NovelToon NovelToon
Hujan Di Istana Akira

Hujan Di Istana Akira

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Fantasi / Romansa Fantasi / Harem / Romansa / Dokter
Popularitas:402
Nilai: 5
Nama Author: latifa_ yadie

Seorang dokter muda bernama Mika dari dunia modern terseret ke masa lalu — ke sebuah kerajaan Jepang misterius abad ke-14 yang tak tercatat sejarah. Ia diselamatkan oleh Pangeran Akira, pewaris takhta yang berhati beku akibat masa lalu kelam.
Kehadiran Mika membawa perubahan besar: membuka luka lama, membangkitkan cinta yang terlarang, dan membongkar rahasia tentang asal-usul kerajaan dan perjalanan waktu itu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon latifa_ yadie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Suara Dari Laut

Sudah seminggu sejak dunia “baru” itu terbentuk.

Langit selalu biru, ombak selalu tenang, dan angin selalu lembut.

Tidak ada badai, tidak ada hujan, tidak ada malam.

Seolah waktu berhenti di sore yang sempurna.

Awalnya terasa damai.

Tapi semakin lama, aku mulai sadar—kedamaian yang tidak berubah… bukanlah kedamaian. Itu kebekuan.

Aku duduk di tepi pantai, kaki terbenam di pasir hangat.

Aki berlari-lari di dekat air, menendang buih ombak sambil tertawa kecil.

Tawa itu membuat hatiku sedikit lega, tapi entah kenapa, di balik senyumku ada perasaan aneh: sesuatu yang seharusnya bergerak… kini diam terlalu lama.

“Sensei!” seru Aki, berlari menghampiriku sambil membawa sesuatu dari air.

“Lihat, aku nemu ini!”

Dia menunjukkan kerang berwarna perak, kecil, tapi bersinar samar seperti memantulkan cahaya bulan.

Aku tersenyum. “Cantik banget. Di mana kau menemukannya?”

“Di dalam air. Tapi aneh… waktu aku sentuh, lautnya bersuara.”

Aku menatapnya heran. “Bersuara?”

Dia mengangguk cepat, lalu menaruh kerang itu di telingaku.

Dan benar—ada suara.

Tapi bukan suara ombak.

Bukan juga gema laut.

Itu… suara seseorang.

“Mika…”

Aku langsung tertegun.

Suara itu bukan suara asing.

Itu suara Akira.

Aku memejamkan mata, mencoba mendengarkan lebih jelas.

“Jika kau mendengar ini, maka dunia belum selesai. Gerbang ketiga menunggu di bawah laut…”

Aku menarik kerang itu dari telingaku, napasku tersengal.

Aki menatapku bingung. “Sensei? Kenapa?”

Aku menatap laut yang tenang. “Dia… Akira. Dia memanggilku.”

Malamnya, aku tidak bisa tidur.

Langit tetap terang, seolah matahari enggan tenggelam.

Aki sudah tertidur di dalam pondok kecil kami, tapi aku masih duduk di luar, menatap laut yang memantulkan cahaya seperti kaca cair.

Suara itu terus terngiang di kepalaku.

“Gerbang ketiga menunggu di bawah laut.”

Gerbang ketiga.

Selama ini aku pikir segalanya sudah selesai—kami sudah menutup siklus waktu, menulis dunia baru. Tapi kalau masih ada gerbang lain, berarti dunia ini belum stabil.

Mungkin itulah kenapa waktu tidak bergerak.

Aku berdiri dan melangkah ke tepi pantai.

Ombak kecil menyentuh kakiku pelan, dingin tapi menenangkan.

“Akira…” bisikku ke laut. “Apa yang harus kulakukan sekarang?”

Tidak ada jawaban.

Hanya suara ombak, lembut tapi terasa seperti napas panjang dunia yang sedang menahan sesuatu.

Keesokan harinya, Aki tampak murung.

Dia duduk di depan pondok sambil menatap laut.

“Sensei…” katanya pelan. “Aku mimpi aneh.”

Aku duduk di sebelahnya. “Mimpi apa?”

“Aku melihat laut terbelah, dan dari dalamnya muncul tangan besar dari cahaya. Tangannya menarik sesuatu ke bawah… sesuatu yang mirip ayah.”

Aku terdiam. “Akira?”

Dia mengangguk pelan. “Tapi anehnya, dia nggak terlihat kesakitan. Kayak dia memang harus pergi ke sana.”

Aku menarik napas panjang. “Mungkin itu bukan mimpi.”

Dia menatapku bingung.

Aku menatap laut. “Aki, aku dengar suaranya kemarin. Dari kerang itu.”

Aki memegang kerang itu erat. “Kau dengar juga?”

Aku mengangguk. “Dia bilang gerbang ketiga ada di bawah laut.”

Aki menunduk. “Berarti dunia ini belum selesai ya, Sensei?”

Aku tersenyum pahit. “Sepertinya begitu. Dunia ini cuma… permukaan dari sesuatu yang lebih dalam.”

Kami memutuskan menyelidiki malam itu juga.

Air laut terlalu tenang untuk disebut laut. Tidak ada gelombang, tidak ada arus.

Hanya permukaan yang memantulkan bintang seperti cermin raksasa.

Aki memegang tanganku erat. “Kau yakin ini aman?”

Aku mengangguk. “Tidak ada hal aman di dunia waktu, Aki. Tapi kalau Akira masih di bawah sana… aku harus tahu kenapa.”

Kami berjalan ke air perlahan.

Airnya dingin, tapi anehnya terasa seperti menyentuh udara, bukan air sungguhan.

Begitu kami mencapai lutut, cahaya mulai muncul dari bawah — biru, lembut, membentuk pola spiral yang terus berputar.

“Apa itu?” tanya Aki kagum.

“Gerbang…” jawabku lirih. “Gerbang ketiga.”

Cahaya spiral itu meluas, lalu tiba-tiba arus kuat menarik kami ke bawah.

Aku berteriak, tapi suaraku lenyap, dan tubuhku terhisap ke dalam cahaya.

Seketika, semua jadi gelap.

Ketika aku membuka mata, aku berada di bawah laut—tapi airnya tidak basah.

Aku bisa bernapas.

Di sekelilingku, ikan-ikan melayang seperti bintang di langit malam, dan di dasar laut, berdiri bangunan besar yang tak asing: Istana Hayashida.

Aku hampir tak percaya.

“Istana itu…” bisikku. “Tempat pertama aku bertemu Akira.”

Aki berdiri di sampingku, matanya berbinar. “Sensei, tempat ini masih hidup…”

Kami berjalan menuju gerbang istana.

Di atasnya, terukir simbol spiral tiga lapis—lebih rumit dari sebelumnya.

Saat kami menyentuh pintunya, dunia bergetar, dan suara lembut bergema dari segala arah.

“Selamat datang kembali, Mika.”

Suara itu bukan suara Akira.

Lebih dalam, lebih tua.

“Kau telah melewati dua gerbang. Tapi gerbang ketiga bukan tentang waktu… melainkan tentang asalnya.”

Aku menatap sekeliling. “Siapa kau?”

“Aku adalah Laut — ingatan dunia sebelum waktu lahir.”

Aki melangkah maju. “Kau yang memanggil ayah?”

“Aku memanggilnya, ya. Tapi dia memilih tinggal di arusku. Karena hanya di sini, waktu bisa tidur tanpa mati.”

Aku menatap dasar laut yang memantulkan cahaya biru. “Jadi Akira di sini? Di bawah laut ini?”

“Dia menjaga inti waktu. Tapi kini, dunia di permukaan mulai retak lagi. Kau harus memutuskan — apakah waktu akan terus berdetak, atau dibiarkan tidur selamanya.”

Aku menatap Aki.

“Kalau waktu tidur selamanya… dunia di atas akan tetap damai, tapi beku.”

Aki mengangguk pelan. “Dan kalau terus berdetak, dunia akan terus berubah… dan berakhir suatu hari nanti.”

Aku tersenyum lemah. “Sepertinya setiap pilihan selalu punya kehilangan.”

“Begitulah sifat waktu,” jawab suara itu lembut. “Tapi ingat, Mika… waktu tidak butuh dikendalikan. Ia hanya butuh diingat.”

Tiba-tiba, dari dasar laut muncul cahaya besar.

Aku dan Aki mundur beberapa langkah.

Cahaya itu membentuk sosok manusia — tubuh dari air dan cahaya, wajahnya samar tapi aku tahu… itu dia.

“Akira…”

Suaraku hampir pecah.

Dia menatapku dengan senyum yang tak pernah berubah.

“Mika. Dunia baru yang kalian ciptakan indah sekali. Tapi ingat… dunia yang indah tidak bisa hidup tanpa akhir.”

Air mata menetes tanpa bisa kutahan. “Aku ingin kau kembali…”

Dia menggeleng pelan. “Aku sudah menjadi bagian dari laut ini. Tapi kau dan Aki… masih punya waktu kalian sendiri.”

Dia melangkah maju, menyentuh bahuku. Sentuhannya dingin tapi menenangkan.

“Bawalah ingatan dunia ini ke permukaan. Jangan biarkan waktu tertidur lagi. Biarkan ia mengalir, meski suatu hari akan hilang.”

Aki mendekat, memegang tangannya juga.

“Kalau ayah tetap di sini… kami akan datang setiap kali hujan turun.”

Akira tersenyum. “Dan setiap kali itu terjadi… aku akan menyambut kalian dengan ombak.”

Cahaya dari tubuhnya perlahan memudar, menyatu dengan laut.

Aku ingin menahannya, tapi tanganku menembus air.

Lalu laut mulai bergetar, arus berputar, dan kami berdua terangkat ke atas, menembus cahaya biru yang membanjiri seluruh ruang.

Ketika aku sadar lagi, aku berbaring di pasir, laut kembali tenang.

Aki di sampingku, memegang kerang perak itu erat.

“Dia pergi lagi, ya, Sensei…” katanya lirih.

Aku mengangguk pelan. “Ya. Tapi kali ini bukan perpisahan. Dia cuma pulang.”

Aki menatap langit, dan akhirnya—untuk pertama kalinya sejak dunia ini ada—matahari mulai bergerak turun ke cakrawala.

Senja.

Aku tersenyum. “Waktu mulai berjalan lagi.”

Aki menatapku dengan mata berkaca. “Dan kita masih di sini.”

Aku mengangguk. “Kita akan terus di sini, selama waktu masih mau berdenyut.”

1
Luke fon Fabre
Waw, nggak bisa berhenti baca!
Aixaming
Nggak kebayang akhirnya. 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!