Yang kemarin nungguin Gilang, ada di sini tempatnya. 🥰🥰
♥️♥️♥️
Banyak wanita yang menginginkannya. Tapi mengapa harus jatuh pada Belva yang masih belia?
Usianya dua puluh sembilan tahun dan berstatus duda. Tapi memiliki seorang istri yang usianya sepuluh tahun lebih muda darinya.
Gadis yang belum lama lulus sekolah menengah atas. Dia lebih memilih menjadi seorang istri ketimbang mengenyam pendidikan lebih tinggi lagi.
Redynka Belva Inara.
Gadis cantik keturunan Belanda itu lebih memilih menikah daripada harus bermain-main seperti kebanyakan gadis seusianya.
Namun sayang, cintanya ditolak oleh Gilang. Tapi Belva tak berhenti untuk berjuang agar dirinya bisa dinikahi oleh Gilang.
Sayangnya, Gilang yang masih sulit untuk membuka hati untuk orang lain hanya memberikan status istri saja untuk Belva tanpa menjadikan Belva istri yang seutuhnya. Memperistri Belva pun sebenarnya tak akan Gilang lakukan jika tidak dalam keadaan terpaksa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dhessy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 27
Sejak dulu, kedatangan Gilang selalu disambut dengan hangat. Bahkan di saat Gilang sudah menyakiti putri mereka satu-satunya, Gilang tetap disambut dengan baik.
"Belva di kamar, Ma?" tanya Gilang tanpa basa-basi. Dia ingin segera menemui Belva. Dan merubah rencana Belva untuk meminta cerai darinya.
Vita menganggukkan kepalanya. "Iya. Dia ada di kamarnya. Kamu mau langsung ke sana atau makan dulu aja?"
"Saya bertemu Belva dulu, Ma. Saya minta maaf karena sudah membuat Belva seperti ini. Saya akan perbaiki semuanya."
"Buktikan kepada kami bahwa kamu bisa memperbaiki semuanya, Lang. Kami tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian. Tapi sebagai orangtua, kami mau anak kami bahagia. Itu saja."
"Baik, Ma."
Gilang naik ke lantai dua dengan tergesa. Dalam pikirannya, dia harus segera bertemu dengan Belva. Kalau bisa, Gilang akan membawa Belva ke Jakarta agar perselisihan seperti ini akan minim terjadi. Tidak peduli dengan kuliah Belva di sini.
Salah satu penyebab hubungan mudah retak adalah hubungan mereka yang jarak jauh. Apalagi dengan Belva yang sering overthingking dan lebih banyak tidak percayanya pada Gilang.
Dua landasan terpenting untuk hubungan jarak jauh adalah kepercayaan dan komunikasi. Tapi Gilang tidak memiliki keduanya.
Jadi, bagaimana Belva bisa percaya dengan Gilang jika Gilang saja tidak memiliki dua hal tersebut?
Gilang bersyukur karena pintu kamar Belva tidak terkunci. Gilang bisa masuk begitu saja tanpa mengetuknya terlebih dahulu.
"Kamu ngapain ke sini?" Belva menatap Gilang dengan tatapan benci. Bahkan dia tak lagi memanggil kakak kepada suaminya itu.
"Kamu manggil kakak apa, Bel?" Gilang mencoba memperjelas lagi.
"Aku nggak peduli. Keluar! Aku nggak mau ketemu sama kamu kecuali di pengadilan nanti."
"Kamu nggak mau dengar penjelasan kakak dulu, Bel?"
"Aku nggak butuh. Keluar sekarang!"
"Tapi keputusan final itu bisa dibuat setelah mendengar penjelasan dari apa yang sebenarnya terjadi, Bel."
Belva menggelengkan kepalanya. "Aku nggak peduli."
"Kamu benar-benar mau kita bercerai, Bel? Kamu yakin kamu nggak akan pernah menyesal atas keputusan kamu?"
Sekarang Belva menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Aku nggak akan pernah menyesal. Pergi dari sini! Aku udah nggak mau lihat kamu lagi."
Gilang menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan. Mengatakan pada dirinya sendiri agar dia tetap sabar menghadapi sikap Belva yang seperti ini.
"Bel..."
Baru saja Gilang melangkahkan kakinya untuk mendekati Belva dan ingin memeluknya, Belva sudah berteriak meminta Gilang untuk tidak mendekatinya.
"Jangan coba-coba mendekat! Aku udah nggak mau dekat-dekat kamu lagi."
"Lagi pms, ya, Bel?"
Belva memalingkan wajahnya ke arah lain. "Bukan urusan kamu," ucapnya dengan ketus. "Keluar kamu dari sini, tolong!"
Belva segera membalikkan badannya membelakangi Gilang. Di saat itu juga, air matanya kembali menetes. Tapi Belva buru-buru mengusapnya. Belva tak ingin Gilang melihat dia yang selalu lemah jika berhadapan dengan Gilang.
Tak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang ada, Gilang memeluk Belva dari belakang dengan begitu erat.
Tak peduli seberapa kuat penolakan Belva atas pelukan yang Gilang berikan. "Lepas!" ucap Belva dengan penuh penekanan.
"Tidak akan sebelum kamu mendengarkan penjelasan kakak, sayang."
"Jangan panggil aku sayang. Aku nggak tau siapa aja yang kamu panggil sayang selain aku."
Gilang semakin mengeratkan pelukannya di tengah usaha keras Belva untuk melepaskan diri.
"Cuma kamu yang kakak panggil sayang."
"Bohong!" Belva menampik ucapan Gilang dengan cepat. "Aku udah nggak percaya lagi sama kamu. Kamu nggak usah jelasin apa-apa lagi. Percuma!"
"Diam, Bel. Kamu nggak capek berontak terus gini?"
"Aku bakalan diam kalau kamu lepasin aku."
"Enggak!" ucap Gilang dengan tegas.
Semakin keras usaha Belva untuk melepaskan diri. Semakin kencang pula pelukan yang Gilang berikan.
Dan semakin lama, usaha Belva untuk melepaskan diri pun semakin melemah. Yang tersisa hanyalah isak tangis yang terdengar begitu pilu.
"Aku capek. Aku nggak mau lagi maksa kamu untuk ada di hidup aku."
Gilang mencium pundak Belva. "Kakak nggak merasa terpaksa, Bel. Kakak yang mau ada di hidup kamu."
"Percuma kalau hati kamu tidak buat aku. Yang ada kamu makin buat aku sakit hati."
"Tapi di hati kakak sekarang hanya ada kamu, Bel."
"Bohong! Di hati kamu masih ada Mikha. Masih ada Jihan juga. Kemarin kamu habis pulang liburan, kan, sama dia? Jangan pikir aku nggak tau. Aku balik lagi ke Surabaya juga karena aku lihat kamu nunggu koper bareng sama Jihan. Jahat, kamu! Udah aku bilang, kalau kamu nggak cinta, lepasin aku! Jangan siksa aku dengan cara kamu bermesraan dengan wanita lain."
Gilang begitu gemas mendengar Belva berbicara terlalu panjang. Tidak mamanya, Mikha, atau Belva sendiri, kalau sudah marah bisa bicara panjang lebar begitu dengan sangat lancar.
Percuma juga Gilang banyak bicara berusaha untuk menjelaskan. Belva tetap tidak akan mendengarkan dan selalu mengikuti apa yang ada dalam pikirannya sendiri.
"Kakak nggak ada pergi sama dia, Bel. Terserah kamu mau percaya atau tidak. Tapi yang jelas, kakak pergi untuk bekerja. Dia pun juga. Kami bertemu saat kami baru saja turun dari pesawat kemarin. Jadi tidak pernah ketemu sama sekali waktu di Vietnam. Di pesawat saja kami tidak bertemu."
Perlahan, Gilang melepaskan pelukannya. "Kakak keluar dulu. Nanti kakak ke sini lagi, ya," ucapnya lalu keluar dari kamar Belva. Membiarkan Belva sendiri untuk mencerna sedikit penjelasan yang Gilang berikan tadi.
🌻🌻🌻
"Bel, Belva? Makan dulu yuk, Nak."
Vita membuka pintu kamar Belva yang tidak terkunci. Jika tidak terkunci seperti itu, tanda siapapun boleh masuk ke dalam kamarnya. Tanda bahwa dia menerima siapapun yang masuk ke dalam kamarnya.
"Bel?"
Tak ada jawaban apapun. Dilihatnya kamar Belva yang terlihat kosong. Vita pikir Belva ada di dalam kamar mandi. Tapi saat berulangkali Vita mengetuk pintu kamar mandi, juga tak mendapatkan respon apapun.
Bahkan pintu itu dengan mudahnya terbuka saat Vita mencoba untuk membukanya. Belva tidak ada di dalam kamar mandi.
"Kemana anak itu? Belvaaa!" Panggil Vita dengan mengerahkan seluruh tenaganya untuk berteriak memanggil Belva.
Tak berselang lama, Gilang turut masuk ke dalam kamar Belva. "Kenapa, Ma?" tanya Gilang tak kalah panik.
"Belva nggak ada, Lang. Tadi kamu dengar dia keluar bawa mobil nggak?"
"Kayaknya tadi nggak ada suara mobil yang keluar."
"Aduh, Lang. Anak itu pergi nggak pamitan. Coba telepon, deh, Lang!"
"Nomor saya diblokir Belva, Ma."
"Ya ampun..."
Vita pun mengeluarkan handphonenya untuk menghubungi Belva. Setelah menemukan kontak Belva, Vita segera menekan tombol memanggil.
Suara handphone Belva pun terdengar jelas masih ada di dalam kamar. Vita dan Gilang saling berpandangan. Lalu mereka mencari keberadaan handphone tersebut.
Setelah di telusuri dan tidak ditemukan di manapun tempat yang mereka lihat. Di atas meja, atau di kamar mandi, atau di atas ranjang di bawah bantal atau selimut mungkin, atau di atas sofa. Suara handphone tersebut justru terdengar jelas dari dalam lemari.
"Kok, di lemari suaranya? Buka, Lang!"
"Iya, Ma."
Gilang menggeser pintu lemari Belva yang besar dan tinggi. Alangkah terkejutnya Gilang melihat Belva yang sedang berbaring di bawah baju-bajunya yang menggantung dan tengah mengerjapkan kedua matanya sambil melihat handphone.
"Ya ampun, Bel."
"Belvaaa... Kamu ngapain di situ?"
Vita dan Gilang kompak bersuara. Yang pasti terkejut kenapa Belva kepikiran untuk masuk ke dalam lemari?
Memang lemari itu begitu besar jika dibandingkan dengan tubuh Belva yang mungil. Tapi apa iya harus masuk ke dalam lemari dan tiduran di sana?
"Ayo keluar. Nggak pengap, ya, di dalam sini?" Gilang memegang tangan Belva untuk membantunya bangun dan keluar dari dalam lemari.
Belva segera menarik tangannya. "Ih, jangan pegang-pegang."
"Oke, kakak nggak pegang kamu." Gilang mengalah, membiarkan Belva bangun dan keluar sendiri dari dalam lemari.
Di sisi lain, Vita dan Gilang berusaha untuk menahan tawanya melihat tingkah Belva yang mirip sekali dengan anak kecil kalau sedang marah.
Ada cewek yang sudah mahasiswi kalau ngambek masuk ke dalam lemari seperti ini?
"Kamu ngapain coba pakai masuk ke lemari seperti ini, Bel?"
"Males ketemu dia," ucapnya ketus sambil berlalu dan masuk ke kamar mandi.
Vita dan Gilang kembali berpandangan. Lalu tertawa bersama menertawakan kekonyolan Belva kali ini. "Maaf, ya, Lang. Belva masih sering kayak anak kecil begitu."
"Enggak apa-apa, Ma. Saya suka, kok. Apapun yang ada di dalam diri Belva, saya menyukainya. Termasuk kekanakannya seperti ini."
Vita tersenyum bahagia mendengar ucapan Gilang yang terang-terangan mengatakan bahwa dia menyukai semua yang ada pada diri Belva.
Vita tentu tak perlu khawatir lagi akan kebahagiaan Belva jika Gilang sudah berkata seperti ini.
Semoga semua bukan hanya omong kosong belaka. Semoga Gilang benar-benar menyayangi Belva. Itu harapan Vita.
🌻🌻🌻
masih dalam masa pemulihan. maaf kalau tambah absurd. 😴😴
membohongi belva..
LDR-an ujung"a bnyk pelkor dan pebinor,,apalagi pernikahan belva-gilang msh disembunyikan