Aku belum bisa mencintai sosok pria yang telah menikahiku. Kenapa? Karena, aku tak mengenalnya. Aku tidak tahu dia siapa. Dan lebih, aku tak menyukainya.
Pria itu lebih tua dariku lima tahun. Yah, terlihat begitu dewasa. Aku, Aira Humaira, harus menikah karena usiaku sudah 23 tahun.
Lantas, kenapa aku belum siap menikah padahal usiaku sudah matang untuk melaju jenjang pernikahan? Yuk, ikutin kisahku bersama suamiku, Zayyan Kalandra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Umi Nurhuda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Ingin Protes
Paman Tukimo tengah sibuk mengumpulkan segala informasi tentang Rafardhan. Keberadaannya, kekuasaan yang ia genggam, bisnis-bisnis yang bernaung di bawah namanya, dan seberapa kuat jaringan pelindung yang mendukung langkah gelapnya.
Sampai ia harus mengorbankan waktu untuk tidak membantu ponakannya bekerja di bengkel produksi sendirian bersama para timnya.
Sementara itu, di tempat lain, agenda pemasangan furniture pesanan dari Hotel 'Wih Jaya' akhirnya tiba. Aira bersama Papa Hariatmaja meluncur menuju perusahaan "ZAIKA Interior Furniture"
Aira sudah diberitahu sebelumnya, bahwa suaminya bakal ikut mendampingi memasang furniture di hotel tersebut selama satu minggu penuh. Sore ini, Aira ingin mengantar keberangkatan suaminya karena ingin berpamitan langsung. Mama Shania pun mendukung dengan sekalian membuatkan bekal makanan untuk keberangkatan menantunya dan para pekerja.
Namun begitu sampai di lokasi, Aira membelalakkan mata. Ia nyaris tidak percaya.
"Papa... kita nggak salah lokasi, kan?" tanyanya ragu, menatap gedung megah di hadapannya.
Papa hanya tersenyum kecil sambil melajukan mobil keluarga masuk ke area parkir yang luas. Dengan tenang, beliau memarkirkan mobil di tempat kosong terdekat.
"Papa nggak salah GPS? Atau jangan-jangan… Papa cuma mau ngetes aku?" katanya lagi, mulutnya setengah terbuka seperti habis melihat UFO.
"Ini tempatnya, Aira. Kamu pikir Papa mau bohong?" sahutnya, santai.
Aira menoleh ke arah showroom besar itu. "Tapi... tapi kata Kak Zayyan, tempatnya itu seperti bengkel produksi, gitu! Yang isinya kayu dan papan berserakan, debu, dan suara mesin yang bising..."
Papa hanya menggeleng sambil menahan tawa, sudah sangat hafal dengan tingkah putrinya yang selalu dramatis tiap kali mendapati hal di luar ekspektasinya.
"Aku pikir, aku pikir, tempat itu seperti pabrik triplek zaman revolusi industri! Jadi, Kak Zayyan nggak ngizinin aku untuk lihat tempatnya," tangan Aira terangkat seolah menggambarkan kekacauan.
Papa terkekeh. “Aira, kamu tuh selalu heboh kalau belum tahu kebenarannya.”
Aira ternganga. Di hadapannya berdiri sebuah bangunan berlantai lima modern dengan fasad kaca. Logo ZAIKA Interior Furniture terpampang elegan di sisi atas.
Dua lantai pertama merupakan showroom luas, penuh dengan berbagai macam furniture bergaya minimalis modern, tertata elegan dan tampak mahal. Sedangkan dua lantai di atasnya adalah area perkantoran yang tampak profesional. Dan lantai atas sebagai rooftop garden.
Semua jauh dari bayangan Aira. Ini bukan sekadar bengkel kayu biasa, ini perusahaan properti kelas atas.
"Maasyaa Allaah, Maasyaa Allaah... ini showroom furniture apa hotel bintang lima sih?!" Aira nyaris berteriak.
"Ya itu, kalau kamu nggak lihat sendiri, pasti langsung nuduh yang aneh-aneh," canda Papa.
Aira mengerucutkan bibirnya. "Aku merasa ditipu secara emosional. Mentalku udah nyiapin tempat kumuh, debuan, terus dikagetin beginian. Jantungku belum siap menerima kemewahan ini."
Papa membiarkan Aira meledak-ledak sendiri. "Ayo, Aira. Bantu Papa bawa makanannya," ujar Papa, memecah ledakan Aira.
Papa mengambil tumpukan nasi box yang diikat dengan tali plastik, membawanya di kedua tangan. Aira masih tertegun, namun segera menyusul di belakang Papa.
Mereka berjalan melewati sisi showroom menuju sebuah area samping yang tampak lebih tersembunyi. Di sana, ada sebuah pintu kayu tinggi menyerupai pagar pelindung. Dari balik pintu itu samar terdengar suara mesin serut kayu dan bau khas serbuk kayu yang tercium kuat.
Rupanya, di balik kemewahan showroom ini, tersimpan bengkel produksi yang menjadi jantung sesungguhnya dari perusahaan ini. Area tersebut ditutup rapat, seolah menyimpan rahasia dari para pelanggan luar yang hanya boleh melihat hasil akhirnya, bukan proses di baliknya.
Aira menatap dengan perasaan campur aduk—kagum, terkejut, sekaligus penasaran.
Siapa sebenarnya suaminya ini? Apa yang belum dia ketahui dari Zayyan dan kerja kerasnya selama ini?
Papa membuka sebuah pintu kecil yang berada di antara gerbang besar yang gerbang itu biasanya digunakan untuk keluar-masuk kendaraan angkut seperti truk. Aira mengikuti dari belakang sambil membawa dua tali nasi box di kedua tangannya.
"Papa santai banget sikapnya, sementara aku masih melongo nggak percaya," gumam Aira, menggelengkan kepalanya sendiri.
Begitu pintu kecil itu terbuka, pemandangan di dalamnya kembali membuat Aira membelalakkan mata. Area luas itu mampu menampung setidaknya enam truk besar.
Tiga truk di antaranya sudah siap berangkat, penuh dengan barang-barang 'knockdown' (furniture bongkar-pasang) yang rapi terbungkus kertas coklat tebal, diikat tali rafia seperti paket besar.
Para pekerja bergerak cekatan, saling bantu menaikkan dan menyusun barang ke atas truk, seperti sebuah orkestra kerja keras yang teratur.
Papa berjalan tenang menuju bengkel utama, tak tergesa tapi penuh wibawa. Aira membuntutinya dengan langkah ragu, masih tak percaya suasana yang jauh dari bayangannya. Matanya tertumbuk pada sosok yang familiar di tengah hiruk-pikuk para pekerja.
Zayyan.
Suaminya itu sedang mengangkat beberapa barang, turut mengemasi peralatan bersama para pekerja lain. Tak ada tanda-tanda 'bossy' dalam sikapnya. Dia membaur, berkeringat, dan terlihat lelah seperti yang lain.
Tiba-tiba, suara berat Papa menggema memenuhi area itu. "Asss-salamu'alaikum!"
Sekejap, semua aktivitas berhenti. Para pekerja spontan menoleh ke arah sumber suara.
"Wih!" Aira berdecak kagum dalam hati. Wibawa Papa memang bukan main-main.
"Wa'alaikumsalaam!" jawab para pekerja hampir serempak, suara mereka bergemuruh.
Zayyan menoleh.
Begitu melihat Papa Hariatmaja dan lebih lagi, Aira yang berdiri di sebelahnya raut wajah Zayyan berubah drastis.
Kaget, setengah canggung, dan setengah takut. Seperti anak kecil yang ketahuan melakukan sesuatu di luar rencana. Wajahnya sedikit pucat, namun dia cepat-cepat melemparkan senyuman kaku sambil menurunkan barang yang sedang dipanggulnya.
Sementara itu, Aira diam-diam memperhatikan. Ternyata di tempat kerjanya, suaminya benar-benar seorang pekerja keras... yang bahkan tidak segan turun langsung membantu anak buahnya.
"A-- Aira, kenapa kamu tiba-tiba ke sini?" Zayyan bertanya dengan suara canggung, menyeka keringat di dahinya.
"Papa yang ajak," jawab Aira singkat, melemparkan lirikan sekilas ke arah Papanya. -Bohong-
Namun di sudut matanya, bening air yang menahan jatuh itu mulai bergetar. Pelan-pelan, Aira meletakkan dua tali nasi box yang ia bawa, lalu tanpa banyak kata, ia langsung memeluk perut suaminya yang penuh debu kayu.
Zayyan tersentak kaget. "Aira... aku kotor. Badanku penuh debu. Kamu nanti batuk-batuk kalau begini-" khawatir.
"Biarlah," potong Aira lirih, suaranya hampir pecah. "Kalau ini yang harus aku peluk... maka aku akan peluk semuanya. Termasuk lelahmu. Debumu. Keringatmu dan semua kerja kerasmu." batinnya.
Dalam diam, ia ingin protes. Ingin mengeluarkan semua gumpalan rasa yang membuat dadanya penuh. Tapi suaranya tertahan di tenggorokan. Ia tahu, kalau dia bicara sekarang, yang keluar bukan kata-kata... tapi isak dan air mata.
Karena ternyata, suaminya bukan hanya laki-laki hebat. Tapi laki-laki luar biasa... yang diam-diam sedang membangun masa depan mereka dengan tangan, peluh, dan cinta yang tak pernah diumbar.
Tapi Aira hanya menggeleng pelan, menahan suara isaknya. Dalam dekapannya, ia membisikkan doa tulus. "Oh Allah... sayangilah suamiku ini. Berkahilah pekerjaannya yang luar biasa ini..."
Suasana yang semula kaku berubah jadi ramai. Anak buah Zayyan bersorak-sorai manja dan jahil.
"Huuuuuuu...! Cieeee! Suit suitttt!"
"Bos Jay, jangan bikin kami baper, dong!"
satu ibu
lain bpk
btw,,aku nyesek dgn nasib Tukimo,, sumpah mewek parah aku di part ini 😢😢😢