Cantika yang bekerja sebagai kurir harus menerima pernikahan dengan yoga Pradipta hanya karena ia mengirim barang pesanan ke alamat yang salah .
Apakah pernikahan dadakan Cantika akan bahagia ??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anjay22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mulai latihan dengan ibu mertua
Besok paginya, Cantika bangun lebih cepat dari alarm. Saking gugupnya, dia bahkan udah siap dari jam lima pagi. Mandinya pakai sabun ekstra wangi, rambutnya disisir rapi, bahkan pakai bedak tipis biar nggak keliatan kucel. Padahal masih ngantuk banget.
Untuk sementara Cantika dilarang bekerja sebagai kurir ,dan difokuskan untuk belajar ,terutama belajar kepribadian .
Begitu keluar kamar, dia ketemu Yoga yang baru selesai mandi juga. Rambutnya masih basah, kausnya putih sederhana, tapi entah kenapa aura “bos” itu selalu ikut nempel.
“Kamu udah siap?” tanya Yoga sambil mengikat jam tangan.
“Udah, walaupun belum siap dicerewetin sepanjang hari,” jawab Cantika sambil menguap.
Yoga menyeringai. “Sabar. Mama memang keras, tapi tujuannya baik.”
“Ya… semoga.”
Dalam hati: Semoga nggak dibentuk jadi patung porselen yang harus duduk tegak 24 jam.
Setelah sarapan seadanya, mereka turun ke ruang tengah. Bu Ratna sudah menunggu, duduk di sofa seperti kepala kerajaan menilai calon prajuritnya.
Cantika langsung nyengir canggung. “Pagi, Ma…”
“Pagi,” jawab sang ibu singkat,tanpa senyum. “Ikut saya !”
Yoga ingin ikut, tapi ibunya mengangkat tangan.
“Kamu kerja. Ini urusan perempuan.”
Cantika sempat menoleh ke Yoga dengan tatapan tolong aku, tapi Yoga cuma memberi tatapan kamu bisa.
Dan dimulailah sesi pelatihan hari itu.
---
Kelas Jalan Elegan
Pelajaran pertama: cara berjalan.
Di aula kecil rumah itu, Bu Ratna menyuruh Cantika berjalan bolak-balik. Bukan berjalan biasa, tapi pake buku ditaruh di atas kepala.
“Ma… ini kayak hukuman zaman kerajaan…” rengek Cantika sambil nahan buku biar nggak jatuh.
“Ini latihan postur. Jalan kamu terlalu… mengayun.”
“Itu bawaan dari lahir, Ma…”
“Paksakan.”
Cantika akhirnya jalan lagi. Tiga langkah…
Empat langkah…
Langkah kelima—BRAK. Buku jatuh, nyaris kena kaki sendiri.
“Saya yakin masa kecil saya sangat menyenangkan sebelum ada latihan ini…” gumamnya.
Bu Pradipta menghela napas panjang. “Kita ulangi.”
“Astaga…”
---
Kelas Senyum Sopan
Setelah jalan, masuk materi kedua: senyum.
“Coba tersenyum,” perintah Bu Ratna
Cantika tersenyum… seperti biasa: lebar, tulus, dan agak konyol.
“Salah.”
“Lho? Kenapa salah? Ini senyum asli dan gratis, Ma…”
“Senyum itu harus elegan. Tidak boleh terlalu lebar. Kamu bukan lagi di pasar,kamu itu Menantu keluarga Pradipta jadi kamu harus bisa membawa nama Pradipta dengan kesan yang baik .”
“Eh ehe… iya sih. Tapi kalau senyum terlalu kecil, nanti aku kayak menyeringai jahat, Ma.”
“Coba sedikit saja, angkat bibir tipis-tipis.”
Cantika pun mencoba. Hasilnya?
Ia terlihat kayak menahan kentut.
Bu Pradipta sampai memejamkan mata. “Oh Tuhan…”
“Ma… ini bibir saya dari lahir begini. Kalau ditahan jadi aneh…”
“Kita perjuangkan yang terbaik. Ulang.”
Cantika hampir putus asa. Mau nangis pun bingung ekspresi mana yang boleh.
---
Kelas Cara Bicara
Setelah itu…
“Kamu bicara terlalu cepat,” komentar Bu Ratna ketika mereka duduk di ruang tamu.
“Eh? Masa sih? Kan saya cuma—”
“Jangan memotong.”
“Oh… iya Ma—“
“Dan jangan terlalu banyak suara ‘oh’, ‘eh’, dan ‘ya ampun’.”
Cantika membeku. “Tapi itu… kepribadian saya, Ma…”
“Kita benahi.”
Cantika menelan ludah. “Baik, Ma…”
---
Kelas Memahami Etika Meja Makan
Setelah berjalan, tersenyum, dan bicara…
Tibalah ke medan perang paling menakutkan: meja makan formal.
Cantika duduk di kursi, melihat meja penuh sendok garpu berbagai ukuran.
“Ma… ini senjata apa aja ya?”
“Garpu salad, garpu utama, sendok dessert, pisau steak—”
Cantika mengangkat tangan. “Ma… kalau saya cuma makan ayam krispi harus pakai yang mana?”
Bu Pradipta memejamkan mata panjang sekali.
“Kamu harus belajar. Acara bisnis sering pakai pengaturan meja ini.”
Cantika mencoba mengambil garpu salad tapi malah jatuh ke piring, bunyinya nyaring banget.
“Mampus…” gumamnya lirih.
“Angkat dengan tenang, Cantika.”
“Ma… tangan saya gemeteran.”
“Tenangkan.”
“Tapi Ma, saya takut salah ambil. Nanti dikira mau nusuk orang.”
Kali ini ibu mertua benar-benar menutup wajah dengan tangan.
“Yoga… kamu memilih istri yang mendebarkan.”
Dalam hati Cantika:
Didebar-debarkan, Ma, bukan mendebarkan.
---
Istirahat (yang tidak terasa istirahat)
Setelah beberapa jam latihan intens, Bu Pradipta akhirnya mengizinkan istirahat sebentar.
Cantika langsung rebahan di sofa sambil memegangi punggung. “Astaga… kayak ikut lomba ketahanan mental.”
Bu Pradipta duduk di kursi seberang, menatapnya. Tapi kali ini tatapannya tidak seketat tadi. Lebih… menilai.
“Cantika.”
“Iya, ma?” Cantika duduk tegak lagi, refleks karena takut ditegur.
“Kenapa kamu mau melakukan semua ini?”
Nada suaranya berbeda—lebih lembut.
Cantika kaget. Matanya melebar.
“Karena… saya nggak mau jadi batu sandungan buat Yoga. Saya nggak mau orang luar bilang saya cuma numpang hidup. Saya mau orang lihat saya sebagai bagian dari keluarga. Dengan cara saya sendiri.”
Jawaban itu membuat ruangan hening.
Bu Ratna menatap dengan senyum kecil Cantika tanpa sinis, tanpa kritik.
“…Kamu keras kepala,” katanya akhirnya.
Cantika mengangguk. “Ya, Ma. Dari kecil.”
“Tapi… tekadmu saya lihat bagus.”
Cantika menelan ludah. “Terima kasih Ma…”
Tiba-tiba ibu mertua berdiri. “Baik. Kita lanjut.”
Cantika langsung limbung. “Lanjut apa Ma? Saya baru dikasih harapan… langsung disuruh latihan lagi…”
---
Sore Hari — Yoga Pulang
Ketika Yoga tiba di rumah, dia menemukan Cantika duduk di sofa dengan wajah lelah seperti habis maraton.
“Gimana latihan hari ini?” tanya Yoga sambil duduk di sebelahnya.
Cantika menatapnya dengan tatapan kosong. “Mas Yoga…”
“Ya?”
“Kalau aku tiba-tiba hilang seminggu, itu artinya aku kabur ke gunung buat jadi petapa.”
Yoga spontan tertawa.
Cantika manyun. “Aku serius. Aku belajar jalan sambil bawa buku, belajar senyum elegan, belajar makan kayak bangsawan, belajar ngomong pelan… Duh Mas… kalau salah satu syaraf aku putus, tanggung jawab ya…”
Yoga mengusap kepala istrinya lembut. “Kamu hebat.”
“Kamu ngomong gitu karena kamu nggak lihat aku tadi hampir nusuk garpu ke piring sampai Bunyi KLANG.”
Yoga tertawa lagi.
“Tapi…” Cantika menyandarkan kepala di bahunya, “aku lakuin ini karena aku nggak mau bikin kamu malu.”
Yoga memegang tangannya. “Cantika… Kamu nggak perlu berubah jadi orang lain. Niat kamu saja sudah cukup.”
“Tapi mama—”
“Biarkan aku yang urus Mama.”
Yoga mengecup puncak kepala Cantika.
Lembut. Hangat.
Dan pelan-pelan, lelah Cantika mencair.
“Besok masih latihan,” gumam Cantika lemas.
Yoga tersenyum kecil. “Kalau kamu capek… aku bisa bilang ke Mama buat pelan-pelan.”
Cantika menggeleng. “Nggak apa. Biar aku buktiin kalau aku bukan perempuan yang mudah tumbang.”
Yoga menatapnya lama, matanya lembut sekali. “Aku percaya.”
Cantika tersipu. “Mas Yoga…”
“Hm?”
“Nanti malam aku tidur duluan ya. Leher aku kaku banget. Aku takut kebanting mimpi.”
Yoga tertawa kecil. “Oke.”
Cantika berdiri sambil memutar bahu. “Aku pergi dulu ya sebelum lutut aku protes.”
Dan dengan langkah agak pincang, dia kembali ke kamar.
Pelatihan baru dimulai.
Konflik baru juga mulai mengumpul.
Tapi di balik semuanya, hubungan Cantika dan Yoga mulai berkembang ke arah yang lebih… dalam.
Saling pengertian, saling melindungi
Salut sama bu Ratna...yang sabar dan telaten. ngajari Cantyka...
Semangat Cantyka...nggak butuh waktu lama kamu pasti lulus pelatihan oleh mama mertu 😍😍
Cantyka pasti mudah belajar menjadi pendamping pebisnis.
Dedemit...aku suka caramu memperlakukan Cantyka....semoga langgeng yaaas😍😍