Novel romantis yang bercerita tentang seorang mahasiswi bernama Fly. Suatu hari ia diminta oleh dosennya untuk membawakan beberapa lembar kertas berisi data perkuliahan. Fly membawa lembaran itu dari lantai atas. Namun, tiba-tiba angin kencang menerpa dan membuat kerudung Fly tersingkap sehingga membuatnya reflek melepaskan kertas-kertas itu untuk menghalangi angin yang mengganggu kerudungnya. Alhasil, beberapa kertas terbang dan terjatuh ke tanah.
Fly segera turun dan dengan panik mencari lembaran kertas. Tiba-tiba seorang mahasiswa yang termasuk terkenal di kampus lantaran wibawa ditambah kakaknya yang seorang artis muncul dan menyodorkan lembaran kertas pada Fly. Namanya Gentala.
Dari sanalah kisah ini bermulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 27
Halaman masjid kala itu menjadi tempat pertemuan terakhir antara Fly dan Aza hingga kini. Namun, ia tak ingin mengambil pusing masalah itu. termasuk ketika kontak dengannya benar-benar menghilang. Sebab setelah itu, Fly mulai fokus menyusun skripsi. Seperti biasa, Yui juga kerap kali datang menemani.
Beberapa hari setelah itu, Yui datang dengan membawa totebag besar yang dikenali Fly. Ternyata itu totebag berisi buku referensi milik Aza. Yui bertemu dengan lelaki itu di stasiun. Lantas meminta Yui untuk memberikan buku-buku itu kepada Fly. Sebelum akhirnya ia langsung menaiki kereta tanpa menunggu tanggapan dari Yui.
Bulan-bulan berlalu begitu cepat. Fly pun benar-benar terbiasa tanpa kabar Aza, juga tanpa memikirkan Gen. semua sudah tertinggal jauh di belakang. Tak ada yang dapat menguasai kebahagiaannya saat ini dengan dua orang lelaki tidak jelas itu. sebab hari itu sampai. Sampai untuk bersorak mereka. Akhirnya Fly wisuda. Menjadi sarjana S1, yang seharusnya tahun lalu dapat ia sebet.
Fly pulang ke rumahnya seminggu kemudian. Setelah melakukan wisata ke banyak tempat dengan Yui sepuasnya. Pada akhirnya, perpisahan itu benar-benar terjadi. Entah bagaimanapun manusia tampak menggenggam apapun dengan erat. Akan tiba jua saat untuk melambaikan tanda selamat tinggal.
Malam terakhir di kos, Yui menginap. Namun mereka benar-benar tidak tidur. Mereka bercerita banyak hal. Banyak sekali. Seolah tak ingin melewatkan secuil momen pun sampai mentari menyapa dari ufuk timur. Hari di mana jemputan Fly akan datang.
Kini Fly benar-benar sudah tinggal di rumahnya lagi. Ibu Fly sempat menanyakan perihal Aza. Kapan dia akan datang lagi? Atau apakah mereka benar-benar dekat. Fly tidak menjawab dengan berarti. Ia sudah mati rasa untuk membicarakan laki-laki semisal Aza, jua Gen. seharusnya biarkan saja kisah mereka tinggal di belakang. Tak perlu dijemput lagi. Setelah mengingat bagaimana perjalanan Fly hingga sampai di tahap ini.
“Sudah ada berapa murid yang benar-benar masuk sini?” Vio bertanya.
Vio tak sempat hadir di acara wisuda Fly karena harus mengurus anaknya yang masih menyusui. Ya, ia sudah menikah. Beberapa hari setelah wisuda angkatan tahun lalu. Angkatan yang seharusnya bersama Fly juga.
“Alhamdulillah ada dua belas orang. Lima laki-laki dan tujuh perempuan.”
“Anak SD semua?”
“SMP juga. Ada tiga orang.”
Selepas wisuda, Fly belum melamar pekerjaan dengan gelar S1-nya. Melainkan membangun rumah tahfiz dengan ilmu daurohnya. Di belakang rumah Fly, ada saung yang cukup luas. Ia akan menempatkan murid-muridnya di sana sementara waktu. Adapun yang akan menjadi guru di sana tidak hanya Fly. Tapi juga Vio dan suaminya. Pekerjaan sampingan suami Vio sama dengan Aza, yakni guru tahfiz online. Sehingga, Fly merasa sangat terbantu dengan kehadiran mereka berdua.
Sore harinya, dua belas murid datang di hari pertamanya. Bersama dengan wali masing-masing. Kecuali beberapa tetangga Fly yang merupakan teman-teman main Alsa dan Rizal. Kedua adik Fly juga ikut di sana. sehingga, totalnya menjadi empat belas.
Para wali disambut hangat oleh ibu Fly dengan menggelarkan karpet di teras belakang. Juga dijamu dengan makanan ringan beserta minumannya.
“Bismillah. Assalamu’alaikum adik-adik sekalian.” Fly menyapa ramah.
“Wa’laikumussalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawab anak-anak itu dengan suara lantang.
“Karena ini hari pertama, jadi kakak mau perkenalan diri dulu, ya. Nama kakak, Fatiha. Adik-adik bisa manggil kakak, kak Fly. "
“Kalau kakak, kak Vinara. Panggil aja kak Vio.”
“Perkenalkan, adik-adik. Saya Ahmar. Panggil aja kak Ara.”
“Nama kakak-kakak kok susah semua, sih. Nama asli beda, panggilan juga beda,” keluh seorang anak di paling belakang.
“Baiklah. Kakak sendiri namanya kak Fly. Kalau yang di tengah ini, namanya kak Vio. Kalau yang satu-satunya laki-lki, namanya kak Ara. Oke, paham?”
“PAHAM, KAK,” jawab mereka semua.
“Kak Ara sama kak Vio kok bajunya kembar. Kalau kak Fly beda sendiri?” tanya lagi seorang murid perempuan yang tampak paling mungil.
“Karena mereka suami-istri, adik-adik,” jawab Fly.
“Berarti kak Fly jomblo dong!” tembak seorang murid laki-laki diselingi tawa renyah.
Temannya yang duduk di sebelahnya langsung memukul.
“Hei, jangan ejek kakakku. Dia jomblo karena cowoknya masih belum datang. Cowoknya sebentar lagi juga datang. Orang dia udah janjiin aku coklat,” timpal Alsa dengan ekspresi galak.
“Eh, Al. jangan berisik!” tegas Fly karena jengkel, sebab ia juga tidak tahu bahwa ada lelaki yang mengatakan hal demikian kepada Alsa. Entah itu Aza atau siapa. Tapi Fly hanya tahu bahwa Alsa dekat dengan Aza, sebagai guru tahfiznya.
“Kok jadi Al. yang dari tadi berisik ‘kan orang itu. Al baru juga ngomong. Apaan sih kak Fa.”
“Iya, semuanya ada yang berisik dulu, ya. kita di sini ‘kan mau menghafal Al-Qur’an. jadi, adab selalu diutamakan,” tambah Fly.
Setelah perkenalan guru, saatnya perkenalan murid. Semua berjalan lancar. Setidaknya, Fly bersyukur karena Alsa tidak memukul anak laki-laki yang mengejek Fly itu.
Langkah seseorang terdengar . Fly menoleh, mendapati ayahnya yang berjalan mendekat. Sedangkan ibunya dan para wali masih asyik bercengkrama di teras belakang.
“Fa, ada tamu.”
Belum sempat Fly bertanya, sosok tamu itu malah muncul dari pintu belakang. Ibu Fly langsung menyambutnya. Juga para wali itu. Ia bersama seorang anak laki-laki yang sepertinya seumuran dengan Alsa.
Ayah Fly sudah kembali ke dalam rumah.
“Gen?” ucap Vio sambil berbisik.
Fly menelan ludah. Lihatlah, lelaki pecinta pakaian putih itu benar-benar muncul. Masih setia dengan stylenya. Kali ini ia memakai kemeja pendek putih polos. Seperti biasa, sangat cocok untuknya.
“Anak kecil itu daftar juga?” tanya Vio.
Semakin dekat, jantung Fly berdegup semakin kencang.
“Assalamu’alaikum. Apakah pendaftarannya masih buka?”
“Lihat, kakak itu pakai baju putih kayak baju kak Fly. Ternyata kak Fly nggak jomlo,” ucap seorang anak perempuan yang duduk di tengah-tengah.
Seketika wajah Fly memerah seperti kepiting rebus. Ingin rasanya ia berlari ke kamarnya dan membenamkan kepala ke bantal sambil berteriak kencang. Tidak. Tidak seharusnya Gen muncul di sini. Di rumahnya pula. Ini sama sekali tidak dekat dengan kampus.
Benar, Fly memakai tunik berwarna putih. Selaras dengan warna kemeja Gen. Terlihat seperti dua pasangan di sana.
“Bukan ya, adik-adik. Jangan ngomong sembarangan. Kak Fly belum nikah. Oke?” jelas Fly sambil menahan gemuruh dalam dadanya.
“Tadi Al kirain ustadz Aza. Soalnya dari jauh mirip. Ternyata pas dekat nggak mirip,” timpal Alsa.
Gen tersenyum kecut. Dengan begitu ia pasti tahu, bahwa Aza pernah datang ke rumah Fly.
“Wa’alaaikumussalam. Kok nggak ada yang jawab dari tadi,” ucap Vio sambil menyenggol Fly.
“Wa’alaikumussalam.”
“Jadi, apakah masih membuka pendaftaran?”
“Oh, iya. Tentu saja masih buka. Silakan, adik ini namanyaa siapa?” Fly bertanya gelagapan.