NovelToon NovelToon
Malam Saat Ayahku Mati

Malam Saat Ayahku Mati

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia
Popularitas:1.8k
Nilai: 5
Nama Author: Aulia risti

Di dunia tempat kepercayaan bisa menjadi kutukan, Izara terjebak dalam permainan kelam yang tak pernah ia pilih. Gadis biasa yang tak tahu-menahu tentang urusan gelap ayahnya, mendadak menjadi buruan pria paling berbahaya di dunia bawah tanah—Kael.
Kael bukan sekadar mafia. Ia adalah badai dalam wujud manusia, dingin, bengis, dan nyaris tak punya nurani.

Bagi dunia, dia adalah penguasa bayangan. Namun di balik mata tajamnya, tersembunyi luka yang tak pernah sembuh—dan Izara, tanpa sadar, menyentuh bagian itu.

Ia menculiknya. Menyiksanya. Menggenggam tubuh lemah Izara dalam genggaman kekuasaan dan kemarahan. Tapi setiap jerit dan tatapan melawan dari gadis itu, justru memecah sisi dirinya yang sudah lama terkubur. Izara ingin membenci. Kael ingin menghancurkan. Tapi takdir punya caranya sendiri.

Pertanyaannya bukan lagi siapa yang akan menang.
Melainkan... siapa yang akan bertahan.
Karena terkadang, musuh terbesarmu bukan orang di hadapanmu—melainkan perasaanmu sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aulia risti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kehilangan kendali

Sejak Izara meninggalkan restoran lebih dulu, Kael merasa gelisah. Tatapan mata gadis itu saat pamit… ada sesuatu yang berbeda. Seperti ada beban yang sedang disembunyikannya

Kael mengendarai mobil perlahan, menjaga jarak agar tidak terlihat.

Hingga akhirnya, langkah Izara membawanya ke sebuah taman kecil di dekat rumah Kai.

Kael memarkir mobilnya agak jauh, lalu keluar dan berjalan kaki.

Dan di sanalah Kael melihatnya—Izara dan Kai sedang berpelukan.

Dadanya berdegup kencang. Napasnya tercekat. Emosi yang sejak tadi ia tekan mulai lepas kendali.

Tanpa berpikir panjang, Kael melangkah cepat menghampiri mereka.

Brak!

Dengan satu tangan, Kael segera melepaskan pelukan mereka.

Kael tak bisa menahan diri lagi.

Amarahnya meledak begitu saja. Tanpa berpikir panjang, ia menghampiri Kai dan langsung mendorongnya kuat.

Kai terhuyung ke belakang, tapi belum sempat berkata apa pun, Kael melayangkan pukulan ke wajahnya.

“KAEL, HENTIKAN!” seru Izara panik.

Namun Kael tak peduli. Pukulan demi pukulan kembali ia layangkan, menghantam Kai yang berusaha menahan dan menghindar.

“Jangan dekati dia lagi!” teriak Kael dengan suara parau. “Kau pikir kau siapa, menyentuhnya seperti itu?!”

Kael masih berdiri di depan Kai, napasnya berat dan tak beraturan. Tangannya mengepal kuat, siap kembali melayangkan pukulan.

Namun tiba-tiba—

“Stop...”

Suara Izara terdengar pelan namun tegas. Matanya berkaca-kaca, dan air mata mulai jatuh satu per satu.

Kael menoleh, menatap wajah Izara.

“Aku bilang hentikan…” lanjutnya dengan suara bergetar. “Aku tidak suka melihatmu seperti ini…”

Tatapan Kael mulai berubah. Amarah yang tadi membakar matanya perlahan meredup saat melihat air mata Izara yang tak terbendung.

Ia diam beberapa detik, lalu menghela napas panjang.

Perlahan, Kael melepaskan cengkeraman tangannya pada Kai.

Kael masih berdiri di tempat. Hatinya kacau, pikirannya berantakan.

Ia melangkah satu langkah maju, ingin menjelaskan.

“Izara… a-aku…” suaranya lirih, nyaris tak terdengar.

Namun sebelum ia bisa mendekat, Izara mundur selangkah. Tatapannya dingin, matanya masih sembab oleh air mata.

Tanpa berkata apa pun, Izara segera berbalik. Ia menghampiri Kai yang masih terduduk lemah.

Dengan sigap, Izara membantu Kai berdiri.

Ia mengabaikan Kael sepenuhnya.

Tak satu kata pun keluar dari mulutnya untuk Kael.

Kael hanya bisa terpaku. Ia menyaksikan bagaimana Izara menopang Kai dengan hati-hati, lalu perlahan membawanya pergi dari taman itu.

Langkah mereka lambat, tapi pasti.

Kael tidak bergerak. Ia hanya menatap punggung mereka yang perlahan menjauh

•••

Langit sudah mulai gelap ketika Kael akhirnya kembali ke rumah.

Pintu rumah terbuka pelan.

Suara tumit sepatu berderap pelan di lantai marmer, menggema dalam ruang yang terasa kosong.

Dari arah dapur, Bibi Marsha—pengurus rumah tangga yang sudah mengabdi sejak Kael kecil—bergegas menghampiri begitu mendengar suara pintu.

Begitu melihat wajah Kael yang lebam dan kemeja yang kusut, ekspresi Marsha langsung berubah cemas.

"Tuan… apa yang terjadi?" tanyanya panik, matanya menatap luka di pelipis dan bibir Kael yang pecah.

Beberapa detik kemudian, ia berjalan melewati Marsha begitu saja.

“Tidak apa-apa, Bi. Aku hanya butuh istirahat.”.

"Tapi—Tuan, wajah Anda—"

“Tolong jangan tanya apa pun sekarang.” Kael memotong, suaranya rendah namun tegas.

Marsha menunduk pelan, tahu bahwa ia tak bisa memaksa. “Baik, Tuan…”

Kael terus melangkah ke lantai atas.

Kini ia berdiri di depan cermin kamar mandi. Ia menatap pantulan dirinya sendiri. Tangannya bertumpu di pinggir wastafel, tubuhnya sedikit membungkuk. Napasnya terdengar berat.

“Aku tidak bisa mengontrol emosiku lagi…” ucapnya lirih.

Ia mengusap wajahnya dengan kasar, lalu kembali menatap cermin.

“Aku tidak ingin menjadi seperti ayah.”

Kael terdiam. Kalimat itu keluar begitu saja.

Besok harinya.

Langit masih kelabu ketika Kael berdiri di depan toko bunga itu. Ia menatap ke dalam, melihat Izara yang sedang sibuk memindahkan pot-pot bunga dari rak ke meja. Nafasnya berat, tangan mengepal, tapi akhirnya ia mendorong pintu kaca perlahan.

Dentang kecil lonceng pintu membuat Izara menoleh sekilas.

Izara menoleh sekilas. “Kael, aku sedang sibuk. Kalau tidak ada hal penting, tolong pergi.”

“Aku ingin bicara, Izara,” kata Kael pelan. “Tolong dengarkan aku.”

Izara menghela napas. “Tentang apa lagi? Kau sudah membuat semuanya kacau semalam.”

Kael mendekat sedikit. “Aku tidak berniat membuat keributan. Aku hanya... kehilangan kendali. Tapi aku ingin menjelaskan.”

“Aku tidak ingin mendengarnya,” potong Izara cepat. “Lebih baik kau pergi sebelum aku benar-benar marah.”

“Tolong beri aku kesempatan untuk bicara,” pinta Kael.

Izara menatapnya tajam. “Apa yang kau lakukan pada Kak Kai sudah melewati batas. Aku tidak bisa memaafkannya begitu saja.”

Kael terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara rendah, “Tapi aku punya alasan.”

“Alasan apa? Kau hanya pria keras kepala dan kasar,” ucap Izara. “Dan aku tidak suka pria seperti itu.”

Izara hendak membalikkan badan, tapi langkahnya terhenti saat Kael berkata dengan nada tegas:

“Tapi aku berhak marah, Izara.”

“Karena aku menyukaimu. Dan bayi itu... dia ada di dalam dirimu. Aku tidak bisa pura-pura tidak peduli.”

Izara mematung. Matanya perlahan menatap Kael dengan ekspresi terkejut.

“Kau...” gumamnya pelan.

“Sampai kapan kau akan menyembunyikan kehamilanmu dariku, Izara?”

Kael menatapnya dalam. Suaranya tegas namun terdengar luka.

“Anak itu... dia anakku juga.”

Izara menahan napas, namun belum sempat ia menjawab, Kael melanjutkan,

“Dan satu hal lagi,” katanya pelan. “Aku tidak suka melihatmu terlalu dekat dengan siapa pun… termasuk Kai.”

Kael melangkah mendekat. Ia ragu sejenak, lalu perlahan meraih tangan Izara.

“Izinkan aku… untuk menjadi ayah yang baik,” ucapnya lirih. “Aku mohon.”

Izara terdiam. Pandangannya kosong sejenak. Namun kemudian ia menarik tangannya, menepis genggaman Kael dengan tegas.

“Tidak.”Suaranya pelan, tapi mantap.

“Aku tidak butuh kau… atau siapa pun untuk berada di sampingku.”

Kael mematung. Napasnya tertahan.

“Aku akan merawat anak ini sendiri,” lanjut Izara.

“Itu keputusan yang sudah kupikirkan baik-baik.”

Wajahnya tampak tegar, tapi sorot matanya menyimpan luka yang dalam. Dalam hatinya, Izara sadar bahwa apa pun pilihannya, akan selalu ada yang terluka. Dan ia tidak ingin menyakiti siapa pun—tidak Kael, tidak juga Kai.

Izara berbalik, tiba-tiba air matanya lolos begitu saja—Sakit.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!