya ditunggu di ruang makan, Den!” teriak Mbok Indung membangunkan.

Satya tak menyahut. Suara Mbok Indung pun sudah tak terdengar memanggil. Satya bangun, melihat jam di ponsel sudah menunjukkan waktu magrib. Setelah bakda magrib, Satya baru turun menemui semuanya yang tengah menunggunya di ruang makan.

Satya juga melihat Hanin di sana, tanpa memandang dirinya. Sementara Elvan, Satya rasakan tatapannya dingin. Miranda juga tak lepas terus memandangi dirinya sampai ketika Satya tiba di sana.

“Kenapa masih berdiri, Satya, duduk!” perintah Miranda.

Satya langsung duduk di kursi yang paling dekat dengan dirinya, di samping Hanin. Miranda langsung mengambilkan nasi untuknya.

Pikiran Satya masih tidak tenang, dipenuhi perasaan bersalah. Dia bertanya-tanya dalam hati. Mungkinkah Hanin sudah menceritakan perbuatannya barusan kepada kedua orang tua mereka? Lalu Elvan akan menceramahinya di sana.

Suasana terasa hening, semuanya serius menikmati makanan sementara Satya belum merasa lega sebelum mereka membuka pembicaraan. Satya melirik pada Hanin yang terus saja menundukkan kepalanya, tak sekalipun menatap dirinya. Mungkin dia marah saat ini, Satya tak berani menegurnya. Padahal biasanya dia senang menggoda Hanin saat makan.

“Hani bilang kau ...,”

“Maaf, Mah, Satya tidak sengaja,” tukas Satya spontan dan tiba-tiba sebelum Miranda menyelesaikan kalimatnya. Semuanya pun dibuat heran dengan sikap Satya yang aneh dan tampak gugup.

“Maaf apa maksudmu, Satya? Mama belum selesai bicara kau sudah menimpali,” kata Miranda.

Satya merasa dirinya benar-benar kacau, refleks saja dia menyahut kata-kata Miranda yang dia pikir akan membahas perbuatan dirinya pada Hanin.

“Maaf, Mah. Mama mau bicara apa silakan dilanjutkan,” kata Satya.

“Ah, kau ini membuat mama lupa saja. Tadi itu, mama cuma mau bilang kata Hani kau pulang cepat hari ini. Bukankah sebelumnya kau bilang akan tiba malam hari?”

“Iya, Mah. Kebetulan keberangkatan dari Jakarta lebih awal dan perjalanannya sangat lancar, jadi kami semua tiba lebih cepat.”

“Hanya itu?” tanya Miranda.

Satya mengangguk.

“Jadi bagaimana hasil tesnya, apa keputusannya?” tanya Elvan tak sabar mendengar hasilnya.

“Belum tahu, Pah. Pihak sekolah bilang hasilnya akan dikirimkan lewat sekolah, dan hasilnya akan diumumkan besok.”

“Menurutmu kau berhasil?”

“Belum tahu, tapi jika melihat dari tes kemarin, aku rasa aku berhasil masuk, Pah. Hanya saja peringkat berapa aku tidak tahu.” Jawaban meyakinkan Satya membuat Elvan tersenyum bangga.

“Melihat dari jawabanmu papa senang. Papa tidak mengharuskanmu lulus tes itu. Apa pun hasilnya papa tetap bangga kau sudah terpilih untuk ikut tes di Jakarta.”

“Terima kasih, Pah,” ucap Satya.

Suasana terasa hangat dengan pembicaraan santai antara Satya dan Elvan. Sementara Miranda masih memikirkan jawaban Satya yang tiba-tiba itu, dia kemudian menyinggungnya kembali.

“Tadi kenapa tiba-tiba kau menjawab seperti itu, memang kau melakukan kesalahan apa?” tanya Miranda pada Satya.

Satya melirik sekilas pada Hanin, adiknya itu langsung menurunkan pandangannya saat pandangan mereka bertemu.

“Lupakan saja, Mah, itu tidak begitu penting.”

“Ya sudah kalian lanjutkan makan kalian, mama baru ingat ada urusan dengan ibu-ibu arisan yang belum selesai,” kata Miranda sembari beranjak.

“Papa juga mau ke kamar dulu ya.” Elvan ikut-ikutan mengakhiri makan mereka. Semuanya pergi menyisakan Hanin dan Satya di ruang makan.

“Tunggu sebentar!” Miranda melihat ke arah Hanin. “Hani apa kau pakai lipstik dengan warna yang berbeda?” tanya Miranda menyadari bibir Hanin yang merah tak biasanya.

Satya dan Hanin saling berpandangan sekilas.

“Hani tidak pernah pakai lipstik, Mah. Hani cuma pakai pelembab,” jawab Hanin gugup.

“Tapi bibir kamu agak bengkak juga.” Miranda begitu teliti mengamati bibir Hanin. Gadis itu kemudian menjauh menghindar, lalu menutupi bibirnya dengan telapak tangannya.

“Jangan dilihati, Mah, malu. Tadi Hani makan sesuatu ada semutnya sepertinya menggigit.”

“Kalau begitu segera kau obati, nanti mama ambilkan krimnya.”

“Tidak usah, Mah, nanti juga sembuh sendiri.”

Miranda berlalu, pergi ke kamarnya. Tak berapa lama dia kembali benar-benar membawa krim itu. Hanin meminta krim berniat untuk mengobatinya sendiri.

Saat ini hanya ada Satya dan Hanin di ruang makan. Suasana benar-benar terasa canggung, terlebih setelah Miranda menyadari perubahan bibir Hanin. Hanin terpaksa berbohong menyembunyikan kejadian yang sebenarnya.

1
D Asti
Semoga suka, baca kelanjutannya akan semakin seru loh
María Paula
Gak nyangka endingnya bakal begini keren!! 👍
Majin Boo
Sudut pandang baru
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!