NovelToon NovelToon
SENORITA PERDIDA

SENORITA PERDIDA

Status: tamat
Genre:Misteri / Cintapertama / Mafia / Percintaan Konglomerat / Tamat
Popularitas:36.5k
Nilai: 5
Nama Author: Vebi Gusriyeni

Series #2

Keputusan Rayden dan Maula untuk kawin lari tidak semulus yang mereka bayangkan. Rayden justru semakin jauh dengan istrinya karena Leo, selaku ayah Maula tidak merestui hal tersebut. Leo bahkan memilih untuk pindah ke Madrid hingga anaknya itu lulus kuliah. Dengan kehadiran Leo di sana, semakin membuat Rayden kesulitan untuk sekedar menemui sang istri.

Bahkan Maula semakin berubah dan mulai menjauh, Rayden merasa kehilangan sosok Maula yang dulu.

Akankah Rayden menyerah atau tetap mempertahankan rumah tangganya? Bisakah Rayden meluluhkan hati sang ayah mertua untuk merestui hubungan mereka?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 25 : Karena Kesalahan Itu

...•••Selamat Membaca•••...

Lorong rumah sakit terasa sepi, hanya suara langkah perawat sesekali melintas. Archer duduk di kursi tunggu dengan satu tangan menggenggam erat jemarinya yang lain, dan merasa gelisah karena istrinya yang masih terbaring di ICU. Wajahnya keras, namun ada kelelahan yang membayang di mata tajamnya.

Pintu ruang tunggu terbuka perlahan. Seorang pria berpakaian gelap masuk dengan langkah tenang, lalu berhenti di hadapan Archer. Ia menunduk sedikit, memberi isyarat formal sebelum bicara.

“Laporannya sudah lengkap, Tuan.”

Archer tidak menoleh, hanya matanya yang bergerak.

“Bicara.”

“Isabella masih hidup, tapi kondisinya hancur,” ucap pria itu tanpa ragu. “Ny. Eliza memakai metode lama yaitu Rat Torture. Rantai, wadah logam panas, tikus kelaparan dan Ny. Eliza tidak terburu-buru melakukannya. Isabella sekarang setengah sadar, tubuhnya penuh luka terbuka dan infeksi mulai menjalar. Suhu tubuhnya turun drastis dan tangannya sudah tak bisa digunakan sepenuhnya. Tulang-tulang kecil patah.”

Archer mendengus pelan, nyaris seperti napas lega.

“Bagus,” katanya akhirnya. “Ny. Eliza tahu bagaimana memperpanjang rasa sakit tanpa membunuh dengan cepat.”

Ia menatap wajah Vanessa yang pucat di balik kaca ICU, lalu menambahkan dengan suara lirih namun dingin.

“Biarkan dia hidup... cukup untuk tahu bahwa ini belum selesai. Berikan pengobatan seadanya, karena aku ingin dia merasakan sakit yang aku dan saudaraku rasakan selama ini.”

Anak buahnya mengangguk dan mundur pelan, meninggalkan Archer dalam keheningan rumah sakit yang terasa lebih mencekam daripada medan perang manapun.

Eliza memasuki ruangan Maula, cucu kesayangannya itu terbaring lemah dari pasca penusukan yang dilakukan oleh Isabella.

“Cucu Nena sayang, kenapa kamu pucat begini? Apa lukamu sangat dalam?” Eliza mengelus lembut kepala Maula.

“Aku baik-baik saja Nena, aku juga nggak tau kenapa tapi badanku masih lemas dan energiku terkuras mungkin karena Ibel ini.” Maula terkekeh kecil. Eliza mencium lembut kening Maula dengan penuh kasih dan menggenggam tangan cucunya.

“Kamu sudah beritahu Leo dan Maureen?” Maula menggeleng lemah dan Eliza menatap Rayden. Tatapan Rayden seakan memberitahu Eliza bahwa dia dilarang oleh Maula untuk memberitahu Leo dan Maureen di Indonesia.

“Aku ingin memberitahu tapi dia melarang, Nena.” Eliza mendengus dan menatap Maula.

“Kamu ini, kalau Papamu tau dari orang lain, bisa nyerocos dia sama Rayden nanti dan Mama kamu bisa jantungan dia.” Maula hanya tersenyum ringan.

“Cukup Nena saja yang tahu, Nena bisa jaga rahasia kan.”

“Ya tapi tidak janji.”

“Nena tidur di sini malam ini kan?” tanya Rayden.

“Iya Ray, Nena lelah habis menghukum ibu tirimu jadi Nena memilih bersantai di hotel dekat sini saja, tidak jauh. Kamu bisa panggil Nena kapan saja kamu mau.” Rayden tersenyum dan mengangguk, dia meminta beberapa anak buahnya mencarikan kamar terbaik untuk Eliza dan mengantarkan Eliza ke hotel berbintang yang dekat dari rumah sakit.

“Nena pergi dulu ya sayang, besok Nena akan ke sini lagi.” Maula mengangguk.

Malam itu Rayden tidur sambil memeluk istrinya, kasur itu cukup besar untuk mereka berdua dan sangat empuk juga.

...***...

Cahaya sore merambat masuk dari celah tirai, menciptakan siluet keemasan yang lembut di dinding putih kamar rawat.

Udara rumah sakit beraroma antiseptik, bersih, tapi dingin. Di tengah ruangan, tubuh Maula terbaring lemah di ranjang, bagai bunga yang layu, Rayden juga sedikit bingung karena semakin lama tubuh istrinya semakin melemah.

Gaun pasien biru pucat menggantung longgar di tubuhnya yang sedikit menyusut. Infus menetes lambat. Mesin monitor di sampingnya berdetak pelan, menandai denyut jantung.

Rayden duduk di tepi ranjang. Rambutnya acak-acakan, karena tidak sempat berbenah namun tak mengurangi ketampanannya sedikitpun.

Tangannya menggenggam tangan Maula yang dingin.

“Tuan Mafia…” suara Maula lirih, nyaris seperti desahan angin.

Rayden menegakkan badan, seperti tersengat. “Aku di sini, Piccola… Apa kamu butuh air? Mau kupanggil suster?”

Maula menggeleng perlahan. Mata setengah terbuka dan sedikit kabur. “Enggak... kamu kenapa murung begitu?”

“Aku tidak bisa tenang melihat kondisi kamu makin lama makin melemah.”

“Aku baik-baik aja, hanya terasa sedikit pusing.”

“Pusing seperti apa?” Rayden bertanya, suara tercekat seolah takut pada jawabannya.

Maula menutup mata, napasnya tercekat. “Berdenyut… di belakang mata… terus... kayak ada detak di kepala. Telinga kiriku... berdengung... keras… kayak air terjun.”

Rayden langsung berdiri dengan wajah panik. “Aku panggil dokter—”

Tapi sebelum ia sempat bergerak, tubuh Maula menegang mendadak. Tangannya mencengkeram pelipis, wajahnya pucat pasi seketika.

“Rayden... Sakit… sakit sekali…”

Monitor berdetak liar. Maula menggeliat, seluruh tubuhnya gemetar hebat. Dari sela giginya, suara seperti jeritan tertahan pecah.

Rayden panik dan menekan tombol darurat. “Tolong! Cepat! Dia kesakitan!”

Dalam hitungan detik, dua perawat dan seorang dokter muda menerobos masuk. Mereka langsung mengecek tanda vital, memasang sensor tambahan.

Dokter menyinari mata Maula dengan senter kecil. Wajahnya mengeras seketika. “Anisokoria. Pupil kiri melebar, lambat merespon.”

“Tensi 168/112—naik terus!”

“Kita harus lakukan CT Scan segera. Brankar ke kamar 314. Hubungi Dr. Garnier sekarang juga.”

Rayden berdiri terpaku. Dunia seolah kabur dan suara mesin, langkah kaki, semua jadi gema tak berwujud.

“Apa yang terjadi pada istri saya...?” bisiknya dengan perasaan tak tenang.

Dokter menepuk pundak Rayden pelan dan mengangguk seakan meminta Rayden bersabar dulu.

Dua Puluh Lima Menit Kemudian...

Di ruang observasi semi-private lantai dua rumah sakit, mesin pemantau berdetak pelan, seirama dengan degup yang terasa menyesakkan dada Rayden. Maula masih terbaring, selang oksigen terpasang di hidungnya. Wajah itu tampak pucat, tapi tenang.

Ketika pintu terbuka perlahan, Rayden langsung berdiri. Dr. Emilio Garnier melangkah masuk, bersama dua orang residen dan seorang dokter radiologi senior. Di tangannya, terdapat selembar cetakan CT-scan dan lembaran hasil observasi laboratorium neurologis.

“Mr. Dragonvich,” sapa Dr. Garnier pelan. “Kami baru selesai menganalisis hasil CT dan MRI. Saya pikir… ada hal yang perlu Anda ketahui secara langsung.”

Rayden menelan ludah dan menyiapkan hati. “Katakan saja. Saya siap mendengarnya.”

Dr. Garnier menarik napas. Ia menunjukkan hasil CT kepada Rayden, menunjuk area abu-abu yang tampak membayang samar di bagian kiri belakang otak Maula.

“Kami temukan hematoma subdural kronis pada regio parietooksipital sinistra, cukup besar—sekitar dua belas milimeter. Itu adalah sisa pendarahan lama, akibat trauma kepala yang tidak pernah tertangani secara optimal. Sudah mulai terbentuk gliosis, tanda bekas luka jaringan otak.”

Rayden mengernyit. “Trauma kepala… lama? Maksud Anda kejadian lama yang belum kami sadari?”

Dr. Garnier mengangguk. “Bisa jadi berminggu-minggu lalu, bahkan lebih. Namun… ada hal yang lebih mengkhawatirkan. Pasien mengalami edema serebri difus—pembengkakan ringan namun menyebar di beberapa area otak. Ini bukan hanya sisa trauma. Ini aktif dan sedang terjadi.”

Wajah Rayden mulai berubah dengan rahangnya yang mengeras lalu menatap Maula dengan dalam. Istrinya masih memejamkan mata.

“Lalu… apa penyebabnya?” suara Rayden nyaris tak terdengar karena dia juga takut untuk tahu lebih dalam.

“Di area oksipital posterior kami temukan kontusio minor, atau memar otak ringan. Dan—” suara dokter mulai menurun volumenya, seolah memilih kata, “—kami temukan bekas memar eksternal di tengkuk dan punggung kiri pasien. Tampaknya pasien mengalami benturan tumpul dalam beberapa minggu terakhir.”

Rayden membeku.

“Kami menyimpulkan bahwa ada trauma kepala sekunder baru-baru ini yang memperparah tekanan intrakranialnya. Trauma ini mungkin tampak sepele secara luar, tapi bagi otak yang sudah punya hematoma laten, benturan tambahan bisa memicu pembengkakan cepat. Dan itu yang sedang terjadi pada Maula.”

“Jadi…,” Rayden menarik napas dalam-dalam, suaranya mulai pecah, “semua ini karena… luka lamanya kambuh?”

Dr. Garnier menggeleng pelan. “Luka lamanya membuat fondasi yang rapuh. Tapi cedera kedua itulah yang memicu krisis. Karena itu kami harus mulai terapi osmotik menggunakan manitol untuk menurunkan tekanan. Jika tak membaik dalam 6 sampai 12 jam, kami akan pertimbangkan kraniotomi dekompresi.”

Rayden tak menjawab. Ia hanya menunduk. Genggaman tangannya di kursi mengeras.

Kata-kata dokter menggema di kepalanya. Cedera sekunder, trauma tumpul baru-baru ini, memar di tengkuk. Ia tahu persis kapan itu terjadi.

Saat amarah membutakannya dan saat cintanya berubah menjadi kekejaman. Rayden kembali terbayang saat dia dengan kejam memukul dan membenturkan kepala Maula ke dinding dan meja di ruangan gelap itu.

Dan kini, tubuh Maula menanggung semuanya dalam diam. Sebenarnya Maula sering mengeluh sakit kepala tapi tidak terlalu di dramatisir oleh Maula sendiri dan dia tutupi dengan senyuman dan guyonan.

“Dr. Garnier…” suaranya nyaris tak terdengar. “Apakah… kalau benturan kedua itu tidak terjadi, Maula akan baik-baik saja?”

Dokter menatapnya, pelan namun tegas. “Sangat mungkin dia baik-baik saja. Hematoma lama bisa tetap stabil selama bertahun-tahun tanpa gejala. Tapi trauma baru mempercepat semuanya.”

Rayden seperti disambar petir. Punggungnya menegang lalu ia mundur perlahan, punggung menabrak dinding. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha menahan… tapi tangis itu akhirnya meledak juga.

Bukan suara keras. Tapi lebih pada sesak, luruh, dan menderu dalam dada, menabrak dinding keheningan.

“Kita bisa bicarakan di ruang konsultasi, untuk menjelaskan semua ini.” Rayden hanya mengangguk.

Dr. Garnier dan timnya perlahan meninggalkan ruangan, memberi ruang.

Dan Rayden, lelaki yang selama ini tak pernah takut apa pun, kini duduk di lantai, berlutut di samping ranjang istrinya sendiri, menyadari bahwa musuh terburuk yang mengancam nyawa Maula adalah dirinya sendiri.

“Harusnya aku tidak melakukan itu padanya, hari itu dia menangis dan berteriak kesakitan tapi aku justru semakin memukulinya.” Rayden memegangi kepala dan dadanya, sakit itu benar-benar menyesak dalam tubuhnya.

Rayden berdiri dan mencium Maula dengan air mata yang tak henti mengalir. Trauma lama yang dimaksud oleh dokter adalah cedera yang pernah Maula alami saat berkelahi dengan Bianca dulu. Dan kembali dipicu oleh kekerasan yang pernah Rayden lakukan.

“Maaf Piccola, kamu harus menanggung sakit ini sendiri dan... Dan ini karna aku.” Rayden menangis sesegukan sambil memeluk istrinya yang masih setia memejamkan matanya.

Di ruang konsultasi.

Dr. Emilio Garnier, seorang spesialis bedah saraf dengan rambut keperakan dan sorot mata tajam, duduk di depan Rayden dengan map CT di tangan. Sorot matanya tegas, tapi tak bisa menyembunyikan bayangan berat yang menghantui.

“Tuan Dragonvich… saya akan berbicara terus terang. Istri Anda mengalami hematoma subdural kronis yaitu penumpukan darah lama di antara otak dan dura mater.”

Rayden mengangguk lemah. “Darah lama?”

Dr. Garnier menatapnya dalam. “Cedera kecil yang berulang... terutama jika berasal dari kekerasan fisik yang terus-menerus, bisa menyebabkan pembuluh kecil di otak pecah perlahan. Dan berdasarkan kondisi jaringan yang kami lihat di scan... ini bukan akibat satu benturan saja. Ini... trauma akumulatif. Berlangsung berminggu-minggu.”

Rayden terdiam. Setiap kata itu seperti cambuk. Ia tahu bahwa dia pelakunya—dan Maula... hanya diam, hanya menahan saat itu bahkan istrinya menangis.

“Selama lebih dari tiga minggu terakhir...” lanjut Dr. Garnier, suaranya berubah pelan, namun tak kehilangan ketegasan, “...ada bukti jelas bahwa otaknya mengalami tekanan bertahap akibat akumulasi darah. Gejala seperti vertigo, migrain, telinga berdengung, mudah linglung—itu tanda-tanda awal. Tapi hari ini, dia memasuki tahap krisis. Tekanan intrakranialnya sudah menyentuh batas bahaya. Jika tak diatasi… herniasi otak bisa terjadi. Dan itu… fatal.”

Rayden membuang muka. Matanya basah menahan sesak. “Aku… aku tak tahu dia separah ini…”

Dr. Garnier berdiri perlahan, lalu meletakkan tangannya di bahu Rayden. “Kami tidak di sini untuk menghakimi. Tapi saya harus mengatakan bahwa trauma semacam ini meninggalkan bekas, baik fisik maupun psikis. Sekarang, prioritas kita menyelamatkan hidupnya.”

Rayden menarik napas dalam-dalam, namun dadanya terasa sempit.

“Jika tekanan tidak turun dalam satu jam, kami harus operasi—kraniotomi dekompresi, membuka sebagian tengkorak dan mengeluarkan bekuan darah. Ini prosedur besar dan risiko tetap ada.”

Rayden mengangguk, meski tubuhnya nyaris roboh.

“Lakukan yang terbaik untuk istriku. Apapun itu.”

Rayden kembali ke ruang rawat istrinya. Maula masih terbaring dengan mata tertutup, selang sensor tekanan otak tertancap di sisi kepalanya. Dahi dan pelipisnya berkeringat dengan wajahnya yang pucat seperti lilin.

Rayden duduk di sisi ranjang. Tak bersuara. Dunia di sekitarnya hilang warna seketika mengetahui apa yang dialami sang istri.

Tangannya menggenggam tangan Maula yang dingin seperti batu. Ia menatap wajah istrinya dengan pandangan retak.

“Kamu menahan semua ini... selama itu,” bisiknya parau. “Tiga minggu… bahkan lebih… dan aku…” Suara itu patah.

“Aku penyebab semua ini... dan sekarang... aku bahkan tak bisa menyelamatkanmu, Piccola.”

Mesin berdetak dan detik berjalan tetapi waktu terasa seperti berhenti.

Di luar jendela, senja jatuh perlahan. Tapi di dalam ruangan ini, hanya ada dua manusia—satu tergantung antara hidup dan mati, dan satu lagi, tenggelam dalam lautan penyesalan yang tak bertepi.

“Jika ini berlarut bahkan sampai mengambil hidupmu, aku tidak akan memaafkan diriku. Aku tidak mau hidup dalam kegelapan lagi Piccola. Jika kau tidak ada, siapa lagi yang akan menerangiku? Harusnya waktu itu aku lebih bisa mengendalikan emosi, benar yang kau katakan... harusnya aku menculik dan memanjakanmu, menjadikan kau prioritas utamaku seperti kau memprioritaskan aku dalam hidupmu. Maafkan aku sayang, maafkan aku.” Rayden mencium dan menempelkan pipinya ke kening Maula, menangis dan menyesali semua itu.

Waktu tak bisa diulang, ini saat di mana Maula harus menuai semua rasa sakit dari kekerasan yang pernah singgah dalam hidupnya.

Rayden masih terpaku, tangannya menggenggam erat tangan Maula yang dingin. Dalam keheningan itu, sebuah suara lirih dari alat monitor menarik perhatiannya—suara detak yang berbeda, lembut namun pasti.

Seorang perawat masuk membawa hasil pemeriksaan terbaru yang tak terduga. Dengan suara terbata, dia berkata, “Mr. Rayden, ada satu hal yang perlu Anda ketahui. Istri Anda sedang hamil.”

Kata-kata itu menggantung di udara, menusuk jiwa Rayden seperti belati yang berkarat. Hamil? Saat ini? Dalam kondisi Maula yang rapuh, terluka, hampir sekarat?

Dunia seakan runtuh di depan matanya. Air mata membanjiri pipinya kembali, bukan hanya karena ketakutan kehilangan Maula, tapi juga karena beban baru yang harus ia pikul. Ada kehidupan kecil yang sedang berjuang dan bertahan di dalam tubuh istrinya, yang tengah berperang melawan rasa sakit dan kematian.

Rayden berlutut, kepalanya menunduk ke tangan Maula. “Piccola… kau membawa sebuah harapan tapi aku tidak bisa melindungimu. Aku membuatmu terluka, dan sekarang…” Suaranya pecah, tersedu-sedu menahan kepedihan. “Aku tidak ingin kehilangan kalian berdua.”

Rayden menerima hasil pemeriksaan tersebut dengan tangan gemetar, perawat itu pergi.

Rayden menggenggam tangan Maula lebih erat, seolah ingin menyalurkan semua kekuatan yang ia punya. Namun di dalam hatinya, ketakutan dan penyesalan berkecamuk tanpa henti.

“Aku bukan menolak kehadiran anak ini, tapi kondisimu jauh dari kata baik, aku tidak bisa melihat kamu menderita lebih dalam lagi.”

Dalam kesunyian kamar rumah sakit yang dingin, air mata Rayden jatuh membasahi tangan istrinya, dan sebuah doa hening terucap dari bibirnya, berharap agar keajaiban kecil itu bisa bertahan, dan Maula, cinta dalam hidupnya, bisa sembuh dan melihat masa depan yang lebih cerah.

...***...

Di ruang observasi rumah sakit yang sepi, cahaya lampu fluoresen memantul redup di dinding putih. Rayden berdiri di depan dokter, wajahnya tegang dan matanya tak lepas dari monitor di samping tempat tidur Maula.

Dokter menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan suara hati-hati, “Mr. Dragonvich, ada satu hal penting yang harus saya sampaikan mengenai kondisi istri Anda.”

Rayden menatap tajam, jantungnya berdebar karena sudah mengetahui kehamilan Maula. “Apa itu, Dokter?”

“Mrs. Maula positif hamil. Kehamilannya masih sangat muda, sekitar satu minggu,” ucap dokter sambil menghela napas pelan. “Namun, saya harus jujur. Dalam kondisi Maula yang saat ini mengalami hematoma subdural kronis dan tekanan intrakranial yang meningkat, kehamilan ini sangat berisiko.”

Mata Rayden melebar, napasnya tercekat karena sudah menduga bahwa kehamilan ini hadir disaat tak tepat. “Berisiko seperti apa?”

“Faktor fisik dan tekanan di dalam kepala dapat memperparah kondisi Maula, bahkan mengancam nyawanya dan janinnya. Pengobatan dan kemungkinan operasi juga bisa berdampak negatif pada kehamilan. Kami harus terus memantau dengan sangat ketat, tapi saya tak bisa menjanjikan hasil yang baik.”

Rayden menunduk. “Piccola.”

Dokter meletakkan tangan di bahu Rayden, memberi kekuatan yang tak mudah diterima. “Ini jalan yang sulit, Mr. Ray. Tapi Anda tidak sendiri, kita akan coba jalan terbaik dan semoga istri anda bisa bertahan.”

...•••Bersambung•••...

1
Putri vanesa
Semoga Maula kuat dan msih aman sma yg lainnya, Ray knpa gk minta tolong papamu dan om axelee
Putri vanesa
Sukaa banget setelah sekian lamaaaa Mauuulaa ❤️❤️
Vohitari
Next, seriesnya seru thor
Pexixar
Lanjut lagi
Miami Zena
Series yg paling ditunggu, mentalku aman kok thor
Sader Krena
Lanjutan ini selalu kutunggu, cepat rilis thor
Flo Teris
Selalu nungguin series nya, btw mentalku aman banget
Cloe Cute
Segerakan series 3 kak, udah gak sabaar aku tuh
Bariluna Emerla
Aku menunggu series 3 kak
Zayana Qyu Calista
Sedih kan kamu Ray, mana istri lagi hamil lagi kamunya berulah. Sekarang Maula hilang malah kelimbungan, cepat rilis yang ketiga kak, udah gak sabar mau baca
Rika Tantri
Puas banget sama pembalasan Maula tapi kesel banget sma Rayden. Udah tau si barabara itu otaknya gesrek, masih aja diikutin
Zayana Qyu Calista
Ditunggu banget nih series 3, yg paling dinanti ini mah. Cepetan kak ya
Arfi
Cepat di rilis kak, gk sabar aku
Arfi
Puas banget sama Maula ih, salah cari lawan kan lo Bar
Hanna
Kamu tuh ceroboh banget tau dak sih Ray, gak bisa baca apa kalo dia pura2
Hanna
Wajar aja Maula ngamuk dan ninggalin kamu Ray, dia ngeliat pergulatan panas kamu sama barbara.
Hanna
Puas banget aku weehh
Hanna
Dia nyoba ngeracau pikiran Maula ini mah
Ranti Zalin
Puas banget ngeliat dia diginiin, mampos
Ranti Zalin
Bikin masalah nih org njirr
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!