NovelToon NovelToon
My Hazel Director

My Hazel Director

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Teen School/College / Cinta pada Pandangan Pertama / Romantis
Popularitas:695
Nilai: 5
Nama Author: redberry_writes

Ketika Victoria “Vee” Sinclair pindah ke Ashenwood University di tahun terakhirnya, ia hanya ingin belajar dari sutradara legendaris Thomas Hunt dan membuktikan mimpinya. Tapi segalanya berubah saat ia bertemu Tyler Hill, dosen muda yang dingin, sekaligus asisten kepercayaan Thomas.

Tyler tak pernah bermaksud jatuh hati pada mahasiswanya, tapi Vee menyalakan sesuatu dalam dirinya, yaitu keberanian, luka, dan harapan yang dulu ia kira telah padam.

Di antara ruang kelas dan set film, batas profesional perlahan memudar.
Vee belajar bahwa mimpi datang bersama luka, dan cinta tak selalu mudah. Sementara Tyler harus memilih antara kariernya, atau perempuan yang membuatnya hidup kembali.

Sebuah kisah tentang ambisi, mimpi, dan cinta yang menyembuhkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon redberry_writes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 27 - Peringatan

Vee

Setelah kekacauan dengan Naomi, kami hanya punya sepuluh hari tersisa untuk menyelesaikan syuting. Kepalaku rasanya hampir pecah. Tidak ada satu pun dari tim produksi yang mau mengambil alih posisi Naomi. Semua menghindar, seolah takut ikut terseret dalam masalah.

Sampai Derek mengangkat tangan. Ia datang dengan nada santai, tapi matanya serius. “Aku bisa coba isi posisinya. Setidaknya sampai syuting selesai.”

Awalnya aku ragu, tapi ia benar-benar membuktikan diri. Dalam dua hari, ia bisa menenangkan tim produksi yang sempat kacau. Ia tahu kapan harus bicara, kapan harus diam, dan yang paling mengejutkan—mereka mendengarkannya. Sejujurnya, aku sampai berpikir, seandainya sejak awal dia yang jadi Production Manager, semuanya mungkin akan lebih mudah.

Hari ini Derek meminta agar semua adegannya diambil sekaligus, supaya setelah itu ia bisa fokus di belakang layar.

“Oke, Derek. Scene terakhir untukmu,” ujarku sambil menatap monitor. “Peter meyakinkan Vincent untuk memperbaiki hubungannya dengan Claire. Ini momen hangat antara dua sahabat. Real, tapi nggak berlebihan. Siap semua? Roll… action.”

Liam dan Derek ke posisi masing-masing. Aku bisa mendengar desiran alat perekam suara, lalu sunyi.

“...Man, dari cara Claire menatapmu, aku yakin dia masih mencintaimu,” kata Derek, suaranya lembut, penuh empati.

Liam menunduk, menghela napas berat. “Entahlah. Aku lelah berusaha kembali ke rumah yang tidak menerimaku. Aku sudah berusaha…”

“Rumah itu bukan cuma bangunan,” Derek melanjutkan, “kadang rumah adalah orang. Tempat di mana kamu bisa kembali tanpa perlu menjelaskan apa pun. Claire cuma perlu diingatkan kalau kamu masih jadi rumahnya, seperti dulu.”

Adegan bergulir tenang. Kamera bergerak pelan mengikuti ekspresi mereka. Aku menahan napas.

“Cut.”

Hening sesaat.

“Bagus, tapi aku mau coba satu hal,” kataku cepat. “Waktu kamu bicara soal rumah, Derek, geser sedikit ke kiri. Aku ingin lihat perubahan ekspresi Vincent di angle ini.” Keduanya mengangguk, lalu kami ambil ulang satu kali take.

Dan kali ini—sempurna. Semua terasa hidup mulai dari dialognya, blocking-nya, bahkan sorot mata mereka.

“Cut,” ulangku, lebih pelan. “Bagus.”

Derek menepuk bahu Liam, lalu kembali sibuk dengan papan schedule. Ia cepat sekali beradaptasi, aku bahkan melihat beberapa anggota kru tersenyum lega karena ritme kerja kami mulai stabil lagi.

Sore menjelang malam, semua kru mulai berkemas. Aku menghampiri Derek yang masih menatap papan produksi, alisnya berkerut.

“Hey, ngobrol sebentar?” ujarku.

Kami berjalan ke sudut ruangan, agak jauh dari keramaian. Lampu-lampu set sudah dimatikan sebagian, jadi hanya tersisa cahaya keemasan dari matahari yang menembus jendela tinggi.

“Terima kasih, ya,” kataku. “Jujur, aku nggak nyangka kamu bisa step up sebaik ini. Apalagi kalau ingat betapa nyebelinnya kamu waktu proyek kelompok semester lalu.”

Ia tertawa pendek. “Banyak orang bilang aku menyebalkan, jadi kupikir… ya, sekalian saja aku mainkan peran itu.” Matanya melunak. “Tapi waktu tugas kelompok itu, kamu percaya padaku. Kamu satu-satunya yang bikin aku ngerasa mungkin aku bisa berkontribusi lebih dari sekadar ‘aktor sok jago’. Jadi, ya… aku cuma balas budi.”

Aku terdiam sejenak, sedikit terkejut dengan kejujurannya. “Beri dirimu kredit juga, Derek. Setelah Naomi, tim produksi sempat menjauh. Kamu datang di waktu yang tepat.”

Ia tersenyum miring. “Yah, aku memang luar biasa.”

Kami tertawa kecil. Rasanya menyenangkan bisa tertawa di tengah kekacauan seperti ini. Kami bersenda gurau beberapa saat, lalu masuk ke persoalan teknis terkait pekerjaan barunya, yang dijawab dengan meyakinkan olehnya, Tapi kemudian suasana berubah ketika ia tiba-tiba menatapku lebih serius.

“Oh ya, Vee… aku mau tanya sesuatu,” katanya hati-hati. “Ada rumor di antara tim produksi. Tentang kamu dan Professor Hill.”

Napasku tercekat. “Apa maksudmu?” suaraku nyaris berbisik.

“Katanya kalian… dekat. Terlalu dekat, seperti pasangan, bahkan.” Ia menelan ludah. “Itu nggak benar, kan? Maksudku, Professor Hill masih menggantikan Professor Hunt semester depan. Dia bagian dari tim penilai film ini juga.”

Aku tertegun. “Dari mana kamu dengar itu?”

“Sepertinya dari Naomi,” jawabnya perlahan. “Tapi dia nggak ada di sini, jadi aku nggak bisa konfirmasi. Makanya aku tanya langsung ke kamu. Berita itu bohong, kan?”

Aku mencoba tersenyum, tapi rasanya wajahku kaku. “Ya… tentu saja. Mana mungkin?” aku memaksa tawa, yang terdengar lebih seperti helaan napas. “Aku bahkan—hah, aku bahkan nggak tahu dari mana orang-orang bisa mikir sejauh itu.” Untuk seorang sutradara yang menilai baik buruknya akting, aku sadar aktingku ini sangat tidak meyakinkan.

Derek menatapku lama. Lalu ia berkata pelan, “Kalau itu memang benar… aku nggak akan bilang siapa pun. Aku menghormatimu, Vee. Tapi hati-hati, ya.”

Aku hanya bisa menunduk, jantungku berdetak terlalu cepat. Kata-kata terakhir Derek menggema di kepalaku—Hati-hati, ya.

Dan untuk pertama kalinya sejak proyek ini dimulai, aku merasa ketakutan yang berbeda. Bukan karena filmku bisa gagal. Tapi karena rahasia yang kupikir selama ini aman… mulai retak di tepinya.

\~\~\~

Tyler

Aku tidak hadir di studio hari ini. Elara mengirim pesan pagi-pagi, pendek tapi cukup untuk membuatku gelisah, sehingga aku langsung berangkat tanpa pikir panjang. Rumah mereka terasa lebih sunyi dari biasanya. Aroma obat dan bunga segar bercampur di udara. Dari ruang tamu, terdengar suara lembut dari televisi—The Last Duchess.

Thomas duduk di sofa, matanya menatap layar lekat-lekat. Wajahnya pucat, tapi sorotnya tetap sama: tajam dan hidup. Elara muncul dari dapur, matanya sembab, tapi masih menampilkan senyum kecil saat melihatku. Perutnya kini semakin besar, kehidupan baru di tengah rumah yang mulai kehilangan satu.

Thomas tidak menoleh saat aku masuk. “Duduk,” katanya singkat.

Aku duduk di kursi seberangnya. Di layar, Elara yang saat itu masih berusia 25 tahun memerankan Duchess Katherine yang lembut tapi berapi-api. Aku sudah menonton film ini entah berapa kali, tapi kali ini terasa berbeda. “Dia luar biasa,” kataku pelan.

Thomas mengangguk, masih menatap layar. “Kau tahu, aku sudah jatuh cinta pada wanita itu bahkan sebelum syuting dimulai.”

Suaranya berat, tapi hangat, seperti seseorang yang sedang membuka kotak masa lalu yang lama terkunci.

“Dia baru membintangi satu film waktu itu,” lanjutnya. “Aku menontonnya, dan aku tahu dia punya kemampuan akting yang luar biasa. Aku segera mendatanginya saat kami bertemu di acara sineas film, mencoba menawarinya peran yang aku tahu akan cocok untuknya. Tapi dia sudah terikat kontrak untuk film lain—The Double Agent, film action yang… sejujurnya, sangat buruk. Agen rahasia mana yang menggunakan pakaian sangat ketat, menampilkan lekuk tubuh, tentu saja setelahnya Elara jadi bulan-bulanan media”

Elara tertawa pelan di sampingnya, tapi Thomas meneruskan, nada suaranya berubah menjadi lembut.

“Aku menunggunya. Aku tahu dia harus jadi pemeran utama di The Last Duchess. Dan aku benar. Tapi waktu aku akhirnya mendapatkannya, aku juga jatuh ke dalam hal yang lebih rumit dari sekadar film.” Ia berhenti sejenak, seperti menimbang apakah harus melanjutkan. “Suatu malam ia datang ke ruang editing. Aku yang memang selalu kekurangan tidur saat mengerjakan suatu proyek, tentu saja ada disana.” katanya perlahan. “Hanya kami berdua, dan kami…jatuh cinta. Tapi aku tahu… kalau dunia tahu, mereka akan menghancurkan kami. Orang akan berpikir dia tidur denganku demi peran itu, ditambah kami seharusnya mengembalikan nama baik Elara setelah film terakhirnya, jadi aku diam. Kami berdua diam. Selama satu tahun penuh, kami pura-pura hanya rekan kerja.”

Ia menatap Elara, yang kini menggenggam tangannya. “Itu masa-masa yang paling sulit… tapi juga paling indah. Dan aku melindunginya dengan segala yang kupunya.”

Aku sudah mengenal keluarga Hunt selama delapan tahun, tapi baru kali ini aku mendengar cerita itu langsung dari mulut mereka. Dan untuk sesaat, aku merasa seperti sedang menatap masa depanku sendiri, hanya versi yang jauh lebih bijak, dan mungkin… lebih berani.

Thomas menatapku sekarang, sorot matanya tajam menembus tenang. “Tyler,” katanya, “aku tahu apa yang sedang terjadi antara kamu dan Sinclair.”

Aku menegakkan tubuh, tapi tidak bicara.

“Aku melihat caramu memandangnya,” lanjutnya. “Itu bukan pandangan seorang mentor. Dan aku… tidak bisa menyalahkanmu.”

Ia menghela napas berat. “Dia mengingatkanku pada Elara—berani, keras kepala, dan hidup dengan seluruh jiwanya. Tapi bedanya, kamu dan dia belum punya perlindungan apa-apa. Belum punya reputasi yang bisa menjaga kalian.”

Ia menatapku lebih dalam. “Kau harus hati-hati, Tyler. Dunia ini kejam pada perempuan muda berbakat yang terlalu dekat dengan mentornya.” Suaranya pelan, tapi tegas. “Aku dan Elara bisa bertahan karena kami sudah punya nama. Karena orang tahu siapa kami sebelum tahu cerita kami. Tapi kamu dan Vee belum sampai di sana.”

Ia bersandar, menatapku dengan mata yang kini tampak letih. “Apapun yang kamu rasakan padanya, tahan dulu. Jangan rusak semuanya sebelum waktunya. Aku mohon, Tyler. Aku terlalu sayang pada kalian berdua untuk melihat kalian hancur karena cinta di waktu yang salah.”

Aku terdiam. Rasanya seperti baru saja disindir oleh masa depanku sendiri. Di layar, adegan The Last Duchess berganti: sang duchess menatap dari jendela istana, wajahnya tenang tapi matanya penuh rahasia. Aku merasa seperti menatap Vee di sana.

Thomas tersenyum kecil. “Lihat? Kau paham maksudku.”

Aku mengangguk pelan, menunduk. Aku tidak ingin membantah, walau seluruh hatiku memberontak.

\~\~\~

1
Randa kencana
ceritanya sangat menarik
Abdul Rahman
Ceritanya asik banget thor, jangan lupa update terus ya!
Erinda Pramesti: makasih kak
total 1 replies
laesposadehoseok💅
Aku bisa merasakan perasaan tokoh utama, sangat hidup dan berkesan sekali!👏
Erinda Pramesti: terima kasih kak ❤️
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!