Agam menyusup ke dalam organisasi rahasia bernama Oscuro. Sebuah organisasi yang banyak menyimpan rahasia negara-negara dan juga memiliki bisnis perdagangan senjata.
Pria itu harus berpacu dengan waktu untuk menemukan senjata pemusnah masal yang membahayakan dunia. Apalagi salah satu target penyerangan adalah negaranya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penyanderaan
Sudah lima hari lamanya Agam berada di Wadi Halfa. Pria itu sedang menjalankan tugas barunya di sana. Wadi Halfa hanyalah jalan masuk baginya menuju tempat tugasnya yang baru. Tujuan sebenarnya Agam adalah Bir Tawil.
Agam ditugaskan menyusup ke dalam organisasi internasional Oscuro. Oscuro adalah sebuah organisasi yang memiliki dan mengelola rahasia banyak negara di dunia. Selain itu, Oscuro juga memiliki tentara bayaran yang terlatih. Pendapatan yang mereka hasilkan diperoleh dari menjual rahasia negara dan juga tentara bayaran. Agam ditugaskan menyusup ke sana sebagai mata-mata. Memastikan tidak ada rahasia negara yang bocor. Kalau pun ada, maka dirinya harus memusnahkan rahasia tersebut.
Lokasi markas Oscuro diketahui berada di Bir Tawil. Untuk sampai ke sana, Agam memilih Sudan sebagai pintu masuk. Dari sana dia akan memasuki Bir Tawil yang dekat dengan Segitiga Hala’ib. Wilayah itu adalah daerah sengketa antara pemerintah Mesir dan Sudan. Karena wilayah ini juga yang membuat Bir Tawil menjadi tanah tak bertuan.
Menurut penggambaran ulang peta di sepanjang garis administratif yang dibuat Inggris tahun 1902, Segitiga Hala’ib dan Bir Tawil adalah perbatasan kedua negara. Tapi hanya satu wilayah yang bisa diakui sebagai bagian wilayahnya. Jika Mesir atau Sudan mengakui Bir Tawil sebagai bagian dari negaranya, maka Segitiga Hala’ib yang ada di dekatnya tidak bisa diakui.
Dibanding Segitiga Hala’ib, baik dari luasnya daratan sampai sumber daya alam yang dimiliki, tentu saja Bir Tawil tidak sebanding. Bir Tawil lebih banyak didominasi daratan gurun pasir yang kering dan tandus. Berbeda dengan Segitiga Hala’ib yang memiliki berbagai spesies unik, memiliki hasil bumi berupa mangan dan memiliki akses ke Laut Merah yang merupakan salah satu jalur pelayaran tersibuk di dunia. Akses inilah yang tidak dimiliki Bir Tawil, hingga tidak ada yang mau meng-klaim wilayah tersebut.
Wadi Halfa terletak di Sudan bagian utara, tepatnya di tepi sungai Nil. Secara geografis, Wadi Halfa lebih dekat dengan Mesir. Kota ini memiliki musim yang panas dan kering sepanjang tahun. Pria itu menyewa sebuah kamar di Guesthouse yang ada di kota itu. Selain menyewa kamar, dia juga menyewa mobil untuk mempermudah mobilitasnya.
Hari ini Agam tengah menikmati kopi dingin di tengah teriknya cuaca di Wadi Halfa. Pria itu duduk di bagian luar kedai, memandangi beberapa bangunan yang berdiri di atas tanah yang tandus dan kering. Di depan kedai, nampak beberapa anak tengah bermain bola dengan riang. Sesekali terdengar teriakan mereka saat berhasil menembakkan bola ke gawang buatan sendiri.
Seorang pria berkulit hitam datang mendekati kedai, di atas kepalanya terdapat taqiyah atau topi yang biasa digunakan oleh pria Sudan. Dia masuk ke dalam kedai dan tak lama kemudian keluar sambil membawa minuman di tangannya.
“Apa kamu seorang turis?” tanya pria itu pada Agam menggunakan bahasa Inggris.
“Yes.”
“Dari mana?”
“Indonesia.”
“Indonesia? Apa kamu akan tinggal lama di sini?”
Agam dibuat terkejut ketika pria yang menyapanya langsung mengubah kalimatnya menggunakan bahasa Indonesia. Pengucapan pria itu bahkan begitu jelas dan fasih. Agam mempersilakan pria itu duduk di dekatnya.
“Kamu bisa bahasa Indonesia?”
“Ya.”
“Di mana kamu belajar?”
“Aku belajar dari tentara perdamaian Indonesia di Darfur.”
Kepala Agam mengangguk. Dalam hatinya ada perasaan bangga, bahasa negaranya sekarang sudah diketahui dan dikuasai di banyak negara.
“Aku Abdo.”
“Mario.”
Keduanya saling berjabat tangan. Dengan cepat kedua pria itu langsung terlibat percakapan seru. Abdo menceritakan pengalamannya ketika belajar bahasa Indonesia dari tentara Indonesia. Menurutnya, di antara tentara perdamaian yang diutus ke Darfur, tentara Indonesia yang paling ramah dan bersikap terbuka pada warga lokal. Mereka juga dengan senang hati mengajari orang-orang belajar bahasa Indonesia, mulai dari anak-anak sampai orang dewasa.
“Apa kamu tahu, berapa lama dari sini ke Segitiga Halayeb?”
“Kamu mau ke Segitiga Halayeb?”
“Ya. Selain ke sana, aku juga mau ke Bir Tawil.”
“Untuk apa kamu ke sana? Tidak ada yang menarik di Segitiga Halayeb, apalagi di Bir Tawil.”
“Aku hanya penasaran saja. Bagaimana cara bisa ke sana?”
“Perjalanan hanya bisa ditempuh dengan mobil. Lumayan lama, bisa sampai 24 jam. Tapi untuk bisa ke sana, yang paling penting harus ada surat ijin dari pemerintah Sudan. Dan untuk mendapatkan surat ijin cukup sulit.”
“Apa kamu bisa membantu ku?”
“Bisa. Tapi kamu harus siap uang juga.”
“Uang bukan masalah.”
“Kalau begitu besok aku akan bantu mengurus perijinannya.”
Agam mengangkat ibu jarinya. Pria itu senang ada yang bisa membantunya ke Segitiga Halayeb. Sudah beberapa hari ini dia mencoba mendapatkan akses tapi gagal. Dan ketika bertemu orang yang mau membantunya, tentu saja Agam tidak menyia-nyiakan hal tersebut.
Keduanya masih lanjut mengobrol santai. Namun perbincangan mereka terputus ketika suara teriakan anak-anak yang sedang bermain bola, berubah menjadi teriakan ketakutan. Belum sempat mereka menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba tiga orang menghampiri mereka seraya menodongkan senjata.
“Jangan bergerak!”
Kompak Agam dan Abdo mengangkat tangan. Keduanya diseret dari kursi yang diduduki. Dipaksa berlutut di lantai dengan kedua tangan berada di belakang kepala. Sementara pria yang satu masuk ke kedai. Dia menodongkan senjata ke kasir, meminta pegawai tersebut mengeluarkan semua uang dari mesin kasir.
Sambil terus berlutut, Agam melihat situasi di sekelilingnya. Orang yang datang mengacau dan merampok kedai terdiri dari lima orang. Dua orang menjaga anak-anak, dua orang menjaga dirinya dan Abdo, sementara yang tersisa mengambil uang di kedai.
“Hei!”
Panggil Agam pada pria yang sedang menodongnya. Pria itu semakin mendekatkan pistol ke kepala Agam. Dengan cepat Agam menarik pistol tersebut, tangan pria itu dipukul dengan cukup kencang hingga berteriak kesakitan. Dalam waktu singkat pistol sudah berpindah tangan pada Agam. Pria itu menembak punggung kaki itu.
Belum sempat rekan pria itu menyadari apa yang terjadi, tangannya sudah ditembak Agam hingga pistolnya terlepas. Pria yang merampok kedai baru saja keluar, tapi dia juga langsung terkena tembakan Agam. Pahanya yang dijadikan sasaran. Lalu Agam membidik seorang lagi yang hendak menembaknya. Lagi-lagi tangannya yang terluka.
Empat orang pria yang datang untuk melakukan perampokan sudah dibuat terkapar oleh Agam. Hanya tersisa satu orang lagi. Dengan cepat dia menarik salah satu anak untuk dijadikan sandera.
“Letakkan senjata mu!” teriaknya seraya menodongkan senjata ke kepala sang anak.
Dilanda ketakutan yang begitu sangat, membuat anak itu menangis. Pelan-pelan Agam menaruh senjata ke tanah sambil terus melihat pada pria yang tengah menyandera.
“Lepaskan dia,” ujar Agam.
“Jangan macam-macam atau aku akan menembaknya!”
“Dia hanya anak-anak. Lepaskan dia, jadikan aku sebagai ganti sandera mu.”
Pemilik kedai yang melihat ketegangan di luar kedainya segera menghubungi polisi. Sementara Agam masih berusaha membebaskan anak yang disandera.
“Lepaskan dia, bawa aku sebagai gantinya. Aku yang sudah melukai teman-teman mu, bukan dia. Oke?”
“Cepat kemari!!”
Perlahan Agam bangun lalu berjalan mendekati penyandera tersebut. ketika jarak mereka sudah dekat, dengan cepat pria itu menarik Agam lalu mendorong tubuh sang anak. Abdo segera berlari, menangkap anak itu agar tidak terjatuh.
“Ayo pergi!!” ujar pria itu pada empat rekannya.
Sambil menahan sakit di bagian tubuhnya yang tertembak, keempat pria itu berjalan mendekati temannya. Mereka mengambil kembali senjata yang dibawa. Salah satunya segera menuju mobil yang ada di sana. Sementara penyandera Agam menarik pria itu mendekati mobil.
Perhatiannya teralihkan ketika mendengar suara sirine polisi. Hal tersebut dimanfaatkan Agam untuk bertindak. Dia menggerakkan kepalanya dengan lentur, menjauh dari pistol yang berada di samping kepalanya. Kemudian dia menarik pistol di tangan penyanderanya.
Terkejut dengan apa yang dilakukan Agam, jarinya tanpa sengaja menekan pelatuk. Terdengar bunyi letusan senjata diiringi teriakan seseorang.
“AAAAAAA!!!”
***
Siapa yang ketembak?🫣
Hai.. Aku kembali dengan karya baru. Lagi dan lagi aku buat novel genre action. Mudah²an kalian suka ya. Jangan lupa like, komen dan rate bintang limanya ya🤗
tepat apa yg di katakan dr Liam..... emangnya ajang pencarian bakat .....disini gk ada senior atw junior.....yg penting sigap , siaga dlm nanganin korban dgn cekatan.....menolong nyawanya biar selamat itu aja .....percuma kalo tingkatannya udah tinggi tp hanya di panjang untuk di banggakan buat apa ...gkda guna /Proud/