NovelToon NovelToon
AKU BUKAN USTADZAH

AKU BUKAN USTADZAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Spiritual / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: ummu nafizah

"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27: Di Ambang Kegelapan

Hening malam di Pondok Tahfidz Ummu Nafizah menyelimuti seolah langit pun menahan napas. Namun di balik ketenangan itu, sesuatu mulai bergerak dalam bayang-bayang. Aisyah dan Khaerul baru saja memadamkan lampu utama, membiarkan nyala lampu minyak menyala lembut di kamar mereka. Tapi malam itu terasa lebih berat dari biasanya.

Khaerul duduk di samping ranjang, menggenggam mushaf kecil yang usang. Aisyah berbaring, tubuhnya masih terasa lelah dan sensitif pasca melahirkan. Namun matanya tak bisa terpejam. Ada rasa cemas yang menyelinap seperti kabut, merambat dari ujung jari hingga ke relung hati.

"Aku merasa... ada yang akan terjadi lagi," bisik Aisyah, suaranya lirih.

Khaerul menoleh padanya, menggenggam tangan istrinya dengan erat. "Apapun itu, kita hadapi bersama. Kitab itu, surat-surat itu... semua petunjuk menuju kebenaran yang selama ini terkubur. Tapi kita juga membuka luka lama yang belum sembuh."

Belum sempat Aisyah menjawab, suara ketukan keras membuyarkan ketenangan. Pintu utama diketuk tiga kali—tepat, berat, dan tergesa.

Khaerul segera beranjak, membuka pintu dengan hati-hati. Di luar, seorang santri senior, Fathin, terengah-engah.

"Ustadz... Pak Samad kembali. Tapi... dia tidak sendiri. Ada beberapa pria tak dikenal bersamanya. Mereka bicara tentang ingin membekukan kegiatan pondok karena dianggap menyimpang."

Aisyah yang mendengar itu dari balik pintu kamar, bangkit dengan tenaga yang tersisa. Hatinya berdesir. Ini bukan hanya soal kitab atau surat. Ini sudah masuk ke medan pertarungan yang lebih besar: pertarungan eksistensi.

 

Kebenaran yang Terbongkar

Pagi harinya, Aisyah berdiri di hadapan majelis wali santri yang tiba-tiba digelar oleh Pak Samad. Ia membawa beberapa tokoh adat dan aparat lokal yang tampak terprovokasi.

"Kami menerima laporan bahwa pondok ini telah melakukan praktik yang menyimpang. Beberapa dokumen menunjukkan kegiatan tidak biasa, termasuk ritual di gua dan kitab hitam yang ditemukan oleh istri Ustadz Khaerul."

Aisyah tak gentar. Ia berdiri dengan tenang, meski dalam hati, rasa panas menjalar dari dada.

"Kitab yang saya temukan adalah warisan Mahfudz, pendiri pondok ini. Isinya bukan sihir, tapi silsilah ulama dan wasiat pendidikan Islam yang pernah dicemari oleh fitnah masa lalu. Saya menyimpan salinan isinya. Dan akan saya bacakan jika majelis ini adil."

Beberapa tokoh adat tampak ragu, tapi Pak Samad segera memotong.

"Cukup! Apa yang kalian semua tak lihat? Dia membawa perempuan-perempuan ke gua! Dia menyebarkan doktrin yang belum pernah kita kenal!"

Tiba-tiba suara dari belakang membelah ketegangan.

"Saya tahu kitab itu. Saya yang menyimpannya dulu di rak tua milik Mahfudz," ujar Hasan sambil melangkah pelan. Tubuhnya renta, tapi suara dan langkahnya mantap. "Pak Samad, jika engkau benar murid Mahfudz, kau pasti tahu... beliau menulis dua kitab. Satunya untuk melindungi umat. Satunya lagi... untuk menguji siapa pewaris sejati."

Pak Samad tercekat.

Hasan menatap para wali santri. "Kalian ingin bukti? Maka bacalah salinan surat yang ditulis Mahfudz di halaman terakhir kitab itu. Ada nama pewaris yang sah di sana."

Aisyah menyerahkan salinan itu. Seorang tokoh adat membacanya keras-keras.

> "Aku, Mahfudz bin Salim, menyatakan bahwa wasiatku akan dilanjutkan oleh keturunan Samir, sahabat dan saudara sejiwaku. Karena mereka yang terdzalimi, akan diwarisi kekuatan untuk membenahi umat di akhir zaman."

Kejutan menggema. Pak Samad terlihat goyah.

 

Pertarungan yang Belum Usai

Malam itu, kabar mulai menyebar bahwa tuduhan terhadap pondok tidak benar. Namun, serangan diam-diam mulai terjadi. Dinding pondok dicoret-coret, beberapa ternak warga hilang, dan suara bisikan tentang "balas dendam" terdengar dari para loyalis Pak Samad.

Aisyah semakin sering sakit. Tapi semangatnya membara. Ia mengumpulkan para santri, menguatkan mereka dengan tafsir ayat-ayat sabar dan jihad melawan kebatilan.

"Setiap perjuangan akan diuji. Tapi setiap ujian adalah bukti bahwa kalian sedang berada di jalan yang benar," ucapnya di hadapan mereka.

Suasana pondok berubah. Lebih siaga. Lebih kuat. Namun, tanda-tanda bahwa sesuatu yang besar akan datang... semakin terasa.

Dan malam itu, satu surat baru datang, diselipkan di bawah pintu rumah Aisyah.

Tanpa nama. Tanpa pengirim. Hanya satu kalimat:

> “Yang kau kira kebenaran... mungkin hanya bagian kecil dari rahasia yang lebih besar.”

Senja menari lembut di cakrawala, namun di dalam hati Aisyah, badai masih mengamuk. Surat tanpa nama yang ia temukan di depan asrama Tahfidz Ummu Nafizah kini tergeletak di pangkuannya. Tangannya menggenggam kuat lembaran itu, seperti mencoba memeras kebenaran dari setiap tinta yang tertoreh. Tidak ada pengirim, tidak ada tanda, hanya kalimat-kalimat bernada ancaman dan teka-teki yang membuat jantungnya berdegup tak menentu.

> "Jika kau ingin keselamatan mereka, jangan pernah buka kembali catatan Mahfudz. Rahasia lama harus terkubur. Kau terlalu dekat dengan api."

Aisyah tahu ini bukan sekadar peringatan. Ini adalah pernyataan perang dari mereka yang berusaha menyembunyikan kebenaran. Tapi siapa? Dan mengapa sekarang?

Khaerul masuk tergesa. Wajahnya menunjukkan raut tegang. “Aku baru dari rumah Pak Lurah. Ada kabar, seseorang melihat bayangan mencurigakan keluar dari arah kamar santri putri tadi malam.”

“Ini... mungkin berkaitan dengan surat ini,” Aisyah menyerahkan kertas itu pada Khaerul. Ia membacanya cepat, lalu menggertakkan gigi. “Mereka masih membayangi kita.”

Aisyah menarik napas dalam. “Apa ini semua karena jurnal Mahfudz? Atau karena... sesuatu yang lebih tua dari itu?”

Malam itu mereka kembali membuka catatan tua yang mereka simpan dalam peti besi kecil. Tapi kini, cahaya lampu seakan tak cukup untuk mengusir kegelapan dari tulisan-tulisan Mahfudz. Di sana, ada bagian yang dulu mereka abaikan—tertulis dalam bahasa Arab kuno yang nyaris tak terbaca. Khaerul perlahan melafalkan:

> "Jika penerus darahku membaca ini, ketahuilah bahwa pengkhianatan yang menumpahkan darah saudara akan selalu berulang sampai seseorang berani membuka dan mengakhiri kutukannya."

Aisyah tertegun. “Ini bukan hanya rahasia keluarga. Ini... semacam wasiat. Atau kutukan.”

Tiba-tiba, teriakan panik terdengar dari arah dapur pondok. Salah seorang santri berlari, wajahnya pucat pasi. “Ustadzah! Rak buku terbakar sendiri! Kami sedang belajar... lalu tiba-tiba api muncul!”

Khaerul bergegas menyusul, diikuti Aisyah. Asrama penuh dengan asap tipis dan bau kertas terbakar. Tapi api sudah padam sebelum sempat menjalar. Di tengah tumpukan buku yang hangus, mereka menemukan satu benda yang anehnya tidak terbakar sama sekali—kitab tua berwarna hijau zamrud, tak bernama.

“Kitab ini... tidak pernah kami simpan di sini,” gumam Aisyah. “Ini... dari gua di pantai Lasonrai.”

Seketika ingatan mereka kembali ke gua tempat mereka dahulu menemukan manuskrip kuno. Ada satu kitab yang mereka tinggalkan karena terlalu rapuh dan tertutup. Mungkinkah ini kitab itu? Bagaimana bisa sampai ke pondok?

Misteri semakin menebal, tak lagi hanya soal masa lalu, tapi kini menyusup ke masa kini dan kehidupan mereka.

Namun di tengah semua itu, Aisyah tak tahu bahwa dari kejauhan, seseorang kembali mengintai. Kali ini, bukan untuk mengancam, tapi menunggu saat yang tepat untuk menuntaskan dendam yang lama terpendam.

1
Armin Arlert
karya ini benar-benar bikin saya terhibur. Terima kasih thor banyak, keep up the good work!
nafizah: mohon dukungannya yaa
total 1 replies
Aono Morimiya
Aku jadi pengen kesana lagi karena settingan tempatnya tergambar dengan sangat baik.
Nana Mina 26
Membekas di hati
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!