Rara, gadis 20 tahun yang polos, kerja di PT. Nganjuk Sejahtera Group. Bosnya, Pak Samingan, super disiplin tapi eksentrik. Suatu hari, Rara terpaksa tinggal di rumah bos untuk mengurus anak tunggalnya - Arifbol - cowok tampan tapi bertingkah seperti anak kecil karena kondisi epilepsi yang dideritanya. Meski begitu, Arifbol ternyata punya sisi religius, perhatian, dan secara tak terduga... bikin Rara jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tri 2001, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cerita Malam dan Segelas Susu Hangat
Malam itu, aku pulang ke rumah dengan badan remuk redam tapi hati... entah kenapa aneh.
Bukan karena capek kerja, bukan juga karena kena semprot Pak Samingan. Tapi karena aku nggak bisa berhenti mikirin anaknya, si Arifbol.
Aku duduk di ruang tamu sambil buka sepatu. Ibuku, Bu Neneng, langsung nyamperin sambil bawa piring pisang goreng.
“Lho, Ra, kok baru pulang? Katanya jam empat sudah selesai?”
“Iya, Bu… tapi tadi disuruh nganter dokumen ke rumah bos. Lumayan jauh, di daerah perumahan Nganjuk kota.”
“Lho, rumahnya gede to?”
Aku ngakak kecil. “Gede banget, Bu. Sampai aku mikir, kalau disapu sehari bisa kurus.”
Bapak yang lagi nonton berita langsung nyeletuk tanpa nengok,
“Bosmu itu Pak Samingan, to? Lha itu orang sak Nganjuk sudah tahu, rumahnya kayak hotel. Tapi katanya aneh ya, Ra?”
Aku berhenti ngunyah. “Hehe… yaa, aneh sih, Pak. Tapi bukan yang jahat. Unik gitu.”
Ibu langsung kepo. “Terus, anak e piye? Katanya ganteng to?”
Aku melotot kecil. “Lho, Bu, dari mana tahu?”
“Lha wong tetanggamu Mbak Sum cerita, katanya anak e Pak Samingan itu ganteng tapi… ee… aneh?”
Aku ngelirik jam dinding. Baru jam delapan malam, tapi rasanya kepala ini masih muter mikirin kejadian sore tadi — waktu Arifbol nyanyi “Balonku Ada Lima”, waktu dia tiba-tiba ngaji dengan suara yang halus banget, waktu dia kambuh, dan waktu dia nyengir sambil bilang “Mbak Rara, besok datang lagi, ya.”
Aku senyum kecil tanpa sadar.
“Iya, Bu, anak e itu ganteng banget. Tapi… kelakuannya kayak anak kecil. Kadang ngomong ngawur, kadang bisa serius banget. Aneh, tapi... lucu juga.”
Ibu ikut ketawa. “Walah, jangan-jangan kamu nanti malah jatuh cinta sama anak bosmu, lho!”
Aku langsung batuk tersedak pisang goreng. “Halah, Bu! Ngawur ae!”
Bapak ikut nyaut, “Lho, siapa tahu jodoh. Kan namanya rezeki, jodoh, sama maut, ora ana sing ngerti.”
Aku cuma nyengir, “Aduh, Bapak iki, jangan ngelantur.” Tapi entah kenapa, pipiku malah panas.
Setelah makan malam, aku masuk kamar, buka laptop, niatnya mau nyatet hal-hal penting dari kerjaan hari pertama. Tapi yang muncul malah... wajah Arifbol.
Wajahnya waktu ngaji. Waktu senyum. Waktu bilang “Balonku meletus satu.”
Aduh, kok ya lucu banget sih!
Aku coba ngusir pikiranku dengan scroll TikTok, tapi algoritma seolah bersekongkol.
Video pertama: “Ciri-ciri kamu mulai suka sama orang tanpa sadar.”
Video kedua: “Kalau kamu kepikiran terus, artinya hatimu sudah mulai tertarik.”
Aku langsung matiin HP.
“Ah, setan! Nggak ada, nggak ada. Aku cuma kasihan aja!” kataku sambil nutup wajah pakai bantal.
Tapi semakin aku ngelawan, semakin bayangan Arifbol muncul di kepala.
Senyumnya yang polos. Suaranya yang lembut waktu ngaji.
Dan entah kenapa… hatiku ngerasa adem tiap inget itu.
Sekitar jam sembilan malam, HP-ku bunyi. Nomor tak dikenal.
“Hallo?”
“Assalamualaikum, Mbak Rara?”
Suara di seberang… lembut banget. Aku langsung kenal.
“Waalaikumsalam… Mas Arifbol?”
“Iya, ini aku. Boleh aku tanya sesuatu?”
“Eh, iya, boleh, Mas. Ada apa?”
“Balon yang warna merah itu, bagusnya ditiup sampai gede atau kecil aja ya?”
Aku refleks ngakak di tempat. “Mas, itu balon buat apa dulu?”
“Buat aku main besok. Soalnya kalau ditiup kebanyakan, bisa meletus, sedih aku nanti.”
Aku nahan ketawa sambil nutup mulut. “Ya ditiup sedang aja, Mas, jangan kebanyakan.”
“Baik, Mbak Rara. Terima kasih ya. Eh, satu lagi.”
“Iya?”
“Besok kamu datang pagi ya. Aku mau ajarin doa sebelum tidur, tapi kalau kamu telat… aku sedih.”
Hatiku langsung dug dug dug.
“Iya, Mas. Aku datang.”
“Janji?”
“Janji.”
“Dikira aku nggak bisa ngeluh kalau orang bohong, lho. Aku tahu kalau orang bohong. Allah kasih rasa di dada. Makanya kamu jangan bohong ya.”
Aku mendadak diem.
Di balik kekanak-kanakannya, ternyata Arifbol bisa ngomong hal yang nyentuh banget.
“Enggih, Mas. Aku janji, nggak bakal bohong.”
“Bagus. Sekarang tidur ya. Jangan lupa berdoa.”
Klik. Telepon ditutup.
Aku bengong beberapa detik, terus pelan-pelan senyum sendiri.
Entah kenapa, jantungku berdebar kayak habis lari muter alun-alun Nganjuk.
“Walah, Rara, kamu ini kenapa sih…” aku ngomel sendiri sambil selonjoran di kasur.
Tapi sebelum mataku merem, pikiran terakhir yang muncul di kepala cuma satu:
“Aneh sih, tapi kok ya… nyenengin, to?”
Pagi-pagi banget, ayam tetangga aja belum sempat berkokok, aku udah berdiri di depan rumah besar keluarga Samingan.
Jam di HP baru nunjukin pukul enam kurang sepuluh, tapi aku takut telat. Ingat pesan Arifbol semalam:
“Kalau kamu telat, aku sedih.”
Lha, aku nggak mau disedihin sama anak bos, to.
Satpam rumah langsung buka pagar sambil senyum. “Lho, Mbak Rara? Kok pagi banget?”
“Hehehe, iya, Pak. Disuruh datang pagi.”
“Oh iya, Mas Arifbol udah bangun dari jam setengah lima. Baca Qur’an habis subuhan, terus katanya nungguin sampe Mbaknya datang.”
Aku langsung deg-degan, antara kagum sama gugup. Lho, kok yo niat banget nunggu aku?
Begitu masuk rumah, terdengar suara dari ruang tengah, lembut banget, baca surat Al-Waqi’ah.
Dan di situ, duduk bersila di atas karpet hijau, Arifbol — pakai baju koko putih, sarung biru, rambutnya agak acak, tapi wajahnya bersinar kayak habis wudhu.
Aku berdiri di ujung pintu, nggak enak ganggu. Tapi dia langsung nengok dan senyum.
“Mbak Rara… kamu datang!”
Aku senyum kikuk. “Iya, Mas. Tadi takut telat, jadi berangkat lebih pagi.”
“Bagus. Allah suka orang yang disiplin.”
Suaranya lembut banget, tapi entah kenapa, bikin hatiku berdebar.
Dia lalu nunjuk ke karpet sebelahnya. “Sini duduk, aku mau ajarin doa sebelum tidur. Tapi kita latihan dulu dari sekarang.”
Aku duduk, dan dia mulai ngajarin doa pelan-pelan. Tangannya dilipat, matanya fokus, logatnya lembut banget:
“Bismika Allahumma ahya wa bismika amut…”
Aku ikut ngucap. Tapi jujur aja, aku lebih fokus ke cara dia ngomong. Tenang, tulus, kayak anak kecil yang penuh keyakinan.
Selesai doa, dia senyum puas. “Bagus, Mbak Rara! Sekarang kamu sudah bisa tidur dengan tenang.”
Aku nyengir. “Lha, tapi ini masih pagi, Mas.”
“Gak apa-apa. Kalau hatimu tenang, tidur pun ibadah.”
Aku ketawa ngakak. “Mas, Mas, nanti Bapakmu marah loh, aku malah disuruh tidur pagi.”
Dia ikut ketawa, polos banget.
Setelah itu, aku bantuin Mbok Jum, asisten rumah tangga di sana, nyiapin sarapan. Di meja makan udah tersedia nasi goreng, telur dadar, sama segelas susu putih.
“Ini susu buat siapa, Mbok?” tanyaku.
“Buat Mas Arifbol, Mbak. Dia itu tiap pagi harus minum susu anget. Tapi jangan terlalu panas, nanti dia bilang lidahnya ‘kepanasan dosa’ katanya.”
Aku ngakak denger ceritanya. “Masya Allah, unik tenan.”
Aku bawain susu itu ke ruang tengah. Tapi pas sampai, Arifbol lagi jongkok di depan aquarium, ngelihat ikan guppy warna-warni.
“Mas, ini susunya. Awas, masih agak panas.”
Dia nengok sambil senyum. “Makasih, Mbak Rara. Kamu baik, ya.”
“Ah, biasa aja, Mas.”
“Tapi bener, aku suka orang yang sabar dan lembut.”
Aku langsung grogi.
“Eh, hehe, iya, Mas. Ini diminum dulu, ya.”
Dia ambil gelasnya, tapi belum sempat minum, dia malah ngelihat ke permukaan susu sambil serius banget.
“Mas, kenapa liatin susunya?” tanyaku penasaran.
Dia nyengir. “Aku lagi mikir… kenapa ya, susu putih, tapi kalau jatuh di lantai warnanya tetap putih? Harusnya berubah, to?”
Aku terdiam.
“Mas, itu logika dari mana?”
“Dari aku.”
“Ya pantes.”
Aku ngakak sampai keluar air mata.
Tiba-tiba, Pak Samingan muncul dari tangga, rapi dengan jas abu-abu khasnya.
“Lho, sudah datang, Rara?”
“Iya, Pak.”
“Bagus. Hari ini kamu bantu aku input data di kantor. Arifbol, jangan ganggu Mbak Rara, ya.”
“Iya, Pak. Aku nggak ganggu kok, aku cuma ngajarin doa.”
Pak Samingan senyum dikit. “Doa boleh, tapi jangan ngajak tidur pagi lagi.”
Arifbol langsung manyun. “Bapak denger, ya?”
“Rumah ini bukan kos-kosan, Nak. Semua kedengaran.”
Aku nahan ketawa di balik tangan.
Jam delapan pagi, kami siap berangkat. Tapi sebelum aku keluar rumah, Arifbol tiba-tiba lari-lari kecil manggil aku dari teras.
“Mbak Rara!”
Aku nengok. “Iya, Mas?”
Dia nyodorin sesuatu — balon merah kecil.
“Ini buat kamu.”
“Lho, buat apa, Mas?”
“Biar kamu inget aku. Tapi jangan ditiup kebanyakan, nanti meletus.”
Aku bengong, terus ketawa kecil sambil nerima balonnya.
“Terima kasih, Mas. Aku simpen, ya.”
Dia senyum lebar, polos banget. “Jangan lupa doa sebelum tidur, ya!”
“Iya, janji!”
Pas mobil kantor meluncur keluar dari gerbang, aku ngelihat Arifbol melambai-lambai dari teras sambil masih pakai sarung dan senyum lebar.
Entah kenapa, hatiku hangat banget.
Di sepanjang jalan, aku cuma megang balon merah kecil itu.
Dan dalam hati, aku mikir, ‘Ya Tuhan, kenapa anak bos yang aneh ini malah bikin aku pengen ketemu lagi?’