Niara yang sangat percaya dengan cinta dan kesetiaan kekasihnya Reino, sangat terkejut ketika mendapati kabar jika kekasihnya akan menikahi wanita lain. Kata putus yang selalu jadi ucapan Niara ketika keduanya bertengkar, menjadi boomerang untuk dirinya sendiri. Reino yang di paksa nikah, ternyata masih sangat mencintai Niara.
Sedangkan, Niara menerima lamaran seorang Pria yang sudah ia kenal sejak lama untuk melupakan Reino. Namun, sebuah tragedi terjadi ketika Reino datang ke acara pernikahan Niara. Reino menunjukkan beberapa video tak pantas saat menjalin hubungan bersama Niara di masa lalu. Bahkan, mengancam akan bunuh diri di tempat Pernikahan.
Akankah calon suami Niara masih mempertahankan pernikahan ini?
🍁jangan lupa like, coment, vote dan bintang 🌟🌟🌟🌟🌟 ya 🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Noveria, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 24
Seketika, duniaku terasa sirna. Pria yang ingin membuatku hidup bahagia, untuk pertama kalinya terlihat sedih dan sengsara hanya karena ketidak jujuranku.
Aku keluar dari mobil. Pak Ridwan tak menoleh sedikitpun ke arahku. Dia memilih pergi, melajukan mobilnya.
Mata sembabku tidak bisa aku sembunyikan, ketika aku berjalan memasuki Pabrik. Beberapa temanku melihat ke arahku. Semua bertanya ada apa? Namun, aku memilih bungkam.
Aku menaiki tangga, masuk ke ruang kerjaku. Rasanya ingin berteriak, menangis sekeras mungkin. Akan tetapi, itu akan sangat memalukan. Untuk diriku dan juga Pak Ridwan. Karena semua orang sudah tahu, kami akan menikah.
BAB 24 ( Melarikan Diri )
Menahan kesedihan ini selama 3 jam. Aku tak keluar ke tempat produksi. Hanya duduk di ruang kerja dengan tatapan yang kosong. Orang lalu lalang di depan ruanganku, melihatku dari luar jendela. Aku hanya diam, sesekali mengusap air mataku yang hampir jatuh ke pipi.
Bel pulang berbunyi. Aku masih bergeming duduk. Menunggu semua karyawan pulang terlebih dahulu. Aku malas untuk menjawab pertanyaan yang mungkin hanya bisa ku jawab dengan air mata.
Melihat ponselku sepi tidak seperti biasanya. Bahkan, Pak Ridwan tidak menghubungiku. Semua ruangan terdengar senyap, aku keluar dari ruang kerjaku. Dengan tubuh sempoyongan menuruni tangga.
“Kenapa Ridwan hari ini tidak masuk, Ra?” tanya temanku, seorang supervisor yang sama sepertiku. Ternyata dia belum pulang, lalu mengikuti langkahku. Aku hanya diam, mengangkat kedua pundakku, memberi isyarat jika tidak tahu.
“Kamu sakit?” tanyanya lagi, aku hanya menggeleng.
“Ya sudah ya, aku duluan!”
Air mata berjatuhan lagi, aku tidak bisa menahannya kali ini. Aku duduk di salah satu anak tangga. Menutup mataku yang basah. Menepuk dadaku berulang kali untuk tetap kuat. Tangisanku pecah, sedikit berisik.
“Bu Niara? Astaga mengagetkan saya kira hantu.” ucapan salah satu satpam di Pabrik yang mendekatiku. Aku menundukkan kepala dan mengusap air mataku.
“Pak, bisa pesankan taksi?” pintaku.
Satpam itu mengangguk, lalu menelpon taksi.
“Sudah, Bu. Lima menit lagi akan tiba,” ucapnya. “mau saya bantu?” Satpam itu memegang tanganku, menatihku menuruni tangga.
Begitu tiba di depan pintu gerbang, taksi sudah stay di sana. Aku bergegas masuk kedalam mobil.
“Tujuannya kemana, Bu?” tanya sopir. Aku yang masih sesenggukan mencoba menjawab dengan terbata-bata.
“Ja–jalan dulu aja, Pak!” ucapku.
Sopir melajukan mobilnya tanpa tujuan. Aku menatap wajahku di jendela kaca mobil, melihat mataku yang merah dan wajahku yang kucel.
Saat ini aku tidak tahu harus kemana?. Pulang ke rumah pun, Ibu akan histeris jika aku mengatakan kemungkinan pernikahanku dengan Pak Ridwan akan gagal. Ayah tiriku juga pasti akan marah besar, jika mengetahui alasan hubunganku dan Pak Ridwan berakhir.
Taksi terus melaju, hingga di batas Kota. Aku melihat argo yang melonjak. Namun, kali ini aku hiraukan. “Terserah berapapun, aku hanya ingin pergi jauh,” gumamku.
Malam semakin larut. Aku melihat jam di tangan kiriku, ternyata sudah pukul 10 malam. Taksi itu berhenti, menoleh ke arahku.
“Mau kemana? Ini sudah 40 Km. Kamu akan bayar, kan!” Sopir itu berkata dengan ketus. Aku mengeluarkan kartu kreditku. Setelah membayar, aku keluar dari taksi.
Aku hanya melihat lampu jalanan, dan sedikitnya orang yang lalu lalang. Melihat sebuah penginapan, aku langsung masuk kesana. Memesan tempat untuk beristirahat.
Aku mematikan ponselku. Toh, siapa yang akan peduli denganku kali ini. Kemudian, melemparkan tubuhku di atas tempat tidur. Air mataku mulai kering di pipi. Namun, nafasku masih terasa berat. Aku melihat langit-langit atap. “Ingin rasanya, mati saja,” gumamku. Kalimat yang hanya bisa aku utarakan ketika sedih.
Perut terasa lapar. Namun, enggan untuk bangkit. “Apa jika tidak makan, aku bisa mati?” kalimat konyol yang bisa aku lontarkan.
“Aku bahkan tidak membawa baju ganti,”
Aku duduk, dan melihat kemejaku yang lusuh.
Akhirnya aku memutuskan untuk keluar, membeli beberapa potong pakaian dan minuman. Tempat yang asing, yang belum pernah aku kunjungi untuk singgah.
Sebuah toko masih menyalakan lampunya, dengan pintu yang terbuka setengah. Aku bergegas lari dan masuk.
“Sudah mau tutup, kak!” ucap kasir. Aku langsung cepat mengambil baju, celana dan dalaman.
Setelah membayar pakaian, mataku berkeliling mencari minimarket. Namun, di jam 23.20 semua minimarket sudah tutup. Aku kembali ke tempat penginapan, dan memesan minuman dan makanan yang disediakan di Penginapan
“Astaga, aku seperti orang hilang,” keluhku.
“Uangku tinggal berapa ini? Bagaimana aku hidup seminggu kedepannya?” pikiranku saat ini beralih dengan nasib perutku. Aku mengecek M-Banking dan melihat saldoku hanya 3 juta saja, tubuhku langsung lemas lagi. Niat melarikan diri, malah membuatku semakin pusing.
Setelah makanan datang, aku tidak bisa menghiraukan rasa lapar ku kali ini. Seharian belum makan, aku tidak bisa menahannya. “Aku pikirkan mati, setelah makan saja,” aku menelan nasi dan lauk, sambil menangis lagi. Pikiranku tertuju kepada Pak Ridwan, yang mungkin saat ini membenciku. Padahal, aku mulai menyukainya.
Aku melihat ponsel, namun enggan menyalakannya. “Pasti saat ini Ayah tiriku mencariku, dan mendengar omelan Ibuku.” Ingin berkeluh dengan siapa? Aku punya banyak teman, tapi semuanya tidak dekat. Hanya ngobrol ketika membahas pekerjaan saja.
Aaaaaaa..
Teriakku sampai tersedak. Aku lekas minum dan menyelesaikan makananku.
Semalaman tidak bisa tidur, hanya berguling-guling di tempat tidur. Memikirkan Pak Ridwan, memikirkan tabunganku yang menipis, memikirkan pekerjaan yang terbengkalai. Karena aku tak terbiasa, meninggalkan pekerjaan separuh jalan, hatiku rasanya tidak tenang. Akhirnya, aku menghubungi Vira.
“Halo,” aku mendengar suara Vira.
“Vira, aku minta tolong. Besok berkas yang di meja tolong berikan ke Pak Septo, ya!” ucapku.
“Hah, kenapa? Kamu nggak berangkat besok?”
“Tidak,”
“Lho, kenapa?”
Aku langsung menutup telepon itu, tanpa mendengar pertanyaan lain dari Vira. Otakku sudah dipenuhi masalah, berbicara terlalu lama dengan Vira bisa menambah pusing di kepala, karena dia pasti akan menyebarkan ucapanku ke anak-anak lainnya.
Rindu terasa, di malam yang dingin ini. Aku hanya bisa membayangkan pelukan Pak Ridwan. Padahal biasanya aku selalu menolaknya ketika dia memelukku. Air mata menetes lagi, kali ini aku benar-benar merasa kehilangan.
“Maafkan aku,” hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan, kalimat yang menemaniku hingga terlelap. “aku harap saat bangun, nyawaku tak kembali. Aku takut menghadapi dunia.”
mana main!!!!
tarik atuh!
nanti giliran di tinggal istri baru sesak nafas.
Kau yang lebih terluka.
gak bisa diginiin:(
bunga for you nael
btw bikin Reno mati atuh Thor
Thor...bawa reoni kesini!!
gak bisa gak bisa!
apaan baru baca udah ada yang mati:>