Anindita (40), seorang istri yang berdedikasi, menjalani kehidupan rumah tangga yang tampak sempurna bersama Bima, suaminya, seorang insinyur. Namun, semua ilusi itu runtuh ketika ia mencium aroma sirih dan parfum vanila murahan yang melekat di pakaian suaminya.
Bima ternyata menjalin hubungan terlarang dengan Kinanti, seorang siswi SMP yang usianya jauh di bawahnya dan merupakan teman sekolah putra mereka. Pengkhianatan ini bukan hanya merusak pernikahan yang sudah berjalan delapan belas tahun, tetapi juga melukai harga diri Anindita secara telak, karena ia dibandingkan dengan seorang anak remaja.
Dipaksa berhadapan dengan kenyataan pahit ini, Anindita harus memilih: berjuang mempertahankan kehormatan keluarganya yang tercoreng, atau meninggalkan Bima dan memulai hidup baru.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sansan Irawan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kebenaran yang Terungkap
Bima menatap Kinanti, yang tertidur pulas di sofa safe house. Pagi itu, Kinanti tampak sangat rentan, terbungkus selimut tebal, seolah dia hanyalah seorang remaja biasa yang ketakutan, bukan pemain kunci dalam skandal korporat dan pembunuhan.
Ponsel di tangan Bima terasa berat, membawa ultimatum Anindita: Korbankan Kinanti, atau Bima akan menjadi target balas dendam GEI berikutnya.
Bima tahu Anindita benar. Kinanti adalah jejak terakhir GEI. Jika Kinanti menghilang, GEI akan kehilangan saksi lemah mereka dan terpaksa menghadapi bukti korupsi yang tak terbantahkan. Jika Kinanti tetap di sini, Bima akan selalu menjadi target yang diburu GEI, dan Anindita tidak akan pernah membiarkannya tenang.
Bima mengambil keputusan terberat dalam hidupnya. Keputusan yang jauh lebih dingin daripada penggelapan atau perselingkuhan.
Ia membangunkan Kinanti dengan lembut.
"Kita harus pergi, Kinanti. Sekarang," bisik Bima.
Kinanti tampak linglung. "Ke mana, Mas Bima?"
"Kau akan pergi ke tempat yang sangat jauh. Aku sudah menghubungi Dani. Dia menyiapkan kontak di luar negeri. Kau akan mendapatkan identitas baru dan uang untuk memulai hidup baru. Selamanya," kata Bima, berusaha keras agar suaranya tidak pecah.
Kinanti menyadari makna di balik kata-kata itu. "Kau mengusirku? Kau mengorbankanku?"
"Aku tidak mengorbankanmu. Aku melindungimu dari GEI. Aku mengirimmu ke tempat di mana Anindita dan mereka tidak akan pernah menemukanmu," Bima menahan kebenaran pahit bahwa ia melakukan ini untuk menyelamatkan dirinya sendiri. "Ini adalah harga yang harus kita bayar untuk Rayhan."
Kinanti tidak berdebat. Dia mengerti permainan ini. Dia tahu Bima tidak akan pernah bisa lepas dari bayangan Anindita jika Kinanti masih ada. Dengan mata penuh kekecewaan, Kinanti hanya mengangguk.
Konfrontasi di Pelabuhan
Bima mengantar Kinanti ke pelabuhan kecil yang sepi. Di sana, sebuah kapal nelayan tua menunggu. Pertukaran itu singkat dan dingin. Kinanti menerima tas ransel berisi dokumen palsu dan uang tunai.
Sebelum menaiki kapal, Kinanti menatap Bima untuk terakhir kalinya. "Aku pergi karena aku mencintaimu, Mas Bima. Jangan pernah melupakan itu."
Bima tidak menjawab. Ia hanya melihat Kinanti naik kapal, menjadi siluet yang perlahan menghilang di ufuk timur. Dengan hilangnya Kinanti, Bima telah memotong ikatan terakhirnya dengan masa lalu. Ia telah memilih hidup.
Segera setelah kapal itu menghilang, ponsel Bima berdering. Itu adalah pesan singkat dari Anindita.
> Anindita: Temui aku di kediaman lama. Aku tahu kau sudah membuat pilihan.
>
Puncak Drama di Rumah Lama
Bima tiba di rumah lamanya—rumah di mana ia hidup, berbohong, dan kehilangan segalanya. Anindita menunggunya di ruang tamu, di tempat yang sama di mana mereka dulu merayakan ulang tahun Rayhan. Anindita tampak lelah, tetapi matanya kini menunjukkan ketenangan yang menakutkan, seperti badai yang sudah berlalu.
"Kau datang sendirian," kata Anindita, nadanya datar. "Itu berarti Kinanti sudah pergi. Keputusan yang cerdas."
"Aku melakukan apa yang harus kulakukan untuk mengakhiri kekacauan ini," balas Bima. "Rayhan sudah tiada. Aku sudah mengorbankan Kinanti. Sekarang, berikan apa yang kau janjikan."
Anindita meletakkan dua amplop di meja.
"Amplop pertama adalah jaminan imunitas dari GEI. Semua file penggelapanmu dan Dani sudah dihapus dari server kami, dan GEI telah membatalkan tuntutan pemerasan mereka terhadapmu. Kau bebas dari tuduhan pidana."
"Amplop kedua?"
"Amplop kedua adalah dokumen perceraian final. Kau menandatanganinya, dan kau bebas. Kau bisa memulai hidupmu dari nol."
Bima mengambil pena, tangannya gemetar. Setelah menandatangani dokumen itu, ia menatap Anindita.
"Kenapa kau tidak menjebloskanku ke penjara, Ndita? Kau punya setiap alasan," tanya Bima, mencari kebenaran terakhir.
Anindita menatapnya, dan untuk pertama kalinya, Bima melihat air mata mengalir di wajahnya.
"Aku membiarkanmu bebas, Bima, bukan karena aku mencintaimu," Anindita berbisik, air mata mengalir membasahi pipinya yang dingin. "Aku membiarkanmu hidup bebas, untuk satu alasan: untuk Rayhan."
Anindita mengambil napas dalam-dalam. "Rayhan pernah bertanya padaku, 'Apakah Ayah akan baik-baik saja?' Aku tidak akan membiarkan Rayhan pergi dengan pikiran bahwa ayahnya adalah seorang kriminal yang busuk di penjara. Kematiannya memberiku perspektif baru. Aku akan menghancurkan GEI dan Tuan Wirawan demi Rayhan, tapi aku tidak akan menghancurkanmu. Rayhan akan selalu mengingatmu sebagai Ayah yang 'sibuk' tapi bebas, bukan sebagai napi."
Anindita bangkit, air mata membasahi wajahnya. "Kau hidup, Bima. Tapi kau akan hidup tanpa harta, tanpa Rayhan, dan dengan beban bahwa kau menyelamatkan nyawamu sendiri dengan mengorbankan orang lain. Itu adalah penjara yang jauh lebih mengerikan daripada yang bisa diberikan oleh hukum. Sekarang, pergilah."
Bima meninggalkan rumah itu, memegang dua amplop yang berbau kebebasan dan pengkhianatan. Ia telah memenangkan pertarungan hukum, tetapi ia telah kehilangan jiwanya di tengah jalan. Anindita ditinggalkan sendirian, siap melanjutkan misinya sebagai pembalas dendam yang didorong oleh duka.