Mandala Buana seperti berada di dunia baru, setelah kehidupan lamanya dikubur dalam-dalam. Dia dipertemukan dengan gadis cantik bernama Gita, yang berusia jauh lebih muda dan terlihat sangat lugu.
Seiring berjalannya waktu, Mandala dan Gita akhirnya mengetahui kisah kelam masa lalu masing-masing.
Apakah itu akan berpengaruh pada kedekatan mereka? Terlebih karena Gita dihadapkan pada pilihan lain, yaitu pria tampan dan mapan bernama Wira Zaki Ismawan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komalasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEMBILAN : RIBUAN ANAK PANAH
“Seharusnya kamu tidak kemari.” Mandala menanggapi pertanyaan bukan dengan jawaban tepat.
“Aku bertanya, ‘kenapa Mas Maman pergi tanpa pamit?’. Kita pergi bersama, pulang juga seharusnya bersama.”
“Tidak ada aturan baku seperti itu,” bantah Mandala cukup datar. “Lagi pula, kenapa kamu ….” Dia mengembuskan napas berat, ragu untuk mengatakan apa yang ada dalam pikirannya.
“Kenapa, Mas?” tanya Gita penasaran, berhubung Mandala tidak melanjutkan kalimatnya.
Namun, Mandala tidak segera menjawab. Dia hanya menatap Gita, sebelum mengalihkan pandangan ke arah lain. “Aku belum makan. Sebaiknya, kamu kembali ke warung. Di sana pasti sedang sibuk sekarang,” pungkas Mandala. Terlihat jelas bahwa dirinya berusaha menjaga jarak dari gadis itu.
Bukannya pergi, Gita justru mematung sambil terus menatap Mandala. Raut wajahnya menyiratkan rasa kecewa yang tidak diungkapkan. “Apakah ada kaitannya dengan Pak Rais?”
“Sudahlah, Git. Awalnya, kita tidak saling mengenal dekat. Jadi, jangan berlebihan.”
“Tapi ….” Gita kembali ragu melanjutkan kalimatnya.
“Selamat malam.” Tanpa menunggu kalimat lanjutan dari Gita,Mandala langsung berlalu meninggalkan gadis itu di dekat pintu masuk area proyek. Bukannya tidak peduli, tapi itu merupakan langkah terbaik.
Bagaimanapun juga, Mandala lebih membutuhkan pekerjaan untuk bertahan hidup. Dia tak peduli lagi dengan yang namanya cinta dan perasaan, berhubung dua hal itulah yang justru membuatnya terhempas ke jurang kenistaan. Mandala kehilangan segalanya. Harga diri, kebanggan, serta sisi kemanusiaan yang selalu dijunjung tinggi.
Sepeninggal Mandala, Gita merasa ada sesuatu yang membuatnya teramat kecewa. Gadis berambut panjang itu tertunduk lesu, seraya menyentuh sudut mata. Dia berbalik hendak kembali ke warung nasi.
“Hm. Gita … Gita ….”
Suara Herman membuat Gita langsung mendongak. Namun, dia tak berniat menanggapi. Gita memilih turun ke badan jalan, demi menghindari interaksi dengan pria itu.
“Kenapa kamu mengejar-ngejar Mandala?” Pertanyaan Herman membuat Gita tertegun, tapi tidak menoleh, apalagi sampai menanggapi. Gita bahkan sudah hendak melanjutkan langkah. Akan tetapi, ucapan Herman membuatnya kembali tertegun.
“Aku bisa memberikan sesuatu yang lebih dibandingkan Mandala. Lihatlah. Tubuhku tinggi besar. Kamu pasti puas dan ketagihan,” seringai Herman, diiringi tatapan mesum terhadap Gita yang berdiri membelakanginya.
Herman berpindah ke hadapan Gita. Dia terlihat sangat angkuh dan penuh percaya diri. “Jangan takut pada Rais. Si tua itu tidak sebanding denganku,” seringainya lagi, seraya meraih tangan Gita dengan begitu cepat.
Sungguh tak tahu malu. Padahal, mereka tengah berada di pinggir jalan raya. Namun, Herman masih berani berbuat tak senonoh, dengan cara menempelkan tangan Gita ke kema•luannya.
Sontak, Gita memekik cukup nyaring, seraya mundur sehingga ada jarak antara dirinya dengan Herman. Bersamaan dengan itu, sebongkah batu bata melayang dan mendarat tepat di kening pria tersebut.
“Dasar cabul!”
Satu pukulan keras menambah rasa sakit di kepala Herman. Dia yang sudah sempoyongan, akhirnya ambruk di trotoar. Adegan itu jadi tontonan orang lewat serta yang ada di dalam kendaraan. Namun, tak ada seorang pun yang berani mendekat, apalagi melerai.
“Mas Maman!”
Gita langsung menarik tangan Mandala, yang hendak kembali menerjang Herman. Pria itu seakan tak puas, meski lawannya sudah terkapar tak berdaya.
“Jangan , Mas.” Gita memberanikan diri merangkul Mandala dari belakang, menahan agar si pemilik rambut gondrong tersebut tidak melanjutkan aksi brutalnya.
“Aku harus memberinya pelajaran sekali lagi!” tegas Mandala.
“Jangan, Mas. Kumohon. Jangan.” Gita terus mendekap Mandala dari belakang, sampai beberapa pekerja proyek berdatangan.
Rekan-rekan Herman bergegas membantu sang wakil mandor bangkit. Tanpa banyak bicara, mereka memapah masuk ke area proyek. Rekan-rekan Herman tak ingin lagi berurusan dengan Mandala sehingga memilih jalur aman.
“Man ….” Arun yang juga ada di sana, menatap Mandala dengan sorot penuh penyesalan. Dia mengembuskan napas pelan bernada keluhan, sebelum menepuk lengan teman sekamarnya sambil berlalu.
“Lepaskan aku, Gita,” ucap Mandala pelan, setelah amarahnya mulai reda.
Perlahan, Gita melepaskan rangkulan. Dia terpaku menatap nanar Mandala, yang masih dalam posisi membelakangi.
“Inikah yang kamu sukai, Gita?” tanya Mandala pelan, tetapi terdengar sangat aneh.
“Maksud Mas?” Gita menatap tak mengerti.
“Dilecehkan banyak pria.”
“Apa maksud Mas Maman?” protes Gita, seraya berpindah ke hadapan Mandala. “Wanita mana yang senang diperlakukan dengan cara seperti itu?”
“Kamu.”
Plak!
Tamparan keras mendarat di pipi sebelah kiri Mandala.
“Kenapa menolongku, bila akhirnya keluar kata-kata hinaan seperti itu, Mas?” protes Gita tak terima.
“Semua sudah tahu wanita macam apa dirimu!” ucap Mandala pelan, tetapi penuh penekanan.
“Siapa? Apa yang mereka ketahui tentang diriku, Mas?” Gita tak percaya dengan apa yang didengarnya. Tanpa terasa air mata berlinang membasahi pipi dan sudut bibir.
“Jangan berpura-pura, Gita! Jika tidak ada yang berani berkata jujur, maka aku yang akan memberitahumu sekarang!” Nada bicara Mandala tetap pelan, tetapi penuh penekanan. Meskipun ingin marah dan berteriak, tetapi dia tidak melakukannya.
“Tuhan menciptakan wanita dengan rasa malu yang lebih besar dibandingkan pria! Kemuliaan dan harga diri! Namun, kenapa mereka justru menghinakan diri sendiri dengan cara yang teramat menjijikan?”
“Memangnya apa yang kulakukan sehingga Mas Maman berani bicara seperti itu?”
“Semua pria yang bekerja di sini sudah mengetahui siapa dirimu, Gita! Hubunganmu dengan Pak Rais, pria yang sudah berumah tangga. Pantas saja Herman berani melecehkanmu karena kamu pantas menerima itu! Maaf jika kata-kataku terlalu kasar. Tapi, ini adalah teguran yang seharusnya kamu renungkan baik-baik!”
Selesai berkata demikian, Mandala langsung berbalik. Dia hendak kembali ke area proyek.
“Kamu sudah salah paham, Mas! Aku tidak seburuk seperti yang kamu pikirkan!” sanggah Gita cukup nyaring, sambil berlinang air mata. “Aku tidak seburuk itu!” tegasnya.
Namun, Mandala tidak menggubris. Dia terus berjalan meninggalkan Gita dalam keresahan.
“Mas Maman tidak berhak menilaiku secara sepihak!” Gita tak juga menyerah. Harapannya hanya satu, yaitu Mandala berhenti dan menoleh padanya.
Namun, keinginan Gita hanya jadi angan semata. Nyatanya, Mandala bersikap tidak peduli. Pria itu masuk ke area proyek tanpa menoleh sama sekali.
Bagai terkena ribuan anak panah, dad Gita terasa begitu sakit. Dia ingin berteriak kencang, tetapi alam tak mengizinkannya. Alhasil, segala hal yang seharusnya terucap justru tertahan dan menumpuk di tenggorokan, membuat napas gadis cantik 23 tahun tersebut jadi sesak.
Entah ini merupakan ketidakadilan atau apa namanya. Satu yang pasti, Gita teramat kecewa atas segala yang terjadi. Masa lalu telah ditinggalkan jauh. Dia mengira masa depan akan lebih baik. Namun, kenyataannya sama saja.
“Sudah sering saya katakan, Gita. Tidak ada pria yang cocok untukmu,” ucap seseorang, yang tak lain adalah Rais.
woy kalian berdua tuh ada apa sebenernya
Gita kan Lom tahu sipat asli kalian berdua