Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 27: Di temukan
Berbeda jauh dengan suasana hangat di rumah itu, di luar sana sebuah Genesis G90 melaju dengan kecepatan sedang, melewati bentangan Sungai Han yang berkilau terkena sinar matahari pagi. Yoonjae duduk di kursi pengemudi dengan tatapan lurus, fokus pada jalan, sementara Jihoon dan Minjoon berada di kursi belakang. Di kursi penumpang depan, Yang Hyo-jin duduk tenang, kedua tangannya saling menggenggam di pangkuan, seolah berusaha menahan gelombang emosi yang sudah mulai mengalir sejak mereka berangkat.
Hari ini, mereka benar-benar berniat datang ke rumah tempat dia dan suaminya dulu meninggalkan bayi itu—sekitar 22 tahun lalu. Tidak ada percakapan di dalam mobil, hanya keheningan yang sesekali dipecahkan oleh suara AC dan deru mesin. Masing-masing larut dalam pikirannya sendiri, membawa harapan yang sama: bahwa orang-orang di rumah itu masih tinggal di sana, dan belum pindah ke tempat lain.
Perjalanan dari Samseong-dong, Gangnam-gu ke Yeonnam-dong, Mapo-gu hanya memakan waktu sekitar 22–25 menit pagi itu, meski lalu lintas cukup ramai. Saat mobil berbelok ke sebuah jalan yang lebih tenang, pemandangan berubah. Deretan rumah dua hingga tiga lantai tampak rapi berdiri di sepanjang sisi jalan—beberapa bergaya modern minimalis dengan kaca lebar dan pagar besi rendah, sementara yang lain mempertahankan sentuhan tradisional dengan bata merah atau kayu gelap. Hampir semua rumah memiliki gerbang otomatis, halaman kecil yang ditata rapi, dan tanaman dalam pot di sudut-sudutnya.
Begitu melihat jalan itu, Minjoon yang duduk di belakang menegakkan tubuhnya. Matanya menelusuri setiap bangunan yang mereka lewati, seolah mencoba mengingat setiap detail yang pernah tertinggal di masa lalu. Udara sore yang mulai dingin menelusup masuk lewat celah jendela, membawa aroma aspal basah dan dedaunan. Ia menarik napas perlahan sebelum akhirnya berkata pelan namun tegas…
“Sukmo yakin jalannya ke sini?” tanya Minjoon, menatap sang bibi lewat kaca spion tengah.
“Iya… Sukmo masih ingat. Meskipun semuanya sudah berbeda jauh dari terakhir kali kami datang, sekarang tempat ini terlihat lebih modern,” ujar Hyo-jin, suaranya mengandung nada ragu yang samar. Minjoon terdiam sejenak. Tatapannya tak lepas dari jalan di depan. Lalu, dengan suara lirih ia berkata.
“Ini jalan ke rumah Areum.” Ujar Minjoon yang mana perkataan itu membuat Jihoon yang duduk di sampingnya menoleh cepat.
“Sungguh?” ujarnya tak percaya.
“Ya… setelah ini berbelok ke kiri, dan bangunan bercat putih itu, bukan?” ujar Minjoon pelan. Hyo-jin terdiam. Tatapannya kosong sesaat, karena yang dikatakan Minjoon memang benar.
“Itu…” ucapnya lirih, telunjuknya bergetar saat menunjuk sebuah bangunan di ujung jalan. Rumah itu berdiri tenang, dicat putih bersih dengan pagar hitam yang sederhana. Namun di balik kesederhanaannya, Hyo-jin tahu betul… di sanalah dulu ia menitipkan bayi perempuan kecil kepada pasangan suami istri—atas perintah ayah mertuanya yang tidak ingin ada anak perempuan di keluarga Kim.
“Itu memang rumah Areum,” ujar Minjoon dengan suara bergetar.
Ucapan itu membuat Jihoon dan Yoonjae sama-sama tertegun. Keduanya saling pandang, sulit mempercayai kenyataan bahwa selama ini mereka begitu dekat dengan adik mereka sendiri… tanpa pernah menyadarinya.
“Sukmo yakin?” tanya Yoonjae, memastikan sang bibi tidak salah tempat. Hyo-jin mengangguk pelan.
“Yakin… meskipun sudah dua puluh dua tahun berlalu, dan banyak yang berubah dari rumah serta lingkungan ini, tapi Sukmo yakin—kami menitipkan bayi itu pada pemilik rumah ini.” ujar nya yang membuat semua terdiam. Suasana mobil mendadak hening, hanya suara detik jam tangan Jihoon yang terdengar samar.
“Aku harap memang benar dia. Jika tidak, mungkin ini hanya kebetulan… karena Areum dan orang tuanya membeli rumah ini,” ujar Jihoon sembari membuka pintu mobil dan turun lebih dulu, disusul oleh yang lain.
Untungnya, hari itu kaki Minjoon sudah bisa berjalan normal setelah hampir tiga hari ia tidak bisa menapak dengan baik akibat terkilir ketika jatuh dari tangga kafe. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan diri.
“Apa kita langsung saja?” tanya Yoonjae pelan, berdiri di depan pagar dan menatap rumah tersebut penuh ragu. Minjoon, Jihoon, dan Hyo-jin berdiri di sampingnya, menatap arah yang sama.
“Aigoo… tidak sopan jika langsung masuk,” ujar Hyo-jin akhirnya, nada suaranya lembut namun tegas. Jihoon mengangguk pelan.
“Mungkin kita minta Areum untuk keluar saja. Minjoon, kamu kan punya nomornya, cepat hubungi saja,” ujar Jihoon.
Minjoon mengangguk setuju. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celananya, jemarinya bergetar halus saat hendak menekan nomor Areum. Namun belum sempat ia melakukannya, pintu rumah itu terbuka perlahan.
Wanita yang sedang mereka cari muncul dengan kantong plastik hitam di tangannya—sepertinya kantong sampah. Tatapannya langsung terpaku begitu melihat empat orang yang berdiri di depan pagar rumahnya.
Raut wajahnya menunjukkan kebingungan. Ia hanya mengenali Minjoon, bosnya di kafe, dan Yoonjae, kakak Minjoon. Selebihnya, dua orang lain benar-benar asing baginya—meskipun wajah mereka terasa samar, seperti pernah ia lihat sekilas di apartemen Yoonjae kemarin. Kini keempatnya berdiri di depan rumahnya. Tentu saja hal itu membuatnya heran.
Namun karena Minjoon memberi isyarat dengan gerakan tangan agar ia mendekat, Areum akhirnya menurut. Tidak mungkin ia menolak permintaan atasan sendiri, mungkin saja mereka memang datang untuk urusan penting.
“Sajangnim… kenapa ada di sini?” tanya Areum dengan nada bingung, menatap keempat orang itu bergantian.
“Saya sedang mencari seseorang. Katanya, orang itu tinggal di rumah ini,” jawab Minjoon tenang, namun matanya penuh arti.
“Rumah ini?” Areum berkerut kening. “Tapi ini rumahku. Setahuku keluarga kami sudah lama tinggal di sini, dan tidak pernah pindah rumah. Atau mungkin aku keliru? Sebentar, biar aku tan—” Ucapan Areum terpotong ketika Jihoon tiba-tiba menyodorkan sebuah foto. Foto lama, sudah sedikit kusam, memperlihatkan seorang anak laki-laki yang menggendong bayi perempuan.
“Lihat bayi ini. Kami mencari dia,” ujar Jihoon pelan, tapi suaranya mengandung getaran.
Areum menatap foto itu dengan ragu. Tangannya gemetar saat menerima lembaran usang tersebut. Matanya menelusuri wajah bayi dalam foto itu, lalu berpindah pada empat orang di hadapannya, satu per satu.
“Wae kalian punya fotoku?” tanyanya lirih, nada suaranya nyaris berbisik.
Pertanyaan itu membuat wajah Jihoon, Yoonjae, dan Minjoon sontak berubah. Sorot mata mereka penuh keterkejutan dan air mata yang tertahan. Mereka tak menyangka… wanita yang selama ini mereka cari benar-benar berdiri di depan mereka.
Tanpa ragu, Yoonjae langsung melangkah maju dan memeluk Areum erat. Tubuh pria itu bergetar, air matanya menetes di bahu Areum. Namun Areum yang sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi sontak terkejut dan mendorong tubuh Yoonjae menjauh.
“Maaf! Apa yang Sajangnim lakukan?!” bentaknya pelan, nada suaranya tegang dan sedikit bergetar.
“Ara… ini kami! Kami keluarga kandungmu!” ujar Jihoon, suaranya pecah di tengah udara yang tiba-tiba terasa berat. Areum terdiam. Pandangannya kosong, seperti tak mengerti bahasa yang baru saja didengarnya.
“Mianhae… mungkin Sajangnim salah orang. Aku bukan ‘Ara’ atau siapa pun itu. Namaku Min Areum,” ujarnya pelan.
“Kamu adik kami, adik yang hilang dua puluh dua tahun lalu!” ucap Yoonjae dengan suara parau, matanya mulai memerah. Ia kembali berusaha memeluk Areum, tapi wanita itu segera mundur beberapa langkah ke belakang.
“Aku tidak punya kakak! Aku anak tunggal! Mungkin kalian salah orang… aku minta maaf,” ujarnya cepat, suaranya mulai bergetar.
Raut wajahnya bingung, matanya berkaca-kaca menahan sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak tahu apa. Dalam hatinya, ada sesuatu yang berdesir aneh—antara ragu dan takut. Ia memang tidak mengerti apa-apa, tapi satu hal membuatnya tak tenang: bagaimana bisa mereka memiliki foto masa kecilnya?
Foto itu jelas hanya dimiliki oleh keluarganya. Tidak mungkin orang lain memilikinya. Tapi… logika dan hati Areum tidak berjalan seiring. Ia tak bisa begitu saja mempercayai kata-kata dari orang-orang yang baru beberapa kali ia temui.
Hening menyelimuti halaman rumah itu. Angin siang berhembus pelan, menggoyangkan daun di pepohonan. Di antara udara yang dingin, hanya terdengar isak tertahan dari Yoonjae dan helaan napas berat Minjoon yang berusaha menahan perasaannya agar tidak pecah di depan adik yang baru saja ia temukan… tapi belum bisa memanggilnya keluarga.
Di tengah kebingungan Areum, tiba-tiba terdengar suara langkah tergesa dari arah dalam rumah. Dua sosok keluar dari pintu—Nam Hyerin dan Min Taesik—yang tampak cemas. Mungkin mereka mendengar suara gaduh dari luar, atau karena Areum yang niatnya hanya membuang sampah malah tak kunjung kembali.
“Ttal… ada apa di lu—” Ucapan Hyerin terhenti seketika begitu matanya menangkap sosok wanita yang berdiri di antara tiga pria muda berwibawa itu. Nafasnya tercekat, pandangannya langsung membeku. Ia mengenali wajah itu. Begitu juga dengan Min Taesik, suaminya, yang kini ikut terpaku di tempat.
“Eomma… Appa, maaf menunggu,” ujar Areum buru-buru berjalan mendekati kedua orang tuanya yang kini tampak gelisah.
“Ayo masuk,” ucap Hyerin cepat, nada suaranya tajam, hampir seperti perintah. Ia meraih tangan Areum agak kasar—bukan karena marah, tapi karena panik, seolah ingin menyembunyikan putrinya dari sesuatu yang ia anggap musuh besar.
Areum sempat menatap bingung, namun mengikuti langkah ibunya tanpa banyak bicara. Sementara itu, Min Taesik masih berdiri di sana, menatap keempat tamu tak diundang itu. Matanya bergeser ke arah Hyo-jin yang berdiri sedikit di belakang tiga pria muda itu. Ia menarik napas panjang, berat, lalu bertanya dengan nada datar yang penuh tekanan.
“Anda… wanita itu, kan?” ucapnya perlahan.
Hyo-jin terdiam sejenak, menatap balik dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Lalu ia mengangguk pelan.
“Iya… saya. Saya yang datang di tengah hujan bulan Januari, dua puluh dua tahun lalu… bersama suami dan bayi saya.” Suara Hyo-jin bergetar, tapi tegas. Taesik mengangguk pelan, meski wajahnya tampak keras menahan emosi.
“Masuklah,” katanya akhirnya, suaranya parau dan berat. Ada ketidakrelaan di sana, namun juga kesadaran bahwa kebenaran tak bisa terus disembunyikan.
Mereka semua masuk mengikuti langkah Taesik. Suasana di ruang tamu terasa tegang dan dingin. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar jelas, berdenting perlahan.
Hyo-jin duduk dengan tangan saling menggenggam di pangkuannya, sementara Yoonjae, Jihoon, dan Minjoon duduk sejajar di depannya, diam membisu. Tak ada yang tahu harus memulai dari mana.
“Jadi… apa kalian datang untuk mengambilnya?” tanya Taesik akhirnya. Suaranya dalam dan tenang, tapi penuh tekanan. Ia menatap satu per satu orang yang duduk di hadapannya. Hyo-jin menelan ludah pelan sebelum menjawab.
“Saya… membawa kakak-kakaknya,” ujarnya lirih. “Sebenarnya, saat itu saya berbohong tentang anak itu. Dia bukan anak kandung saya… tapi keponakan saya. Anak dari kakak suami saya.” Mata Taesik membulat, tapi ia tak menyela. Hyo-jin melanjutkan, suaranya mulai bergetar.
“Kami berdua saat itu bingung. Ayah mertua saya… tidak menginginkan anak perempuan di keluarga kami. Ia memerintahkan kami untuk membuang bayi itu sejauh mungkin. Bayi itu diambil dari rumah sakit dan diberikan pada kami. Kami tidak punya pilihan… hanya bisa menuruti perintahnya.” ujar nya yang membuat suasana hening. Udara seolah menebal di ruangan itu.
Taesik menggeleng pelan, matanya memerah, menatap Hyo-jin dengan pandangan yang sulit diartikan—ada amarah, ada kecewa, tapi juga kelelahan yang amat dalam. Jemarinya mengepal di atas lutut, buku-buku jarinya memutih.
“Jinjja… begitu rendahkah nyawa seorang bayi di mata mereka?” katanya dengan nada getir. “Aigoo… dunia macam apa ini…” dia mengusap wajahnya kasar.
Yoonjae yang sedari tadi menunduk hanya bisa menggigit bibir, menahan tangis yang hampir pecah lagi. Jihoon menatap lurus ke lantai, sementara Minjoon memejamkan mata, berusaha menahan gelombang emosi yang terasa menyesakkan dada.
"Kenapa…?" suaranya terdengar rendah, namun tajam seperti pisau yang baru diasah. "Kenapa kalian tega membuang bayi sekecil itu… hanya karena dia perempuan?" Pertanyaan itu menggantung di udara. Sunyi. Bahkan jam dinding pun seolah berdetak lebih pelan, hal itu membuat Hyo-jin menunduk, menelan ludah.
“Saya… saya tidak punya pilihan, Tuan Min. Saat itu… kami hanya menuruti perintah ayah mertua saya. Dia… keras kepala, dan… kejam.” Suaranya mulai bergetar, dan tangannya yang menggenggam rok berkerut begitu erat hingga buku jarinya memutih.
"Tidak ada alasan yang cukup untuk membuang darah daging sendiri!" potong Taesik, nada suaranya meninggi, matanya memerah. “Anak itu lahir tanpa salah apa-apa… tapi kalian—” ia berhenti, menghela napas kasar, seolah kata-kata berikutnya terlalu pahit untuk diucapkan sedang Yoonjae yang sedari tadi menahan diri akhirnya bersuara.
"Ajushi… kami tidak tahu kejadian sebenarnya waktu itu. Kami bahkan tidak tahu kalau Ara masih hidup… kalau dia dibesarkan di sini." Suaranya parau, penuh emosi yang berusaha ia kendalikan. Mendengar ucapan yoonjae, Taesik menatap tiga pria itu bergantian, napasnya berat.
“Kalian datang… membawa luka masa lalu yang sudah saya tutup rapat-rapat. Apa kalian pikir semudah itu? Datang, mengaku sebagai keluarga, lalu membawanya pergi?” Jihoon maju sedikit, suaranya tenang namun tegas.
“Kami tidak berniat merebutnya, Ajusshi. Kami hanya ingin… dia tahu siapa dirinya sebenarnya. Kami hanya ingin dia tahu kalau dia masih punya saudara, dan tahu bahwa sebenarnya orang tuanya sudah tidak ada. Memang menyakitkan, tapi lebih baik, bukan, daripada seumur hidupnya dia tidak tahu apa pun tentang semua ini? Kami memiliki wasiat dari orang tua kami untuk mencarinya sebelum mereka meninggal. Kini, saat kami berhasil menemukan dia, kami hanya berharap dia tahu segalanya,” ujar Jihoon dengan suara berat, membuat Min Taesik mengerutkan keningnya.
“Saya tidak ingin dia mendengar hal seperti itu! Saya tidak ingin mental anak saya terganggu,” ujarnya dengan nada meninggi, membuat Yoonjae hendak menyela.
“Tuan Min, Anda tidak bisa menyembunyikan fakta ini selamanya. Kami tahu keluarga kami salah… jinjja salah, dan terlalu egois karena melakukan hal sekeji itu pada seorang bayi yang bahkan belum tahu apa pun tentang dunia. Kami tidak akan merebutnya dari kalian, tapi kami ingin dia tahu kalau dia masih punya saudara yang mencarinya. Keluarga dan saudara-saudaranya tidak terlibat dalam semua ini. Dalam hal ini, yang bersalah adalah kami, orang dewasa. Saat kejadian itu mereka masih anak-anak dan belum tahu apa pun. Jika Anda tidak bisa percaya pada saya, tidak masalah… tapi setidaknya percayalah pada mereka,” ujar Hyo-jin, suaranya bergetar namun tegas. Tatapannya memohon, seolah berusaha menembus dinding pertahanan Taesik.
Taesik terdiam lama, pandangannya jatuh ke lantai. Nafasnya berat, rahangnya mengeras. Ia seolah tengah menimbang sesuatu—antara rasa takut kehilangan dan kesadaran yang mulai menghantui. Namun akhirnya, dia menggeleng pelan.
“Saya tidak akan menyerahkan Areum pada siapa pun… karena dia sudah jadi putri kami sejak kalian membuangnya begitu saja. Terlepas dari kalian saudara atau apa, saya tidak peduli. Saya mohon dengan sangat… tolong, biarkan dia hidup tenang dan jangan ganggu dia lagi,” ujarnya sembari berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Gerakan itu seolah pengusiran halus yang mau tak mau membuat mereka semua harus pergi dari sana.
Yoonjae menatap lantai sesaat sebelum beranjak, rahangnya menegang menahan emosi. Meskipun awalnya menolak pergi, pada akhirnya dia ikut juga.
“Hyung… bagaimana ini? Ara bahkan tidak mau menerima kita,” ujar Yoonjae pelan pada Jihoon, suaranya nyaris serak karena menahan kecewa.
“Aku sudah menyangka kalau ini akan terjadi. Aku yakin dia tidak akan semudah itu menerima kita,” ujar Jihoon dengan napas berat, menatap kosong ke arah rumah yang semakin jauh dari pandangan.
“Aku masih tidak percaya kalau Ara itu dia…” ujar Minjoon lirih, matanya masih menatap ke luar jendela dengan wajah bingung. Semua terasa begitu tiba-tiba, seperti mimpi buruk yang belum selesai.