Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6- Dalam Senyap
Hujan rintik-rintik mulai turun ketika Mauryn dan Revan sampai di pinggiran kota. Mereka berjalan cepat melewati jalan-jalan kecil, mencari tempat bersembunyi.
Lampu jalan hanya beberapa yang menyala, sisanya padam, membuat suasana semakin mencekam.
Revan akhirnya berhenti di depan sebuah rumah tua dua lantai, catnya pudar, jendelanya berdebu.
“Kita bisa beristirahat di sini,” katanya pendek.
“Ini rumah siapa?” Tanya Mauryn sambil mengerutkan kening.
“Seorang kenalan lama. Dia sudah lama pergi, rumah ini kosong. Aman… untuk sementara.”
Mauryn ingin bertanya lebih jauh, tapi melihat tatapan serius Revan, ia memilih diam. Ia hanya mengikuti masuk, meski hatinya dipenuhi kegelisahan.
Di dalam rumah, bau kayu lembap menyambut. Debu menempel di setiap permukaan, dan jendela dibiarkan tertutup rapat. Revan menyalakan lilin kecil dari sakunya, membuat cahaya temaram menerangi ruangan.
“Tidak ada listrik?” Mauryn bertanya pelan.
“Dimatikan sejak lama. Lebih baik begini, tidak menarik perhatian.”
Mauryn duduk di kursi kayu reyot. Tangannya masih gemetar.
“Jadi kita benar-benar buronan sekarang, ya?”
Revan menatapnya sebentar, lalu duduk di kursi seberang.
“Ya. Kamu sudah jadi bagian dari ini. Aku tidak bisa mengubahnya lagi.”
Mauryn menggenggam syalnya erat.
“Aku tahu. Hanya saja… rasanya belum nyata. Aku seperti terjebak dalam mimpi buruk.”
Revan menunduk, menyandarkan siku di lutut.
“Aku mengerti. Aku pun merasa begitu sejak awal.”
Suasana hening. Hanya suara hujan di luar yang menemani. Mauryn menatap Revan lama, lalu akhirnya bertanya.
“Kenapa kamu memilihku? Dari semua orang yang mungkin bisa membantumu… kenapa aku?”
Revan terdiam sebentar sebelum menjawab.
“Karena aku tidak punya siapa pun lagi. Semua orang bisa dibeli, bisa ditipu, bisa diancam. Tapi kamu berbeda. Kamu bisa melihat isi hati mereka. Itu kekuatan yang tidak bisa dimiliki siapa pun.”
“Kamu tahu? Selama ini aku dianggap aib karena kemampuan itu. Orang-orang menjauhiku, menganggapku pembawa sial.”
Revan menatapnya serius.
“Mereka salah. Mereka takut karena mereka tidak bisa menyembunyikan diri darimu. Tapi aku… aku justru butuh itu.”
Mauryn menghela napas panjang.
“Kamu membuatnya terdengar seperti aku berharga. Padahal aku sendiri sering benci dengan diriku.”
Revan mendekat sedikit, suaranya lebih lembut.
“Mauryn… dengarkan isi hatiku sekarang. Kamu tahu aku tidak bohong. Kamu satu-satunya alasan aku masih punya peluang melawan mereka.”
Mauryn tertegun. Ia memang mendengar kejujuran dalam hati Revan, jernih tanpa topeng. Rasa hangat merayap di dadanya, bercampur dengan ketakutan yang belum hilang.
Tiba-tiba, suara kayu berderit terdengar dari lantai atas. Mauryn langsung menegang.
“Apa itu?”
Revan berdiri cepat, menyalakan senter kecil.
“Mungkin tikus.”
Mauryn memejamkan mata, mencoba mendengarkan lebih jauh. Tidak ada suara hati manusia. Hanya keheningan. Ia menghela napas lega.
“Bukan orang.”
Revan menurunkan senter, meski wajahnya tetap tegang.
“Kamu yakin?”
“Ya. Aku bisa tahu kalau ada orang. Tapi tetap saja… aku tidak suka perasaan ini. Seperti ada yang mengawasi.”
Revan kembali duduk, meski matanya terus mengawasi tangga.
“Itu karena memang ada yang mengawasi. Mereka mungkin belum berani masuk, tapi mereka menunggu celah.”
“Kamu terdengar terlalu tenang saat bicara begitu.” Ucap Mauryn sambil menggigil
Revan tersenyum pahit.
“Kalau aku panik, kita mati lebih cepat.”
“Revan, aku ingin tahu sesuatu. Kenapa kau rela melawan orang-orang berkuasa itu? Kenapa tidak lari saja, hidup tenang di tempat lain?”
Revan terdiam. Lilin temaram menyorot wajahnya yang lelah. Ia mengusap dahinya, lalu berkata pelan
“Karena ada seseorang yang kubiarkan mati dulu. Aku menyesalinya sampai hari ini.”
“Seseorang?” Mauryn tercekat
“Adikku,” jawab Revan lirih.
“Dia dibunuh. Mereka menyebutnya kecelakaan, tapi aku tahu itu pembunuhan. Aku punya bukti. Dan aku tidak akan berhenti sampai nama adikku dibersihkan.”
Mauryn merasakan kesedihan mendalam dalam hatinya. Tidak ada kebohongan, hanya luka yang begitu nyata. Ia menunduk, suaranya pelan.
“Aku mengerti. Kau ingin keadilan.”
Revan menatapnya dengan mata merah, menahan emosi.
“Lebih dari itu. Aku ingin memastikan tidak ada lagi yang jadi korban seperti dia.”
Mauryn terdiam, merasakan beban yang begitu berat di balik kata-kata Revan.
Hujan semakin deras. Suara petir sesekali menggelegar, membuat rumah tua itu bergetar. Mauryn merapatkan syalnya, merasa dingin merambat hingga tulang.
Revan berdiri, melepas jaketnya, lalu meletakkannya di bahu Mauryn.
“Kamu kedinginan.”
Mauryn terkejut, menatapnya.
“Kamu tidak perlu—”
“Pakai saja,” potong Revan.
“Aku sudah terbiasa dengan dingin.”
Mauryn menggigit bibir, lalu perlahan menerima.
“Terima kasih.”
Hening sejenak. Lalu Revan menatapnya serius.
“Aku tidak tahu berapa lama kita bisa bertahan. Tapi aku janji, aku akan melindungimu. Apa pun yang terjadi.”
Mauryn menatap balik. Kali ini ia tidak menolak, tidak menyindir. Hanya membiarkan kata-kata itu masuk, lalu berkata lirih.
“Kalau aku jatuh, kalau aku tidak kuat… kau harus tinggalkan aku.”
“Jangan pernah minta itu dariku.” Ucap Revan sambil menggeleng cepat.
Mauryn tersenyum tipis, pahit.
“Aku hanya realistis. Kamu punya tujuan lebih besar. Jangan biarkan aku jadi penghalang.”
Revan mendekat, suaranya hampir bergetar.
“Mauryn… kamu bukan penghalang. Kamu cahaya di tengah semua kegelapan ini.”
Mauryn terdiam, hatinya bergetar hebat. Untuk pertama kali dalam hidupnya, seseorang menyebutnya cahaya.
Malam semakin larut. Revan akhirnya tertidur di kursi, meski masih tampak waspada. Mauryn tidak bisa tidur. Ia duduk di samping jendela, menatap hujan yang menetes di kaca.
Dan saat itulah ia mendengarnya. Suara samar dari luar.
“Mereka di dalam. Tunggu perintah.”
Mauryn menegang. Itu suara hati, jelas sekali.
Ia mengguncang bahu Revan.
“Bangun. Mereka di luar. Aku bisa mendengar mereka.”
Revan langsung terjaga, matanya tajam.
“Berapa orang?”
Mauryn menutup mata, mendengarkan.
“Tiga. Tidak jauh dari pagar.”
Revan berdiri, meraih sesuatu dari tas lusuhnya…sebuah pisau lipat.
“Kalau mereka masuk, kita harus keluar lewat belakang.”
Mauryn menelan ludah.
“Kita tidak pernah benar-benar aman, ya?”
Revan menatapnya sekilas.
“Tidak. Tapi bersama-sama, kita bisa tetap hidup.”
Mauryn mengangguk, menggenggam syalnya erat. Hatinya berdegup kencang, tapi ia tidak lari. Untuk pertama kali, ia memilih bertahan.
Hujan terus turun, menutupi langkah-langkah samar di luar. Lilin di meja bergetar tertiup angin dari celah jendela.
Di dalam rumah tua itu, dua orang yang sama-sama terluka duduk bersebelahan, saling percaya untuk pertama kali.
Dan di luar sana, bayangan masih menunggu, sabar, penuh niat jahat. Mauryn tahu satu hal pasti, istirahat ini hanya sementara. Perang yang sesungguhnya baru akan dimulai.
Bersambung..
Terimakasih supportnya semua 🥰
Jangan lupa jejaknya yah dan votenya 🫰🏻