NovelToon NovelToon
Lihatlah Aku Dari Nirwana

Lihatlah Aku Dari Nirwana

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Duda / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Beda Dunia / Cinta Murni / Slice of Life
Popularitas:719
Nilai: 5
Nama Author: indrakoi

Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

CHAPTER 10: Bersaksi

Hari yang ditunggu-tunggu pun akhirnya tiba. Setelah menunggu selama beberapa hari, akhirnya gugatan yang kami ajukan ke pihak pengadilan akan dilakukan proses persidangan. Aku mendapatkan kabar ini dari Felix tiga hari yang lalu, dimana dia meneleponku pagi-pagi sekali hanya untuk mengabari hal ini. Felix juga mengatakan bahwa aku juga harus ikutan hadir sebagai pihak saksi yang pernah melihat perlakuan buruk dari pihak Perumahan Dahayu Permai terhadap dr. Sofia.

Karena itu lah, di siang hari yang sangat terik ini, aku lagi sibuk mempersiapkan diri sebelum datang memberi kesaksian di pengadilan. Sebenarnya, saat bersaksi nanti, aku nggak perlu berpenampilan rapi dan juga wangi sampai harus mandi kayak gini. Akan tetapi, dulu Felicia sering marah kalau aku sampai keluyuran dengan tampang yang lusuh seperti seorang neet (pengangguran). Jadinya, agar dia tetap tenang di alam sana, kita laksanakan saja wejangan-wejangan semasa hidupnya, ya.

Setelah selesai mandi, aku langsung pergi ke kamar untuk mengenakan satu set pakaian formal yang sederhana, tapi entah kenapa malah digadang-gadang stylish oleh banyak orang. Pakaianku hanya terdiri dari kemeja lengan panjang berwarna putih, celana panjang warna hitam, dan juga sepatu pantofel dengan warna coklat muda. Voila! Inilah outfitku untuk hari ini. Yah, nggak perlu kaget juga, sih, soalnya aku memakai setelan ini hampir di setiap hari kerja.

Saat semuanya beres, aku kemudian mengunci semua akses masuk ke dalam rumah sebelum berangkat ke kantor pengadilan. Sedikit informasi menarik, ini adalah persidangan pertama setelah aku vakum dari dunia kenotariatan selama dua bulan lebih. Sebelum yang sekarang ini, apalagi pada saat masih merintis karir, aku sudah sering memberikan kesaksian di pengadilan apabila kena serempet kasus client.

Biasanya, ada aja client-client yang punya niat jahat terhadap akta notaris yang telah aku buat. Masih ingat dengan rencana jahat Raditya Hermawan sebelumnya? Nah, kasus-kasus seperti itu lah yang sering menyeretku masuk untuk bersaksi di pengadilan.

Dan sialnya, walaupun sudah melakukan pemeriksaan secara mendalam tanpa melanggar kode etik, terkadang aku tetap saja kena serempet dengan kasus kejahatan para client. Yah, itulah salah satu beban yang harus ditanggung oleh para notaris.

Oke, karena semua akses masuk ke dalam rumah sudah dikunci, itu berarti sekarang adalah saatnya untuk pergi ke Pengadilan Negeri Andawana. Yah, sebenarnya agak malesin, sih. Tapi, ya sudahlah, siapa tahu kebaikanku ini akan terbayar suatu saat nanti.

...***...

“Saksi atas nama Emanuel Nathaniel?” Panggil seorang petugas di ambang pintu ruang persidangan.

“Baik, dengan saya sendiri.” Sahutku sambil bangkit dari kursi yang benar-benar nggak nyaman ini.

“Silahkan masuk.” Ucapnya dengan nada datar, sambil memberikan jalan untuk masuk ke ruangan sidang.

Setelah berusaha menahan kantuk selama 20 menit di ruang tunggu, akhirnya aku dipanggil juga untuk memberikan kesaksian pada persidangan ini. Begitu menginjakkan kaki di ruang sidang, aku langsung merasakan sebuah suasana ketegangan yang begitu familiar. Seluruh pasang mata menatap ke arahku dengan begitu intens, seolah mereka sadar bahwa setiap kata yang terucap oleh mulut ini akan menentukan putusan yang dikeluarkan oleh majelis hakim.

Kakiku kemudian melangkah pelan menuju sebuah kursi yang berada tepat di hadapan hakim ketua. Di luar dugaan, sosok yang menjadi hakim ketua pada persidangan ini ternyata adalah pak tua yang bijaksana itu. Walaupun nggak tahu siapa namanya, tapi aku berani jamin bahwa putusan yang dikeluarkan pada persidangan ini akan adil seadil-adilnya. Aku berani ngomong kayak gini karena dulu pernah bersaksi sebanyak beberapa kali di hadapannya.

Mungkin bagi beberapa orang yang baru pertama kali berhadapan dengannya—seperti dr. Sofia—akan mengira bahwa pak tua itu adalah seorang hakim yang kejam. Ini disebabkan karena penampilannya tampak begitu mengintimidasi berkat bekas luka sayatan panjang yang menghiasi dahi hingga pipinya. Selain itu, sorot matanya juga tajam, seolah mampu menembus ke dalam jiwamu. Tapi percayalah, orang ini sesungguhnya adalah perwujudan dari keadilan itu sendiri.

“Saudara atas nama Emanuel Nathaniel?” Tepat sesaat setelah aku duduk, hakim ketua tiba-tiba bertanya sambil melirik ke arah kertas yang dipegangnya.

“Benar, Yang Mulia.” Balasku dengan nada yang santai, namun tetap menjaga formalitas.

“Tempat dan tanggal lahir?”

“Andawana, 4 Maret 1980.”

“Agama?”

“Kristen Katolik.”

“Untuk sekarang, saudara berprofesi sebagai apa?”

“Sebagai Notaris, Yang Mulia.”

Mungkin kalian bertanya kenapa si hakim tua ini menanyakan identitasku dengan begitu detail? Jawabannya adalah karena ini memang prosedur bagi seorang hakim untuk mengkonfirmasi identitas seorang saksi sebelum memberikan kesaksiannya. Ini bertujuan untuk memastikan kredibilitas dan keabsahan keterangan yang akan diberikan, serta untuk memastikan bahwa saksi tersebut memang memiliki kapasitas dalam memberikan keterangan yang relevan.

“Saudara mengenal saudari Sofia Valentine ini sebagai apa?”

“Kebetulan beliau adalah Psikiater yang pernah menyembuhkan saya dari depresi, Yang Mulia.” Keteranganku yang satu ini sebenarnya nggak sepenuhnya bohong, tapi juga nggak sepenuhnya jujur. Berkat obat yang diberikan oleh dr. Sofia, halusinasi yang kualami nggak pernah kumat lagi sampai sekarang. Akan tetapi, depresi berat yang masih menghantui kepala ini masih berada jauh dari kata sembuh.

“Begitu, ya. Berarti sekarang, apakah saudara yakin sudah memperoleh kecakapan kembali untuk bersaksi hari ini?” Oke, biar aku terjemahkan pertanyaan si hakim tua ini. Sederhananya, dia cuma pengen memastikan apakah aku ini masih gila atau tidak. Ini adalah hal yang penting bagi seorang hakim karena mustahil baginya untuk mengakui keterangan seseorang yang tidak sehat secara mental.

“Saya seratus persen yakin, Yang Mulia. Buktinya, saya telah kembali untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat yang membutuhkan jasa seorang notaris.” Jawabku dengan nada yang menunjukkan sebuah keyakinan teguh kepadanya.

“Baiklah, kalau begitu, silahkan berdiri.” Aku kemudian berdiri tegak sesuai perintah dari hakim tua itu.

Jika mengingat alurnya lagi, setelah ini aku pasti diminta untuk mengucapkan sumpah sebelum memberikan kesaksian. Ini bertujuan untuk mencegah seorang saksi untuk berbohong karena setiap ucapannya nanti akan berhubungan langsung dengan Tuhan.

Sesaat kemudian, seorang petugas yang membawa Alkitab kemudian datang dan berdiri di sampingku. Dia mengangkat Alkitab itu tinggi-tinggi, hingga berada tepat di atas kepalaku.

“Di atas kepala saudara adalah Alkitab. Saudara yang bersumpah, sementara saya hanya menuntunnya saja. Ikuti lafal sumpahnya.” Ujar sang hakim ketua, sambil membalik kertas yang ada di hadapannya. “Saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya.” Tambahnya lagi untuk menuntunku mengucapkan sumpah seorang saksi.

“Saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan dengan sebenarnya dan tiada lain daripada yang sebenarnya.” Ucapku mengikuti pelafalan sumpah tersebut dengan nada yang tenang.

“Baiklah, silahkan duduk kembali dan berikan kesaksian anda.”

...***...

Setelah persidangannya selesai, Felix mengusulkan untuk pergi ke sebuah bar di pinggir pantai untuk menselebrasikan kemenangan ini bersama-sama. Dr. Sofia yang terlihat sangat kegirangan tentu saja menyetujui usulan tersebut. Sementara itu, aku yang terus dibujuk oleh mereka berdua mau nggak mau harus ikutan juga.

Ngomong-ngomong, mengenai persidangan tadi, si hakim tua itu langsung mengeluarkan putusan pengadilannya dalam satu kali proses sidang saja. Hal ini jelas membuktikan kualitasnya sebagai seorang sesepuh di dalam dunia peradilan. Bahkan, kedua hakim anggota yang ada di sisi kiri dan kanannya terlihat cuma menambahkan sedikit pertimbangan saja sebelum putusan itu dikeluarkan.

“Bersulang!” Seru Felix dan dr. Sofia sambil membenturkan gelas mereka dengan penuh kebahagiaan.

“Hah… Akhirnya aku bisa merasa lebih tenang sekarang. Makasih banyak, ya, kalian berdua!” Ujar dr. Sofia sambil menyunggingkan senyuman yang terlihat lebih ceria dari biasannya.

“Nggak masalah. Kami senang bisa membantu anda, dok!” Balas Felix sambil meneguk segelas bir miliknya.

“Ngomong-ngomong, kalian berdua benar-benar keren banget waktu sidang tadi! Berbeda sama aku yang udah kelihatan gugup bahkan sebelum sidangnya dimulai.” Puji dr. Sofia kepada aku dan Felix dengan nada yang penuh ketulusan.

“Hahaha, itu hal yang wajar, kok. Anda kan baru pertama kali terlibat di dalam sebuah persidangan. Beda sama kami yang dalam setahun bisa puluhan kali berurusan di sana.” Setelah Felix mengatakan hal itu, suasana menjadi hening sejenak karena mata kami teralihkan oleh pemandangan matahari terbenam yang indah. Aku tiba-tiba teringat oleh Felicia, karena dia itu adalah orang yang suka banget sama sunset. Bahkan, sehari sebelum meninggal, dia memintaku untuk mengantarkannya ke pantai agar bisa menikmati pemandangan indah ini bersama.

“Oh, iya! Aku hampir aja lupa.” dr. Sofia tiba-tiba memecah kesunyian. “Berapa biaya yang harus aku bayar atas jasa kalian?” Tanyanya sambil menatap ke arahku dan juga Felix secara bergantian.

“Ah, itu nggak perlu, dok. Aku senang bisa membantu orang yang udah bikin kondisi metal Nael perlahan pulih kembali.” Balas Felix dengan penuh ketulusan.

“Aku juga sama. Tadi itu bukanlah perkara kenotariatan yang menjadi bagian dari pekerjaanku. Jadi, anda nggak perlu repot-repot membayar.” Aku juga ikut menyampaikan penolakan dengan tetap menjaga kesopanan dari setiap kata yang terucap.

“Eh, kok gitu, sih…” Gumam dr. Sofia, sambil menunjukkan ekspresi cemberut yang penuh rasa sungkan. Namun, sesaat kemudian, matanya tiba-tiba membelalak seolah baru saja mendapatkan sebuah ide brilian.

“Bagaimana kalau begini saja.” dr. Sofia kemudian berdiri untuk menyampaikan sesuatu kepadaku dan juga Felix. “Aku akan membayar semua tagihan kita di bar ini. Selain itu…” Dia kelihatan sengaja memberikan sedikit jeda pada ucapannya, sehingga membuat wajah Felix jadi tampak semakin penasaran.

“Aku akan memberikan pengobatan gratis kepada Pak Nael, sampai penyakitnya sembuh total!”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!