NovelToon NovelToon
Jangan Sentuh Aku

Jangan Sentuh Aku

Status: sedang berlangsung
Genre:Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Cinta Seiring Waktu / Dokter / Slice of Life
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: khayalancha

Lanjutan Kisah Dokter Hanif Pratama(Spin Off Memiliki Bayi Dari Pria Yang Kubenci)

Dokter Hanif Pratama sudah dua kali jatuh cinta—dan dua-duanya berakhir luka. Ia dokter anak yang tak lagi percaya bahwa cinta bisa hadir di hidupnya. Tapi semua berubah saat ia bertemu Sekar Pratiwi, apoteker dingin yang baru kembali dari Amerika. Wajah cantiknya menyimpan rahasia kelam, dan sikap tertutupnya tak mudah ditembus.

Sekar bukan perempuan biasa. Ia tumbuh dengan trauma dan luka yang membekas dalam. Dunia baginya hanya ruang sunyi, tempat untuk bertahan. Tapi kehadiran Hanif—yang penuh perhatian namun tak pernah memaksa—secara perlahan meruntuhkan tembok pertahanan yang ia bangun selama bertahun-tahun.

Saat masa lalu datang kembali menuntut balas, dan rasa tidak layak mulai merayap di hati Sekar, Hanif tetap memilih tinggal. Menemani. Mendengarkan. Mencintai.
Ini tentang cinta yang datang setelah semua luka. Setelah tangis, trauma, dan keraguan. Cinta yang tidak perlu sempurna.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon khayalancha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 23

Sejak malam penangkapan itu, hidup Sekar perlahan berubah. Hari-hari yang sebelumnya dipenuhi kegelisahan kini terasa lebih ringan. Bukan berarti luka-luka itu sembuh begitu saja, atau bayangan kelamnya benar-benar menghilang. Tubuhnya masih menyimpan ketegangan, seolah memori itu tertanam dalam otot dan tulangnya. Kadang-kadang, saat ia mendengar bunyi pintu dibuka dengan tiba-tiba atau melihat cahaya lampu hotel di layar televisi, jantungnya berdetak lebih cepat. Bayangan malam itu, dengan aroma ruangan sempit dan sorot mata buas sang pria, datang seperti kilat yang menyambar dalam benaknya.

Namun kini, Sekar tahu bahwa pria itu takkan pernah bisa menyakitinya lagi.

Ayah tirinya resmi ditahan. Polisi menetapkan pasal percobaan pemerkosaan dan kekerasan terhadap anak di bawah umur. Tuduhan itu mengacu pada laporan Sekar, rekaman percakapan malam itu, serta bukti-bukti pendukung lain yang muncul dalam penyelidikan. Tidak hanya itu, beberapa saksi dari masa lalu yang selama ini bungkam pun akhirnya berani bersuara. Dua orang mantan tetangganya—ibu-ibu yang dulu hanya berani berbisik di belakang pintu—mengaku bahwa mereka pernah melihat kejanggalan pada hubungan ayah tirinya dan dirinya. Bahkan seorang mantan pengurus panti asuhan tempat Sekar pernah tinggal sempat mencatat perubahan sikap Sekar saat sang pria datang menjemputnya beberapa kali.

“Saya pikir waktu itu cuma perasaan saya saja,” kata wanita paruh baya itu di kantor polisi, dengan suara bergetar. “Tapi sekarang saya nyesel… kenapa saya nggak ngomong dari dulu.”

Sekar tidak menyangka, satu langkah kecil yang ia ambil untuk menghadapi masa lalu ternyata membuka pintu bagi luka-luka lama yang selama ini tersembunyi dalam diam. Ia tidak sendiri. Rupanya, trauma itu bukan miliknya seorang. Suara yang selama ini ia simpan rapat-rapat dalam kepalanya, kini memantul dan menemukan gema pada pengalaman orang lain.

Ada kelegaan di sana. Tapi juga ada duka. Ia sempat menangis semalaman di pelukan Hanif ketika mengetahui bahwa ternyata ada anak-anak lain yang mungkin mengalami hal yang sama. Dunia terasa begitu bengis, dan ia merasa kecil di tengah semua penderitaan itu. Namun di tengah kesedihan itu, ia juga merasa kuat—karena kini ia berdiri di sisi kebenaran.

Hanif selalu berada di sisinya. Sejak proses pemeriksaan hingga saat Sekar dipanggil menjadi saksi. Setiap kali ia harus mengulang cerita mengerikan itu di depan penyidik atau jaksa, setiap kali detail-detail kecil itu harus ia ceritakan dengan jelas, Hanif tidak pernah pergi. Ia duduk di kursi luar ruangan, atau di pojok belakang, menggenggam tangan Sekar dengan erat dan tidak melepaskannya.

Pernah suatu malam setelah sesi pemeriksaan, Sekar jatuh terduduk di dalam kamar. Bahunya gemetar hebat, dan tangisnya tak terbendung. Hanif tidak berkata apa-apa saat itu. Ia hanya duduk di lantai bersamanya, merangkul tubuh yang menggigil, dan membiarkannya menangis sampai suara Sekar habis.

“Kamu nggak sendiri,” bisik Hanif berkali-kali sambil menyapu rambut Sekar yang basah karena air mata. Kalimat itu, sesederhana dan sesering apapun diucapkan, menjadi jangkar yang menahan Sekar agar tidak tenggelam dalam trauma. Kata-kata itu seperti pelampung di laut gelap kenangan, tempat ia bisa berpaut saat badai kembali datang.

Pada malam-malam ketika mimpi buruk menghampirinya, Sekar akan terbangun dengan napas memburu dan keringat dingin membasahi punggungnya. Hanif, yang tidur di sofa kamar karena menghormati batasan Sekar, akan segera menghampiri dan duduk di sisinya. Ia tak pernah bertanya. Ia hanya menyalakan lampu tidur kecil, menuangkan segelas air, lalu menatap Sekar dengan penuh pengertian.

“Aku masih takut,” lirih Sekar suatu malam.

“Tak apa,” jawab Hanif lembut. “Takut itu bukan tanda kamu lemah. Itu tanda kamu sedang berjuang.”

Kata-kata itu menancap dalam hati Sekar. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ia merasa tidak harus selalu kuat. Ia tidak harus selalu menahan. Bersama Hanif, ia belajar bahwa keberanian bukan tentang menyingkirkan rasa takut, tapi tentang tetap melangkah meski ketakutan itu ada.

Kini, meskipun proses hukum masih berjalan dan pengadilan belum dimulai, Sekar mulai belajar bernapas lebih tenang. Ia mulai kembali bekerja secara perlahan, menulis lagi, dan bahkan sesekali bisa tertawa lepas saat Hanif melontarkan candaan recehnya. Luka itu masih ada, tetapi kini tidak lagi berdarah. Ia sedang dalam proses sembuh—perlahan, tapi pasti.

Dan selama Hanif tetap di sisinya, Sekar tahu bahwa ia takkan pernah sendirian lagi.

---

Seminggu setelah kejadian itu, Hanif mengajak Sekar berlibur ke kota kecil di pinggir pantai. Mereka menyewa rumah kayu sederhana yang langsung menghadap laut. Setiap pagi, Sekar bangun dengan suara debur ombak dan aroma garam yang terbawa angin. Ia duduk di beranda, membiarkan sinar matahari pagi menyentuh wajahnya.

Hanif akan datang dengan dua gelas teh panas dan sepotong roti. Tanpa banyak bicara, mereka duduk berdampingan. Sesekali Sekar menyandarkan kepala di bahu Hanif. Hening di antara mereka bukanlah kekosongan, melainkan ruang yang nyaman untuk bernapas.

Pada hari ketiga, saat matahari mulai condong ke barat dan langit menjingga, Sekar berdiri di tepi pantai, membiarkan air laut membasahi kakinya. Hanif mendekat dari belakang dan memeluk pinggangnya.

“Kamu kelihatan lebih damai hari ini,” ucap Hanif lembut.

Sekar mengangguk. “Aku mulai merasa bebas. Untuk pertama kalinya… aku benar-benar merasa aman.”

Hanif mengecup puncak kepalanya. “Kamu pantas mendapatkan semua ini. Kedamaian, kebebasan, dan cinta.”

Sekar menoleh menatapnya. “Dulu, aku selalu merasa kotor. Seperti luka yang tidak akan pernah bisa sembuh. Tapi sekarang aku mulai percaya, bahwa aku bisa sembuh.”

“Karena kamu memang bisa. Dan kamu sudah sangat jauh, Sekar. Aku bangga padamu.”

Mata Sekar berkaca-kaca. “Terima kasih karena nggak pernah lelah mendampingi aku. Dulu aku pikir aku nggak layak dicintai. Tapi kamu… kamu menunjukkan bahwa aku salah.”

Hanif menatapnya dalam. “Kamu bukan cuma layak dicintai. Kamu layak dicintai dengan cara yang paling tulus. Dan aku akan mencintaimu seperti itu, setiap hari.”

---

Setelah kembali dari liburan, Sekar mulai menjalani hidup dengan ritme yang lebih teratur. Ia kembali bekerja di rumah sakit, dengan semangat yang baru. Rekan-rekannya mulai melihat cahaya yang dulu redup dalam diri Sekar kini mulai bersinar lagi. Ia lebih ramah, lebih terbuka, dan lebih sering tersenyum.

Ia juga mulai rutin menjalani konseling. Setiap minggu, ia bertemu dengan seorang psikolog yang membantunya memproses peristiwa masa lalunya. Di ruang yang aman itu, Sekar belajar berdamai. Ia belajar bahwa trauma bukanlah sesuatu yang harus dilupakan, melainkan sesuatu yang harus diterima dan dipeluk sebagai bagian dari dirinya yang kuat.

Salah satu momen paling menyentuh adalah ketika Sekar menulis surat kepada dirinya yang dulu—gadis kecil yang takut dan bingung, yang hanya ingin dilindungi.

"Untuk Sekar kecil,

Maaf karena kamu harus melalui semua itu. Maaf karena tidak ada yang melindungimu. Tapi sekarang, kamu sudah aman. Kamu sudah besar dan kamu tidak sendiri. Aku di sini. Kita selamat. Dan kita pantas bahagia."

Ia membaca surat itu keras-keras di depan cermin, sambil menangis. Hanif yang mendengar dari luar kamar tidak masuk. Ia tahu itu adalah momen penting yang harus dijalani Sekar sendiri.

Malam harinya, Sekar berbaring di dada Hanif, tubuhnya masih sedikit gemetar, tapi matanya penuh keteguhan.

“Aku nggak mau lagi terus dihantui masa lalu. Aku nggak mau hidup dalam ketakutan. Aku mau memulai dari awal.”

Hanif mengusap rambutnya lembut. “Kalau itu yang kamu mau, maka itu yang akan kita lakukan. Aku akan memulai dari awal bersamamu.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!