NovelToon NovelToon
Petaka Jelangkung

Petaka Jelangkung

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / TKP / Hantu / Tumbal
Popularitas:809
Nilai: 5
Nama Author: lirien

Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.

Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.

Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ketindihan

Sore itu, Ratna sudah mengenakan pakaian rapi. Jilbab instan membingkai rambut panjangnya yang kini tersembunyi rapi. Usai pertemuan dengan Tantri, rasa rindunya pada ayah dan ibunya tak lagi terbendung. Ia memutuskan pergi ke pemakaman, menumpang ojek hingga akhirnya tiba di pintu gerbang makam umum.

Sebelum masuk, Ratna membeli setangkai mawar merah dan sebungkus bunga tabur. Langkahnya tergesa melewati deretan nisan, kebanyakan sudah dipagari tembok. Hatinya terasa kian berat saat menapaki jalan setapak itu.

Ia berhenti di hadapan dua pusara yang mulai ditumbuhi rerumputan liar. Perlahan, Ratna jongkok dan mencabuti satu per satu rumput yang menutupi tanah. Tangannya bergetar, namun ia tetap melanjutkan hingga makam itu tampak lebih rapi.

Di nisan sederhana itu tertera nama Mbak Lestari dan Mas Bagus. Air mata Ratna merembes tanpa bisa ditahan. Ia membuka botol air yang dibelinya tadi, lalu menyiramkannya ke atas pusara.

“Maaf, ya, Bu… Ayah. Ratna belum bisa perbaiki makam kalian. Doain, nanti kalau sudah lulus dan punya kerjaan, Ratna janji makam kalian bakal dibagusin.” Suaranya lirih, penuh kerinduan. Tangannya mengusap pelan tanah yang kini basah.

Setelah itu, ia menaburkan bunga tabur dengan hati-hati. Kedua tangannya terangkat, mata terpejam. Surah Al-Fatihah ia lantunkan, lalu doa-doa ia panjatkan agar Allah melimpahkan kebahagiaan bagi kedua orangtuanya di surga.

Begitu selesai, Ratna berdiri. Baru hendak melangkah pulang, angin kencang berembus, membuat jilbabnya sedikit terangkat. Ia menyipitkan mata, pandangannya jatuh pada sebuah pohon besar di seberang makam. Napasnya tercekat—di sana, seorang perempuan bergaun putih tampak berdiri. Sosok itu melambaikan tangan, seolah memanggil Ratna untuk mendekat.

......................

“Diminum, Mas.” Seorang gadis menyodorkan secangkir kopi hitam yang masih mengepul hangat. Malam itu, Pak Agus bertandang ke rumah Bu Tutik, membawa serta beberapa makanan yang dibelinya di perjalanan.

Awalnya, Pak Agus sempat berbincang akrab dengan kedua orangtua Bu Tutik. Meski baru tiga kali berkunjung, suasana kekeluargaan terasa begitu lekat. Setelah berbasa-basi, ia meminta izin untuk berbincang dengan putri mereka di teras. Tentu saja diperbolehkan, dengan catatan jangan sampai larut malam.

Di teras rumah, mereka duduk di kursi kayu berhadapan dengan tamaN bunga kecil yang dipenuhi lampu-lampu hias. Di sampingnya, kolam ikan dengan air mancur mini mengalir lembut, menambah kesejukan suasana malam itu.

Perbincangan mereka mengalir pada kabar tentang Agam yang kini sedang dirawat setelah terjatuh dari tangga. Desas-desus beredar bahwa kejadian itu bukan murni kecelakaan, melainkan karena ia melihat sesuatu yang tak kasatmata di rumah.

“Apa Mas nggak merasa aneh? Sejak Vani meninggal, sekarang gantian Agam jatuh sakit. Kayak ada sesuatu yang janggal,” ujar Bu Tutik sambil menatap wajah Pak Agus penuh arti.

Pak Agus terdiam cukup lama, pikirannya seperti diseret pada sesuatu yang mengganjal. Ia menoleh ke arah Bu Tutik yang duduk di kursi sebelah kiri, hanya terpisah oleh sebuah meja kecil di antara mereka.

“Apa Mas harus ke tempat kemah lagi?” tanyanya lirih, seperti berbicara pada dirinya sendiri.

“Untuk apa?” Bu Tutik menatap heran.

“Ya… buat mastiin aja kalau mereka nggak ngelakuin hal aneh-aneh di sana. Paling, Mas juga bisa mampir ke rumah Ki Wangsit, coba tanya-tanya.”

Keraguan jelas tergambar di wajahnya. Bu Tutik pun ikut terdiam, pikirannya ikut larut. Meski Pak Agus dikenal sebagai orang yang selalu berpegang pada logika, kali ini sorot matanya menunjukkan sesuatu yang berbeda—ada beban, ada ketakutan. Ia bisa memahami, mungkin karena tanggung jawab kegiatan kemarin di hutan memang sepenuhnya berada di pundak Pak Agus.

“Ya, Mas cuma takut aja… jangan sampai ada yang mereka sembunyiin. Atau, kalau-kalau ada sesuatu yang mereka bawa pulang dari hutan itu, terus malah bikin celaka.” Suaranya parau, lalu diakhiri helaan napas panjang.

Bu Tutik menunduk sebentar, kemudian menatapnya lagi. “Kalau menurut Mas itu yang terbaik, coba aja. Tapi… Kenapa nggak nyoba desek dulu salah satu dari mereka, Mas?”

Pak Agus mengangguk mantap. “Oke, Mas coba dulu.”

Ia mengangkat gelas kopi dari atas meja, lalu menyeruputnya pelan. Kehangatan cairan pahit itu tak cukup menenangkan hatinya. Hanya ada harap dalam benaknya, semoga saja apa yang menimpa Kevin dan teman-temannya tidak ada kaitannya dengan kegiatan kemah kemarin.

......................

Sudah lewat tengah malam, namun Bobi masih saja terjaga. Dari tadi tubuhnya hanya berguling ke kanan dan ke kiri, resah tak menentu. Rasa takut menyelimuti, seakan gangguan kemarin bisa datang kembali kapan saja. Entah siang, entah malam, kegelisahan itu selalu mengekornya.

Akhirnya ia turun dari ranjang. Dengan langkah gontai, Bobi berjalan menuju meja belajarnya. Laci dibuka, tangannya meraih sebotol kecil obat tidur. Satu tablet ia telan, lalu ia kembali merebahkan diri. Guling dipeluk erat, seakan bisa menjadi benteng dari rasa takut yang terus menghantui.

Tak lama, efek obat mulai merambat. Kelopak matanya semakin berat, tubuhnya rileks, hingga akhirnya ia terlelap. Namun siapa sangka, justru di dalam lelap itu Bobi merasakan teror paling mengerikan sepanjang hidupnya.

Tubuhnya mendadak kaku. Dada seperti ditindih batu besar, membuat napasnya sesak. Otaknya setengah sadar, matanya ingin terbuka, namun raganya lumpuh. Dan yang lebih menakutkan—ia bisa melihat jelas isi kamarnya, meski pandangannya remang.

Dahi Bobi berkerut. Ia melihat sesuatu bergerak di atas atap kamarnya—seorang perempuan. Tubuhnya merangkak, pakaian putih lusuh menggantung di badannya, rambut panjangnya berantakan menutupi wajah. Lidahnya menjulur, panjang hingga menyentuh dada.

Bobi ingin berlari. Ingin bangkit. Tapi jangankan berdiri, untuk menggerakkan jari pun ia tak sanggup. Keringat dingin membanjiri tubuhnya.

Sosok itu perlahan menuruni dinding, bergerak seperti laba-laba. Hingga akhirnya ia tepat berada di atas tubuh Bobi, menatap dengan mata melotot. Napasnya terdengar kasar.

Wajahnya kian mendekat, mengendus tubuh Bobi. Pemuda itu hampir menangis, ujung matanya basah. Tubuhnya makin gemetar ketika tangan si perempuan bergerak meraba. Malam ini sialnya, ia hanya mengenakan kaus oblong tipis dan celana boxer.

Sentuhan itu begitu menjijikkan. Kulitnya terasa perih ketika bersentuhan dengan tangan hitam bersisik, kuku panjang nan tajam, seolah siap mengoyak. Bobi hanya bisa pasrah. Belaian itu kemudian merayap ke wajahnya. Si perempuan membuka mulut, air liur menetes dengan bau busuk menusuk. Lidah panjangnya hampir menjilat kulit Bobi.

Namun tepat pada detik itu, suara alarm ponselnya meraung nyaring.

Bobi langsung terbangun dengan napas terengah. Ia duduk, memegangi dada, keringat mengucur deras di dahinya. Tangannya meraba lengan dan kaki—yang tadi terasa lengket dan basah—ternyata tak ada apa-apa. Semua baik-baik saja. Hanya mimpi.

Mimpi yang begitu nyata, menakutkan.

“Sialan… mimpi apa barusan? Brengsek!” serunya parau, masih berusaha menenangkan napas.

Ia mengusap wajahnya kasar. “Kalau kayak gini terus… bisa-bisa gue gila.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!