Beberapa bulan setelah ditinggalkan kedua orang tuanya, Rama harus menopang hidup di atas gubuk reot warisan, sambil terus dihantui utang yang ditinggalkan. Ia seorang yatim piatu yang bekerja keras, tetapi itu tidak berarti apa-apa bagi dunia yang kejam.
Puncaknya datang saat Kohar, rentenir paling bengis di kampung, menagih utang dengan bunga mencekik. Dalam satu malam yang brutal, Rama kehilangan segalanya: rumahnya dibakar, tanah peninggalan orang tuanya direbut, dan pengkhianatan dingin Pamannya sendiri menjadi pukulan terakhir.
Rama bukan hanya dipukuli hingga berdarah. Ia dihancurkan hingga ke titik terendah. Kehampaan dan dendam membakar jiwanya. Ia memutuskan untuk menyerah pada hidup.
Namun, tepat di ambang keputusasaan, sebuah suara asing muncul di kepalanya.
[PEMBERITAHUAN BUKAN SISTEM BIASA AKTIF UNTUK MEMBERIKAN BANTUAN KEPADA TUAN YANG SEDANG PUTUS ASA!
APAKAH ANDA INGIN MENERIMANYA? YA, ATAU TIDAK.
Suara mekanis itu menawarkan kesepakatan mutlak: kekuatan, uang,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sarif Hidayat, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 Kegemparan sekolah
“Maaf, Pak, bisa tolong buka gerbangnya. Saya ada urusan dengan Bapak Kepala Sekolah,” ujar Rama sopan kepada satpam.
Satpam itu, Pak Asep, memandangi pemuda di depannya. Ia merasa wajah itu tidak asing, tetapi sekeras apa pun ia mengingat, ia tak kunjung bisa menempatkannya.
“Mohon maaf, Nak. Apa kamu sudah membuat janji sebelumnya dengan Bapak Kepala Sekolah?” tanya Pak Asep.
'Sepertinya Pak Asep tidak mengenaliku,' pikir Rama. “Maaf, Pak Asep. Ini saya, Rama, murid sekolah ini. Apakah Bapak masih mengingat saya?” ucap Rama tanpa basa-basi.
Pak Asep langsung mengerutkan kening, mengamati Rama dari ujung rambut hingga ujung kaki. “Rama? Rama yang mana? Setahu saya, murid bernama Rama di sekolah ini hanya satu, dan dia sudah beberapa bulan ini tidak masuk sekolah,” ujar Pak Asep. Meskipun ia tidak terlalu akrab dengan Rama, tidak sulit baginya untuk mengingat semua wajah murid yang berlalu-lalang di sana.
“Nah, itu saya, Pak. Rama yang Bapak maksud itu adalah saya,” balas Rama.
Pak Asep kembali memperhatikan Rama beberapa saat, kerutan di dahinya semakin dalam. “Rama… kamu Rama murid kelas dua belas itu?” tanyanya memastikan. Ada keterkejutan yang jelas di wajahnya ketika akhirnya ia menyadari bahwa pemuda di hadapannya memang murid di SMA Bakti.
Rama tersenyum. “Iya, Pak. Jadi… apakah saya bisa masuk sekarang?”
“Baik, tunggu sebentar, Nak Rama.” Pak Asep segera membuka gerbang, kebetulan bel istirahat baru saja berbunyi.
Setelah gerbang terbuka, Pak Asep mempersilakan Rama masuk. Rama merogoh saku celananya dan menyerahkan selembar uang seratus ribu rupiah berwarna merah kepada Pak Asep.
“Terima kasih, Pak! Ini untuk Bapak, bisa buat beli rokok dan kopi,” ujar Rama.
“Ini… ti-tidak perlu, Rama,” tolak Pak Asep sungkan.
“Tidak perlu menolak, Pak. Lagipula jarang-jarang, kan, ada murid yang memberi uang rokok untuk Bapak,” Rama meyakinkan.
Pak Asep terdiam sesaat, memandangi Rama.
Penampilannya—dan wajahnya—memang tampak sangat berbeda dari Rama yang beberapa bulan lalu sering ia lihat. “Itu… terima kasih banyak, Nak Rama,” ucapnya akhirnya.
Rama mengangguk kecil. “Sama-sama, Pak. Kalau begitu saya menemui Bapak Kepala Sekolah dulu.”
“Iya, silakan.”
Rama pun langsung berjalan menyusuri halaman sekolah, tempat para murid baru saja keluar dari kelas mereka masing-masing.
Koridor yang Riuh
Rama berjalan santai menuju ruang kepala sekolah, membuat para murid yang tengah beristirahat di koridor dan ambang pintu kelas langsung menoleh kepadanya.
“Ya Tuhan… tampan sekali,” seru seorang siswi tepat ketika Rama melewatinya.
“Astaga…” Siswi lain menutup mulut mereka, mata terbelalak menatap sosok asing yang mengenakan kaus oblong dan celana olahraga itu.
“Si-siapa dia? Apakah dia murid baru di sekolah kita? Tapi, kenapa dia tidak menggunakan seragam sekolah?”
Satu per satu murid, terutama para siswi, berseru histeris ketika Rama melewati mereka. Jelas, tidak ada satu pun dari mereka yang mengenali Rama, padahal ia adalah salah satu murid di sana.
Rama berjalan tenang, tidak menghiraukan tatapan atau bisikan demi bisikan dari siswa dan siswi yang perhatiannya tertuju padanya. Meskipun dalam hati ia sedikit bingung atas reaksi berlebihan ini, Rama, yang sejatinya tidak suka mencari perhatian, hanya fokus pada tujuannya.
Setiap Rama melewati lorong kelas, kegemparan dari para gadis membuat murid yang masih berada di dalam kelas terusik.
“Ada apa di luar? Kenapa berisik sekali, seperti kedatangan artis saja,” gerutu Ani, murid kelas sebelas yang tengah bersiap pergi ke kantin.
Di samping Ani, duduk seorang gadis cantik yang tak lain adalah Bela, teman sebangkunya.
“Iya, berisik sekali. Mengganggu orang lagi istirahat saja,” timpal Yesi, yang duduk di belakang Ani dan Bela.
“Bagaimana kalau kita lihat saja? Sekalian kita kan mau ke kantin,” sahut gadis lainnya yang sebangku dengan Yesi.
“Ya sudah, ayo! Aku juga jadi penasaran, siapa tahu memang sekolah kita kedatangan oppa-oppa Korea,” ujar Ani antusias.
“Huh, kamu, yang ada di kepala kamu itu oppa-oppa terus. Mana ada oppa-oppa Korea datang ke sekolah kita? Kalau kakek-kakek baru masuk akal,” balas Yesi, maklum dengan temannya yang penggemar drama Korea itu.
“Ya sudah, yuk ke kantin. Cacing di perutku juga berisik dari tadi,” ujar Ayu, sembari memegangi perutnya. Ia langsung bangkit mengajak ketiga temannya, termasuk Bela.
“Hei, Bel, aku perhatikan kamu kenapa diam saja dari tadi?” tanya Ani.
“Iya, nih. Dari tadi aku juga perhatikan kamu seperti tidak fokus belajar. Kamu ada masalah, Bel? Kalau ada masalah, cerita, dong, sama kami. Kita berempat, kan, teman dekat kamu di sekolah ini, masa untuk sekadar cerita saja kamu tidak bisa,” Yesi ikut bicara, dan Ayu mengangguk setuju.
“Ya ampun… tampan sekali! Ap-apakah dia akan sekolah di sini?” Tiba-tiba, seorang gadis berkacamata yang satu kelas dengan mereka berseru di ambang pintu keluar, membuat Bela dan yang lainnya langsung menoleh.
“Hei, Siti! Ada apa? Siapa yang kamu bilang tampan? Segitunya banget,” ucap Ani, merasa heran dengan tingkah gadis itu.
“I-itu… dia, dia…” jawab gadis berkacamata itu, gugup.
Ani dan yang lainnya saling pandang sekilas.
“Ayo kita keluar. Aku jadi makin penasaran,” ajak Ayu, yang mulai penasaran. Dari tadi mereka mendengar keributan samar dari luar yang menyebut kata ‘tampan’ keluar dari mulut para siswi.
“Nah, itu dia. Ayo kita lihat!” timpal Yesi.
“Ayo, Bel. Kamu juga ikut, daripada melamun diam tidak jelas di sini,” ajak Ani, langsung menarik tangan Bela, meskipun gadis itu agak malas mengikuti.
Efek Pil Ketampanan
Di koridor sekolah, tepatnya menjelang ruang Kepala Sekolah, Rama merasa reaksi para siswa dan siswi itu terhadapnya terlalu berlebihan. Ia bertanya-tanya sendiri.
'Ada apa sebenarnya dengan mereka? Apa mereka tidak mengenalku?' pikirnya bingung.
[DING! Itu semua karena efek Pil Ketampanan Tingkat Rendah yang Tuan konsumsi tadi pagi, Tuan.]
“Eh, tapi kan hanya meningkatkan 30% saja, Sistem. Bukankah reaksi mereka terlalu berlebihan?”
[DING! 30% sudah cukup untuk membuat para wanita di alam Tuan memiliki kekaguman yang tak biasa terhadap Tuan.]
'Ap-apakah setampan itu? Aku bahkan belum melihat wajahku sejak memakan pil itu,' pikir Rama. Ia memang lupa berkaca setelah membersihkan tubuhnya dan langsung berganti pakaian, memasak, dan ke meja makan.
“Kak… bolehkah kita berkenalan?” Seorang siswi dari kelas dua belas datang mendekati Rama.
“Kak… apakah Kakak murid baru di sekolah ini?”
“Kak… bisakah aku meminta nomor ponselmu?”
“Kak… aku juga mau bertukar kontak denganmu!”
Dalam waktu singkat, beberapa siswi langsung mengerumuni Rama tanpa rasa malu.
“Kak Rama! Kenapa kamu baru datang…?”
Tepat pada saat itu, suara Bela terdengar, membuat Rama langsung menoleh. Tanpa diduga, Bela menerobos kerumunan para gadis dan menghamburkan dirinya, memeluk Rama erat.
Deg!
Suasana ribut seketika menjadi hening. Semua pasang mata yang sudah terfokus pada Rama kini membulatkan kedua bola mata mereka, terutama para gadis yang berdiri mengelilingi Rama.
lanjut thorrrr💪💪💪