“ARRRGGGHHH! PANAAS! SAAKIIITT!”
Sekar Arum tak pernah membayangkan, setelah dipaksa menjadi gundik demi melunasi hutang orang tuanya, ia justru mengalami siksaan mengerikan dari para perempuan yang iri dan haus kuasa.
Namun, di saat dirinya berada di ambang hidup dan mati, sosok gaib mendekatinya—seorang sinden dari masa lalu yang menyimpan dendam serupa.
Arum akhirnya kembali dan menggemparkan semua orang-orang yang pernah menyakitinya. Ia kembali dengan membawa semua dendam untuk dibalas hingga tuntas.
Namun, mampukah Sekar Arum menumbangkan musuhnya yang memiliki kuasa?
Atau justru ia akan kembali terjerat dalam luka dan nestapa yang lebih dalam dari sebelumnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DG 19
“Kang Mas ....” Suara Nyai Lastri meluncur pelan, mendayu dengan sangat lembut.
Malam itu, di sebuah penginapan sederhana di kota sebelah, Nyai Lastri dan Juragan Karta berbagi ranjang yang sama. Sebuah ranjang kayu tua dengan kelambu putih yang menggantung longgar di sekelilingnya, bergoyang pelan terkena angin dari jendela yang sedikit terbuka.
Lastri melirik ke arah suaminya yang terbaring memunggunginya. Wajah Juragan tampak lesu dan tak menunjukkan minat sedikit pun sejak mereka tiba. Tapi, Lastri mengenal pria itu luar-dalam. Tak ada satu malam pun berlalu tanpa dunia perselangkangan. Ia yakin, jika ia merayu dengan sangat gigih—pria itu pasti luluh juga.
Dengan pelan, Nyai Lastri mendekat, menyandarkan tubuhnya, membiarkan rambut panjangnya menyentuh leher Juragan. Jemarinya merambat lembut ke arah perut sang suami, lalu turun perlahan—menelusup ke dalam celana. Ia meraba, membelai, sedikit meremas—mencoba membangkitkan ketertarikan yang biasanya mudah muncul.
Namun ... tidak dengan malam ini.
Alis Nyai Lastri langsung bertaut ketika tak ada reaksi apa pun dari tubuh pria itu. Sesuatu yang selama ini tak pernah terjadi.
“Kang Mas?” bisiknya lagi, kali ini agak cemas. Ia mencoba lagi, lebih mesra, lebih menggoda. Tetapi, tetap saja tak ada perubahan.
Sejenak, sunyi menggantung di antara mereka. Hanya suara angin dari sela-sela jendela dan ketukan lembut dari cabang pohon di luar yang terdengar.
Juragan Karta akhirnya membuka mata, menatap langit-langit kamar. “Sudahlah, Lastri.” Suaranya berat dan kosong. “Aku lelah.”
Kata-kata yang keluar dari mulut Juragan Karta seperti pemantik yang memercikan api di dalam dada Nyai Lastri.
“Lelah?” Suara Nyai Lastri meninggi, nadanya berubah getir. Ia bangkit dari pelukannya sendiri, duduk bersila di atas ranjang sambil menatap suaminya yang masih memunggunginya. “Lelah, atau ... sudah tidak tertarik lagi dengan tubuh ini?! Hmm?! Sudah bosan, Kang Mas?!”
Juragan Karta tak menjawab, bahkan tak sekalipun menoleh. Diamnya itu justru seperti cambuk bagi Nyai Lastri—menyakitkan, menusuk harga dirinya.
“Jadi benar,” bisik Lastri, matanya mulai berkaca-kaca. “Kau lebih tergoda dengan perempuan ingusan itu. Arum! Itu yang kau inginkan, ya?! Kau lebih memilih pelacur murahan itu daripada aku yang sudah kau nikahi dua puluh lima tahun lamanya!”
Ia mencengkram seprai dengan tangan gemetar. “Aku yang menunggu sepuluh tahun lamanya untuk memberimu keturunan ... Aku yang mendatangi puluhan dukun hanya untuk bisa hamil ... dan kau balas dengan menindih tubuh perempuan seumur anakku sendiri?!”
Kini, air mata Nyai Lastri jatuh tanpa bisa ia tahan. Sedih, terluka, serta amarah—bercampur menjadi satu.
Juragan Karta menarik napas panjang, akhirnya ia bersuara dengan nada lelah dan malas. “Sudahlah, Lastri. Kita tau pernikahan ini sejak awal hanya sandaran bisnis. Kau pun tau itu. Aku tak pernah mencari cinta di tempat tidur kita.”
“Tapi kau tetap meniduri ku!” Lastri membalas cepat, suaranya bergetar. “KAU TETAP MELAKUKANNYA!”
Napas Nyai Lastri tampak sengal.
“Dan sekarang kau bilang lelah?! Setelah tubuhku menua karena dirimu! Setelah aku rela dihina setiap hari sebagai istri yang mandul olehmu!” lanjutnya berang.
Juragan bangkit dari ranjang. Ia berdiri di sisi tempat tidur, membelakangi istrinya.
“Tubuhmu menua bukan karena aku, Lastri. Tapi, karena kau sendiri malas merawat diri.” Suaranya kali ini sangat dingin, layaknya bongkahan es.
Juragan Karta menoleh sedikit, pandangan matanya datar. “Kerjaanmu hanya makan dan tidur, tak pernah dibawa gerak. Apa kau pikir tubuhmu bisa bertahan muda dengan cara begitu?”
Lastri terperanjat. Ia menahan napas, dadanya sesak seketika. Matanya membelalak, tak percaya kalimat itu keluar dari mulut suaminya sendiri.
“Lihat kulitmu sekarang—sudah mengendur semua, di usia yang belum seberapa!” Juragan kembali membelakangi istrinya. Dengan nada acuh ia kembali berkata, “Aku tak butuh istri yang hanya tau duduk di singgasana, tapi lupa menjaga istananya.”
Nyai Lastri tak menjawab. Ia hanya diam terpaku di atas ranjang.
Namun, matanya tak bisa menyembunyikan bara yang sedang berkobar. Pandangannya tajam menusuk ke punggung suaminya, seperti panah tak kasat mata yang siap meluncur tanpa aba-aba. Tangannya mengepal di atas selimut, kuku-kukunya menekan kuat hingga buku jarinya memutih.
Di dalam benaknya, ia bersumpah. ‘Tak akan kubiarkan kau merasakan bahagia—selama aku masih hidup, Mas. Setiap kau berhasil mendapatkan keturunan, akan aku pastikan—aku yang akan mengantarkan sendiri keturunan mu ke alam baka!’
...****************...
Keesokan siangnya, kereta kuda mereka melintasi gerbang utama rumah besar milik Juragan Karta. Nyai Lastri turun lebih dulu dengan raut muram. Ia tak berbicara sepatah kata pun, bahkan ketika pelayan membukakan pintu dan menyambut mereka.
Langsung saja ia menuju kamarnya. Sendirian.
Sesampainya di dalam, ia melepas sanggul dan perhiasan satu per satu dengan gerakan cepat penuh amarah. Gaun luarnya ia lempar sembarangan ke kursi. Lalu, ia duduk di depan meja rias, menatap bayangannya sendiri di cermin.
“Lihat kulitmu sekarang, sudah mengendur semua ....”
Kalimat itu kembali terngiang-ngiang di telinganya, berputar seperti kutukan. Dada Nyai Lastri kembali panas.
Dan, tepat saat emosinya tengah memuncak—terdengar ketukan pintu dari luar.
Tok!
Tok!
Tok!
Nyai Lastri menoleh malas.
Lalu suara pelan terdengar dari luar. “Nyai ... ini saya, Yuyun. Saya bersama Sari hendak menghadap. Kami perlu membicarakan hal penting.”
“Benar, Nyai. Ini sangat mendesak.”
Nyai Lastri mendengus pelan, matanya menyipit. Ia mengenal suara dua gundik itu—bukan tipe yang akan mengetuk pintu kecuali ada sesuatu yang serius. Ia bangkit dari kursi dan berjalan pelan ke arah pintu.
Dengan suara datar, ia membuka sedikit daun pintu berbahan kayu jati.
“Cepat katakan, jangan bertele-tele,” dengusnya.
Keduanya pun saling beradu pandang dengan raut tegang.
*
*
*
ku rasa bokor itu masih di dasae danau deh
atau tusuk konde ya udah nggak ada di dalam bokor lagi...???
ehh kan si juanidin yg kena tusuk keris
klo sate tusuk daging kambing mah nyosss yaa kann 🤣🤣🤣