"Mas aku pinta cerai" ucap laras
Jantungku berdetak kencang
Laras melangkah melauiku pergi keluar kosanku dan diluar sudah ada mobil doni mantan pacarnya
"mas jaga melati, doni ga mau ada anak"
aku tertegun melihat kepergian laras
dia pergi tepat di hari ulang tahun pernikahan
pergi meninggalkan anaknya melati
melati adalah anak kandung laras dengan doni
doni saat laras hamil lari dari tanggung jawab
untuk menutupi aib aku menikahi laras
dan sekarang dia pergi meninggalkanku dan melati
melati bukan anakku, bukan darah dagingku
haruskah aku mengurus melati, sedangkan dua manusia itu menghaiantiku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 26
“Tak masalah, Sayang. Aku kan kekasihmu. Berapa pun uang yang kamu habiskan tak masalah bagiku,” ucap Doni dengan penuh kasih sayang, menyembunyikan niat tersembunyi di balik senyumnya.
“Terima kasih, ternyata pengorbananku tidak sia-sia. Aku setiap hari selalu menunggumu. Walau orang tuaku ragu padamu, aku tetap yakin,” ucap Laras sambil menggenggam tangan Doni.
“Maafkan aku. Aku terpaksa menikah dengan lelaki pecundang itu karena orang tuaku terus memaksa,” lirih Laras merasa bersalah.
“Tapi percayalah, Sayang, lelaki itu tidak pernah menyentuhku selama aku bersamanya,” lanjut Laras.
Bohong… kamu itu cantik, Laras. Mana mungkin lelaki pecundang itu tidak menidurimu. Kamu pikir aku percaya? jawab Riko dalam hati.
Namun, ia harus terlihat manis di depan Laras. “Aku percaya sama kamu, Sayang,” ucap Riko dengan lembut.
“Terima kasih, semoga cinta kita abadi sampai tua, Sayang,” balas Laras penuh ketulusan.
Hahaha… kamu pikir aku mau menua dengan perempuan bekas sepertimu? Aku hanya mengincar hartamu, bodoh, batin Riko sinis.
“Amin, Sayang,” sahut Riko datar, menyembunyikan pikirannya.
Beberapa menit kemudian, Laras duduk menunggu di lobi rumah sakit. Matanya menatap kosong, memikirkan ucapan Riko yang membuatnya bahagia tanpa tahu kebenarannya.
“Hei, Laras, lagi apa kamu?” sapa seorang wanita dengan nada riang.
Laras menoleh dan tersenyum.
“Hai, Tina, apa kabar?” ucap Laras gembira melihat sahabat lamanya itu.
“Baik. Lagi apa kamu di sini?” tanya Tina.
“Aku baru saja berobat,” jawab Laras. Ia tentu tak mungkin mengatakan bahwa ia baru saja menjalani operasi pengangkatan rahim, mengingat usianya baru dua puluh satu tahun dan rahimnya pun tidak bermasalah.
“Oh, sakit apa? Kebetulan aku kerja di sini, loh,” ucap Tina.
“Ah, sakit biasa,” jawab Laras singkat.
Tak lama kemudian, sebuah mobil yang dikendarai Doni berhenti tepat di depan Laras.
“Laras,” panggil Tina.
Laras menoleh.
“Kamu masih berhubungan dengan Doni?” ucap Tina ketus.
Raut wajah Doni tampak masam mendengar perkataan itu. Laras pun ikut menunjukkan ekspresi kesal.
“Memang kenapa, Tina? Kamu tidak berhak mencampuri urusanku,” balas Laras dengan nada tajam.
“Laras, aku hanya ingin mengingatkan. Lelaki itu penipu. Sudah banyak wanita yang dia rugikan. Aku, sebagai sahabatmu, hanya ingin kamu sadar,” ujar Tina tegas.
“Plak!”
Tanpa ragu, Laras menampar Tina. Mata Laras berkilat marah, sementara Tina hanya terdiam, menahan sakit di pipi dan di hatinya karena sahabat yang ia lindungi justru berbalik menyerangnya.
“Kenapa kamu menamparku?” tanya Tina. Tamparannya memang tidak keras, tapi cukup melukai hatinya.
“Sudah kubilang, jangan ikut campur urusanku. Riko adalah kekasihku, dulu, sekarang, dan selamanya,” ucap Laras dengan tatapan tajam.
Tina hanya menghela napas panjang, menahan perih di hati.
“Terserah kamu percaya atau tidak. Yang jelas, Doni bukan lelaki baik. Banyak teman kita sudah tertipu olehnya. Dia itu penjahat wanita, Laras,” ucap Tina, tetap mengingatkan meski baru saja ditampar.
“Sayang, ayo kita pergi. Dia itu pernah menyatakan cinta padaku, tapi kutolak. Makanya dia bersikap seperti itu,” ujar Doni dengan senyum sinis, masih duduk santai di dalam mobil.
“Doni, ingat! Riska tidak akan tenang. Dia akan terus menghantui kamu. Ingat itu!” ucap Tina, menatap tajam ke arah Doni.
Laras hendak menampar Tina lagi, tetapi tangannya ditahan.
“Cukup, Laras!” bentak Tina. “Aku sudah mengingatkan kamu. Jangan minta pertolonganku kalau nanti kamu bermasalah dengannya,” lanjutnya sambil melepaskan tangan Laras dengan kasar.
Tina lalu masuk ke lobi rumah sakit dengan langkah cepat. Rasa kecewa memenuhi hatinya. Sebagai teman, ia sudah berusaha mengingatkan. Tapi jika orang yang diperingatkan tetap keras kepala, untuk apa ia peduli lebih jauh?
Laras masuk ke mobil Doni.
Wajah Doni tampak masam.
“Sayang, kok cemberut sih?” tanya Laras.
“Aku nggak suka kamu berteman dengan Tina,” ucap Doni dengan suara tajam.
Biasanya Doni berbicara lembut dan menenangkan, tetapi kali ini nada suaranya terasa penuh ancaman.
“Tidak, Sayang. Demi kamu, semuanya akan aku lakukan. Demi kamu, apa pun akan aku tinggalkan,” balas Laras sambil menggenggam tangan Doni erat-erat.
“Maafkan aku, Sayang,” lirih Doni. Suaranya kini mulai melembut.
“Aku nggak mau lagi kita terpisah. Kita harus saling percaya,” ucap Doni sambil menepuk tangan Laras.
Laras terdiam, lalu mengangguk pelan sebelum akhirnya tertidur.
Pikiran Doni melayang pada kejadian beberapa tahun lalu, saat ia menghamili Riska. Ketika Riska meminta pertanggungjawaban, Doni justru sedang asyik bersama Laras, seolah masalah itu tak pernah ada.
Riska pernah menjebak Doni untuk melakukan pertemuan di luar kota.
Namun, Doni lebih cerdik. Ia tidak datang sendirian, melainkan membawa temannya. Saat itu, Riska dianiaya hingga tewas, lalu mayatnya dibuang ke danau.
“Ada hubungan apa Riska dengan Tina? Aku harus menyingkirkan Tina,” gumam Doni, matanya menyipit penuh perhitungan.
..
Sampailah mereka di rumah Ferdi.
Rumah itu tampak bersih, seperti ada yang menempatinya.
Apakah Ibu Rosidah sudah keluar? gumam Doni dalam hati.
“Sepertinya rumah kita ada yang menempati, Sayang,” ujar Doni, menghentikan kendaraan tepat di depan halaman.
“Iya… tapi siapa ya?” tanya Laras penasaran.
Doni hanya menggeleng.
Mereka pun turun dari mobil dan berjalan menuju rumah.
Sesampainya di depan, terlihat seorang anak kecil sedang bermain.
Ini kan Rumi, anak Paman Arsyad. Kenapa dia ada di sini? gumam Laras.
Tak lama kemudian, seorang wanita paruh baya muncul, membawa sepiring nasi, sepertinya hendak menyuapi anak itu.
“Tante Fitri, kenapa ada di sini?” tanya Laras.
Fitri tampak ketus. Ia langsung membawa anaknya masuk ke dalam dan menutup pintu dengan keras.
Bruk! Bruk! Laras menggedor pintu berkali-kali.
“Tante Fitri, keluar kamu!” teriaknya.
Pintu akhirnya terbuka. Fitri keluar dengan amarah yang sudah memuncak.
“Tante Fitri, kenapa ada di sini? Dan kenapa pintunya ditutup?” bentak Laras.
“Ini rumahku!” jawab Fitri dengan penuh penekanan. “Suka-suka aku dong mau aku apakan rumah ini. Mau aku bakar juga, nggak masalah!”
Apa…?” bentak Laras. “Ini rumahku, Tante! Aku anak satu-satunya, dan rumah ini milik aku!” ucapnya dengan nada kesal.
“Bapak kamu itu punya utang seratus juta pada paman kamu. Jadi wajar dong kalau dia membayar dengan rumah ini,” balas Fitri dengan nada sinis.
“Tidak bisa! Ini adalah rumahku! Sekarang Bibi keluar dari sini!” teriak Laras dengan marah, matanya memerah menahan emosi.
“Tidak bisa! Ini rumahku sekarang,” jawab Fitri tegas, menatap Laras tanpa gentar.
Suasana di halaman menjadi tegang.
Dari halaman depan, warga sudah berkumpul menyaksikan pertengkaran perebutan rumah.
“Mereka itu aneh. Waktu Pak Ferdi dimakamkan, nggak ada satu pun yang datang. Giliran urusan warisan, malah paling duluan,” bisik seorang warga.
“Bener, kok ada ya manusia seperti itu,” sahut yang lain.
Berbagai komentar terdengar di halaman rumah, namun tak seorang pun berusaha melerai pertikaian yang memanas di depan mata mereka.