Seorang gadis remaja yang kini duduk di bangku menengah atas. Ia bernama Rona Rosalie putri bungsu dari Aris Ronaldy seorang presdir di sebuah perusahaan ternama. Rona memiliki seorang kakak lelaki yang kini sedang mengenyam pendidikan S1 nya di Singapore. Dia adalah anak piatu, ibunya bernama Rosalie telah meninggal saat melahirkan dirinya.
Rona terkenal karena kecantikan dan kepintarannya, namun ia juga gadis yang nakal. Karena kenakalan nya, sang ayah sering mendapatkan surat peringatan dari sekolah sang putri. Kenakalan Rona, dikarenakan ia sering merasa kesepian dan kurang figur seorang ibu, hanya ada neneknya yang selalu menemaninya.
Rona hanya memiliki tiga orang teman, dan satu sahabat lelaki somplak bernama Samudra, dan biasa di panggil Sam. Mereka berdua sering bertengkar, namun mudah untuk akur kembali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosseroo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Raymond~Alina
Pagi itu begitu sejuk. Embun masih menempel di ujung dedaunan, jatuh perlahan seiring semilir angin yang berhembus lembut. Dari teras rumah besar Pak Aris, terdengar suara burung bersahutan, menambah syahdu suasana.
Raymond duduk santai, bersenandung kecil dengan gitar akustik di pangkuannya. Di sampingnya, Alina—istri tercinta yang baru saja resmi ia nikahi beberapa bulan lalu—menuangkan teh hangat ke dalam cangkir. Aroma teh melati memenuhi udara pagi, bercampur dengan bau tanah basah.
“Minum dulu, yank,” ucap Alina sambil menyerahkan cangkir itu. Senyum lembutnya membuat Raymond tak bisa melepaskan pandangan.
Raymond menerima, menyesap perlahan, lalu tersenyum puas. “Teh buatanmu selalu beda rasanya, yank. Entah kenapa, lebih manis, lebih hangat.”
Alina terkekeh pelan. “Kamu ini pandai sekali merayu. Padahal teh biasa saja.”
Raymond meletakkan cangkir, menatap istrinya dengan penuh rasa. “Bukan tehnya yang istimewa. Tapi orang yang menuangkannya.”
Alina tersipu, lalu duduk bersandar di bahu suaminya. “Masih sama seperti dulu… selalu saja bisa membuatku malu.”
Raymond menatap ke langit biru yang mulai cerah. “Kau ingat, waktu SMA? Aku sering mengejarmu di lorong sekolah. Semua orang bilang, gadis sampul sekolah itu terlalu tinggi buat Raymond.”
Alina tertawa kecil. “Dan aku selalu menghindar. Padahal, diam-diam aku senang kau memperhatikanku.”
Raymond menghela napas, suara gitar di tangannya berhenti. Ada nada getir dalam senyumannya. “Tapi hubungan kita tak pernah benar-benar bisa dimulai. Karena nenekmu…”
Alina menunduk. Sorot matanya melembut. “Nenekku pernah dihina oleh keluarga bangsawan, yank. Baginya, semua keluarga kaya sama saja—sombong, suka merendahkan orang. Jadi waktu aku dekat denganmu, nenek takut aku akan disakiti.”
Raymond menggenggam tangan Alina erat. “Aku mengerti sekarang. Dan aku berterima kasih, karena kamu tidak benar-benar pergi. Kamu hanya berkata: ‘Kita bertemu lagi di masa depan, kalau aku sudah bisa membuktikan siapa diriku yang sebenarnya.’”
Alina tersenyum haru, matanya berkaca-kaca. “Dan kamu benar-benar membuktikannya, yank. Kamu tidak bergantung pada harta orangtuamu. Kau membangun semuanya sendiri. Itulah alasanku yakin menerima pinanganmu.”
Sebelum melanjutkan bisnis sang ayah, Raymond pernah kerja paruh waktu selama di Singapura, ia juga melakukan kerja sama dengan para pebisnis muda disana. Hingga akhirnya Raymond mendapatkan penghargaan pemuda berprestasi di bidang bisnis. Karena itulah, setelah Raymond wisuda, sang ayah memboyongnya ke perusahaan sebagai CEO.
Raymond menyentuh kening Alina dengan lembut. “Janji kita di masa SMA akhirnya terbayar, yank. Aku bersyukur Tuhan menjagamu sampai saat ini untukku.”
Alina tersenyum, lalu menyandarkan kepala di dada suaminya. “Dan aku bersyukur, doa masa remajaku terkabul. Ternyata benar, cinta yang sabar menunggu… akan menemukan jalannya sendiri.”
Suara tawa keduanya bercampur dengan kicau burung, menyatu dengan kesejukan pagi itu. Mereka tidak hanya berbicara tentang masa lalu, tetapi juga tentang masa depan—tentang rumah tangga kecil yang kini mulai mereka bangun bersama.
~Flash back on - Raymond
Pagi itu, langkah Raymond terasa lebih ringan dari biasanya. Suasana bandara masih sibuk dengan hilir-mudik penumpang, namun baginya semua itu seolah memudar. Empat tahun lamanya ia hidup di negeri orang — menempuh pendidikan S1 di Singapura — dan kini, langkahnya membawanya pulang. Pulang ke tanah kelahiran, pulang ke kehidupan lamanya… ia lulus sidang kala itu, dan berencana membawa ayah dan Rona untuk wisuda nya nanti.
Di dalam taksi yang membawanya dari bandara, Raymond memandang keluar jendela. Setiap sudut kota yang dulu terasa biasa kini terlihat begitu berarti. Pohon-pohon yang tumbuh di pinggir jalan, aroma tanah setelah hujan semalam, bahkan langit biru yang membentang — semua terasa seperti sambutan hangat.
Namun ada satu hal yang membuat dadanya berdebar lebih cepat dari apa pun: ia akan bertemu Alina lagi.
Senyum kecil terbit tanpa sadar di sudut bibirnya. Nama itu, wajah itu, suara lembut yang pernah mengisi hari-harinya di masa SMA… semua kembali berputar di kepalanya seperti film yang diputar ulang. Empat tahun ia mencoba fokus pada kuliah, karier, masa depan — namun setiap kali ia duduk sendiri di balkon asrama atau berjalan sendirian menyusuri jalanan malam Singapura, sosok Alina selalu hadir.
“Apakah dia masih mengingatku?” pertanyaan itu berputar terus di benaknya.
“Apakah dia masih menepati janjinya… untuk bertemu lagi saat kita sudah dewasa?”
Mobil berhenti di sebuah taman kecil — tempat yang sama di mana mereka dulu sering bertemu sepulang sekolah. Langkah Raymond melangkah perlahan ke arah bangku kayu di bawah pohon flamboyan yang kini sudah jauh lebih rimbun.
Dan di sanalah ia melihatnya.
Alina berdiri membelakanginya, mengenakan gaun berwarna lembut. Rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir kali Raymond melihatnya. Saat perempuan itu menoleh karena mendengar langkah kaki mendekat, waktu seakan berhenti.
“Ray…” suaranya bergetar pelan.
Raymond tidak langsung menjawab. Ia hanya berdiri terpaku, memandang wajah yang selama ini hanya bisa ia bayangkan dari jarak jauh. Senyuman itu masih sama. Tatapan matanya masih hangat. Dan detak jantung Raymond — ya Tuhan — masih berdetak secepat dulu.
“Alina…” suaranya serak oleh rindu yang ditahan terlalu lama. “Kamu… di sini.”
Alina melangkah maju, satu langkah demi satu langkah, hingga jarak di antara mereka menghilang, " Ternyata, takdir membawa kita bertemu lagi di masa dewasa ya.”
Raymond tertawa kecil, matanya mulai berkaca. “Dan sekarang aku sudah pulang. Aku kembali… bukan sebagai anak manja yang bergantung pada harta keluarga. Tapi sebagai pria yang ingin menepati janji masa remajanya.”
Senyum Alina merekah. “Selamat datang pulang, Raymond.”
Tanpa berpikir panjang, Raymond merengkuhnya dalam pelukan. Aroma tubuh Alina, hangatnya dekapan itu — semuanya terasa nyata. Dan di detik itu, Raymond tahu: perasaan itu tidak pernah pergi.
Ia pulang bukan hanya ke rumah, tetapi juga ke cinta yang selalu menunggunya di sana. ❤️
Peka dikit
terimakasih sudah di promosikan