Sebuah perjodohan tanpa cinta, membuat Rosalina harus menelan pil pahit, karena ia sama sekali tidak dihargai oleh suaminya.
Belum lagi ia harus mendapat desakan dari Ibu mertuanya, yang menginginkan agar dirinya cepat hamil.
Disaat itu pula, ia malah menemukan sebuah fakta, jika suaminya itu memiliki wanita idaman lain.
Yang membuat suaminya tidak pernah menyentuhnya sekalipun, bahkan diusia pernikahan mereka yang sudah berjalan satu tahun.
Akankah Rosalina sanggup mempertahankan rumah tangganya dengan sang suami, atau malah sebaliknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hilma Naura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mendapat pertolongan.
Anindya yang masih berjongkok di samping Rosalina akhirnya berdiri, lalu ia menatap Raka dengan sorot mata yang penuh perintah.
"Raka, cepat gendong dia masuk ke dalam. Dia sudah tidak sadarkan diri, dan Mama khawatir jika lukanya akan semakin parah kalau dia dibiarkan di sini," ucap Anindya dengan suara tenang, namun tegas.
Namun bukannya segera bergerak, Raka malah menatap ibunya itu dengan wajah dingin.
"Mama serius mau aku menggendong orang asing ini?" tanyanya datar.
"Kita bahkan tidak tahu siapa dia, dan dari mana asalnya, serta apa maksudnya bisa sampai jatuh di depan rumah kita?"
Anindya mendengus pelan karena menahan rasa kesal.
"Raka, ini soal nyawa! Kamu pikir Mama tega membiarkan seorang perempuan muda tergeletak seperti ini di depan rumah kita?"
Raka mengalihkan pandangannya ke arah Rosalina yang masih terbaring lemah. Sesaat ia terlihat ragu, tapi keengganan juga jelas terpancar dari wajahnya.
Dan pada saat itu juga, Mbak Sri langsung menyahut dengan suara keras.
"Astaghfirullah, Mas Raka! Mas ini kalau jadi pangeran di dongeng, pasti putri tidurnya sudah keburu mati karena kedinginan dulu sebelum sempat diselamatkan!" serunya, membuat Anindya refleks menutup wajahnya dengan tangan.
"Mbak Sri, tolong jangan asal bicara..." potong Anindya, namun terlambat karena Mbak Sri langsung melanjutkan perkataannya.
"Kalau Mas Raka masih gak mau, biar saya saja yang gendong! Walaupun badan saya ini cuma segini, tapi kalau soal tenaga jangan diremehkan, Bu. Dulu saya juara lomba panjat pinang tiga kali berturut-turut! Ayo sini, Nak Cantik, Mbak Sri yang gendong yaaa..."
"Sri!" bentak Anindya dengan tatapan tajam.
Raka mendesis pelan, rahangnya mengeras akibat menahan emosi.
"Ma, kalau dia jatuh pingsan di sini, mungkin dia memang sengaja mencari belas kasihan..."
Tapi sebelum ia melanjutkan ucapannya, Mbak Sri sudah kembali menyeletuk dengan latahnya.
"Ya Allah, Mas Raka! Kalau pun pura-pura, yang jelas ini pura-pura bikin hati Mas bergetar. Saya lihat tadi matanya aja udah bikin udara dingin menjadi hangat. Jangan-jangan nanti Mas Raka jatuh cinta beneran lho..."
"Mbak Sri!" kali ini Anindya cepat-cepat menutup mulut pembantunya itu dengan telapak tangan, karena takut jika Raka akan benar-benar murka.
Sementara itu, Raka sendiri hanya bisa memejamkan matanya sejenak, lalu mengembuskan nafas kasar.
"Baiklah kalau begitu. Supaya tidak semakin ribut, aku akan mengendongnya."
Dengan sigap, Raka pun membungkuk dan menyelipkan kedua lengannya dibawah tubuh Rosalina. Perlahan, ia mengangkat wanita itu dengan mudah, meskipun wajahnya tetap terlihat datar dan dingin.
Mbak Sri yang mulutnya masih ditutup oleh Anindya, berusaha berbicara sambil terdengar bergumam-gumam. Dan begitu Anindya melepaskannya, mulutnya langsung kembali aktif.
"Astagaa, Bu! Lihat deh! Cocok banget, seperti adegan drama Korea, Mas Raka menggendong perempuan cantik yang udah tidak berdaya di bawah cahaya lampu jalan! Aduh, jangan-jangan besok pagi bakal ada pelangi yang terbit di halaman rumah kita..."
Anindya buru-buru menoleh dengan tatapan tajam kearah pembantunya itu.
"Sri!" serunya pelan.
Mbak Sri pun langsung merapatkan bibirnya, meskipun matanya masih berbinar penuh perasaan kepo.
Sementara Raka tidak menanggapi ocehan itu sama sekali. Yang ada ia langsung berjalan masuk ke dalam rumah dengan langkah tegap, sementara Anindya dan Mbak Sri mengikutinya dari belakang.
Setibanya di ruang tamu, Raka menurunkan tubuh Rosalina di atas sofa panjang yang empuk. Namun saat hendak membaringkannya, gerakannya sedikit terhalang oleh bantal besar di ujung sofa.
Akibatnya, tubuh Raka harus condong lebih dekat ke arah Rosalina, membuat wajahnya kini hanya berjarak beberapa inci saja dari wajah pucat sang wanita.
Dan di saat yang tidak terduga itu, tiba-tiba mm saja kelopak mata Rosalina perlahan bergetar, sebelum akhirnya terbuka. Sorot matanya yang masih lemah langsung bertemu dengan mata tajam Raka.
Sejenak waktu seakan berhenti berputar. Dan Raka sendiri sama sekali tidak menyangka bahwa perempuan itu tiba-tiba sadar. Ia langsung terlonjak kaget dan spontan memundurkan tubuhnya kebelakang.
Namun karena gerakan refleksnya terlalu cepat, punggungnya malah menabrak seseorang yang berdiri tepat di belakangnya.
"Bruuk!"
Ternyata yang ada dibelakang tubuhnya itu adalah Mbak Sri. Dan akibat tabrakan Raka tersebut, tubuh Mbak Sri malah terjengkang dan jatuh tersungkur ke lantai.
Dengan ekspresi kaget, spontan ia menepuk-nepuk pantat Raka yang menubruknya.
"Astaghfirullah, Mas Raka! Pantesan berat, pantatnya keras bener kayak batu! Aduh sakit nih tulang ekor saya, astaga… Mas ini kalau jatuh cinta jangan sampai menyenggol saya juga dong!"
Raka langsung menoleh dengan wajah geram, sementara Anindya hanya menutup wajahnya dengan kedua tangan.
"Sri!" seru perempuan paruh baya itu. Membuat Mbak Sri langsung bangun dan berdiri.
Raka menegakkan tubuhnya kembali dengan menampilkan wajah masam, sementara Mbak Sri masih meringis sambil mengusap pantatnya sendiri.
"Masya Allah, sakit banget, Bu Anindya… pantat saya seperti habis ditabrak sama motor gede!" rengeknya.
"Sudah, Sri! Diamlah sedikit," potong Anindya cepat sambil memberi kode mata tajam, agar pembantunya tidak menambah keributan lagi.
Sementara itu, Rosalina yang tadi sempat membuka mata kini terlihat semakin sadar dari pingsannya. Kelopak mata wanita itu perlahan terbuka penuh, memperlihatkan sorot mata sayu yang langsung menatap kearah Raka.
Nafasnya masih tersengal, namun jelas ada rasa kebingungan bercampur kaget di sana.
Dia sempat mengerjapkan matanya, serta mencoba mengenali wajah asing yang ada hadapannya itu.
"Siapa… kalian…? Dan ada dimana aku sekarang?" tanyanya, dengan suara serak yang hampir tidak terdengar.
Raka refleks menoleh kearah ibunya, seakan tidak ingin menjawab. Namun Anindya segera mendekat, dan duduk di sisi sofa.
Perempuan itu langsung meraih tangan Rosalina dengan lembut.
"Tenanglah, Nak. Kamu sedang di rumah saya. Kamu pingsan di depan gerbang tadi," ucap Anindya penuh kelembutan.
"Namaku Anindya, dan ini adalah putraku satu-satunya, namanya Raka." ujar Anindya, seraya memperlihatkan senyum ramahnya.
Rosalina mengerjap pelan, dan matanya sempat beralih ke arah Raka. Namun sorot dingin lelaki itu membuatnya buru-buru menundukkan pandangan. Ada perasaan terintimidasi sekaligus aneh, yang tiba-tiba muncul di hatinya saat melihat tatapan pria yang berdiri dihadapannya itu.
Sementara itu, Mbak Sri yang berdiri tidak jauh dari Raka langsung saja membuka suara dengan gaya khasnya yang ceplas-ceplos.
"Dan kalau saya sih, kamu cukup panggil Mbak Sri aja ya, Nduk! Saya merupakan pembantu setia dikeluarga ini, sekaligus calon saksi sejarah kalau Mas Raka beneran akan jatuh cinta sama kamu, hahahaha..."
"Sri!" Anindya cepat-cepat menegur pembantunya itu, dan kali ini dengan suara yang lebih tegas.
Raka kembali mendengus kasar, dan jelas terlihat sangat kesal dengan ocehan yang tidak berujung dari pembantunya itu. Sehingga ia memilih untuk berdiri agak menjauh, sambil menyilangkan kedua tangan didepan dada. Kemudian ia pun menatap ke arah jendela.
Rosalina sendiri hanya bisa terdiam. Air matanya mulai menetes lagi, entah karena sakit di tubuhnya atau luka di hatinya yang masih terasa begitu dalam. Ia terlihat menutup wajahnya dengan telapak tangan, serta berusaha menahan isak.
Anindya segera menepuk bahunya dengan gerakan lembut.
"Nak, tidak apa-apa. Kamu aman sekarang. Dan kamu tidak perlu merasa takut di sini."
Kata-kata itu membuat tangis Rosalina pecah. Dan tanpa bisa ditahan lagi, tubuhnya pun bergetar pelan, isakan tangisnya juga terdengar lirih di ruang tamu yang hening.
Melihat hal itu, Raka menyempatkan diri untuk melirik dari ujung matanya. Dan entah kenapa seperti ada sesuatu yang membuat dadanya sedikit bergetar, meski wajahnya tetap keras. Sehingga ia pun menarik nafas panjang, seakan mencoba untuk mengusir perasaan aneh tersebut.
Mbak Sri yang dari tadi menatap kearah Rosalina, alih-alih diam tapi ia malah kembali membuka mulut.
"Ya Allah, Bu… cantik-cantik begini kok sampai nangis begitu? Jangan-jangan dia habis ditinggal sama cowoknya untuk kawin sama orang lain, ya? Ih, kasihan banget ceritanya kalau begitu, jadi seperti disinetron-sinetron..."
"SRIIII!" kali ini Anindya menutup mulut pembantunya dengan cepat, bahkan nyaris mendorongnya ke dapur agar tidak menambah suasana semakin kacau.
Sedangkan Raka menoleh lagi pada Rosalina. Suaranya akhirnya terdengar, meskipun sangat dingin.
"Kalau kamu sudah cukup kuat untuk bicara, jelaskan pada kami, siapa namamu, dan kenapa kamu bisa sampai pingsan di depan rumah kami?"
Pertanyaan itu membuat Rosalina tersentak kaget, dan ia langsung menunduk, seraya menggenggam jemarinya sendiri dengan gemetar.
Dengan suara yang masih terdengar pecah, ia pun hanya sempat berbisik lirih, namun terdengar jelas ditelinga semua orang.
Namaku… Rosalina."
Sedangkan air matanya kembali jatuh membasahi pipi.
"Dan aku… tidak tahu lagi harus pergi ke mana…" sambungnya lagi. Membuat semua orang yang ada disana terbelalak kaget.
Bersambung...