Malam Saat Ayahku Mati
Prakkk!!
Vas bunga itu pecah berserakan. Izara menutup telinga, wajahnya memucat ketakutan.
"KAU!! KEMARI! BIAR KUBERI PELAJARAN!"
Teriakan pria paruh baya itu menggema, wajahnya memerah karena amarah.
Izara menggeleng pelan.
“Jangan, Ayah… jangan… hiks, jangan Ayah,” lirihnya sambil terisak. Tapi tangisannya tidak mengubah apa pun.
Pria itu mencengkeram lengan Izara kasar, menyeretnya menuju kamar mandi.
Buk! Buk!
Tendangan menghantam tubuh kecil itu bertubi-tubi. Izara menjerit kesakitan, lalu tubuhnya disiram air dingin tanpa ampun.
Byur!!
“Hiks… hentikan… Ayah, jangan…”
Suaranya lemah, nyaris hilang di tengah suara air dan gemuruh hujan di luar.
Pria itu menatap Izara tajam. Meski darah yang sama mengalir di tubuh mereka, tak ada sedikit pun belas kasihan di matanya.
“Rasakan itu! Kalau kau berani berulah lagi… lihat saja apa yang akan kulakukan.”
Suara itu dingin dan penuh ancaman. Ia meludah, lalu pergi begitu saja.
Izara menggigit bibirnya. Tubuhnya menggigil, basah dan penuh memar. Ia menahan tangis, lalu dengan sisa tenaga, berjalan tertatih menuju kamarnya.
Tangannya gemetar saat membuka pintu yang hanya setengah tertutup. Begitu masuk, tubuhnya langsung ambruk ke lantai. Ubin dingin seolah ikut menertawakan deritanya.
Izara menatap langit-langit kamar yang penuh retakan. Udara malam menusuk kulitnya, tapi luka di dalam jauh lebih menyakitkan.
“Kenapa... kenapa harus aku?” bisiknya nyaris tak terdengar.
Tangannya menyentuh pipi yang lebam, lalu perut, dan lututnya yang nyeri. Setiap sentuhan menyalakan rasa sakit baru. Ia menarik selimut yang terjatuh di ujung ranjang, membungkus tubuhnya erat-erat.
Suara pintu depan dibanting menandakan ayahnya telah pergi. Izara menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri meski air mata masih mengalir.
Matanya menatap meja kecil di sebelah tempat tidur. Di sana tergeletak sebuah buku catatan terbuka, penuh dengan tulisan kecil dan coretan kelam. Ia meraihnya dan mulai menulis:
"Aku ingin bebas... aku ingin pergi dari sini. Tapi ke mana? Siapa yang akan percaya padaku? Siapa yang akan menolong?"
Tangannya berhenti. Ia tahu tak bisa terus seperti ini. Tapi keberanian itu belum datang.
Tiba-tiba, terdengar suara dari luar jendela—suara lembut seseorang bersenandung. Itu suara perempuan tua tetangganya. Suara yang biasanya tak berarti apa-apa, malam ini terdengar seperti pelukan hangat.
Untuk pertama kalinya malam itu, Izara menutup mata... bukan karena takut, tapi karena untuk sesaat, ia berani bermimpi tentang kebebasan.
Malam semakin larut. Hujan turun pelan, mengetuk jendela seperti bisikan pelan dari langit. Izara masih menggigil, menatap jendela yang berembun. Namun suara senandung tadi masih membekas, memberikan sedikit ketenangan.
Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.
“Akh!”
Teriakan pendek terdengar dari luar. Izara terlonjak. Jantungnya berdetak kencang. Ia duduk tegak, menajamkan telinga.
Suara gaduh terdengar—seperti benda berat terjatuh—diiringi langkah kaki tergesa. Tanpa pikir panjang, ia merangkak ke jendela, mengusap embun dengan tangan gemetar.
Matanya membelalak.
Di halaman samping, samar oleh cahaya lampu jalan, seorang pria berdiri. Jas hujan hitam menutupi wajah dan tubuhnya. Nafasnya memburu. Di kakinya, tergeletak tubuh ayahnya.
Tubuh itu diam. Mulutnya terbuka. Sebilah pisau tergeletak di dekat tangannya.
Izara menutup mulut, menahan teriakan.
Pria itu berjongkok, memeriksa denyut nadi ayahnya—lalu menyeret tubuh itu ke semak belakang rumah. Gerakannya cepat dan penuh perhitungan. Hujan membantu menghapus jejak, dan malam yang sepi menyembunyikan semuanya.
Izara mundur perlahan, tubuhnya gemetar hebat.
"Ini nyata... Ayah dibunuh..."
Namun sebelum bisa mencerna semua itu, pria di luar menoleh—tepat ke arah jendelanya.
Mata mereka bertemu.
Izara terhenyak. Dengan refleks, ia menjatuhkan diri, bersembunyi di bawah jendela, menahan napas.
‘Apakah dia melihatku? Apakah dia tahu aku di sini?!’.
Ia tak berani bergerak. Hanya langkah kaki itu yang kini terdengar, mendekat perlahan. Tenang. Terukur. Seperti seseorang yang tahu pasti ke mana ia akan pergi...
Izara menutup mulutnya erat-erat. Tubuhnya bergetar ketakutan saat langkah pria itu semakin dekat.
Suara sepatu yang menjejak lantai kayu terdengar tepat di balik dinding kamarnya. Napasnya tercekat.
Tok... tok... tok...
Tiga ketukan pelan terdengar di pintu depan. Izara memucat. Ia tahu—itu bukan ayahnya. Suara berat dan datar terdengar dari kejauhan:
"Lampu jendelamu masih menyala. Aku tahu kau bangun."
Izara menutup mulut, menahan isakan. Ia tahu… jika pria itu masuk dan menemukannya, semuanya akan berakhir.
Tanpa pikir panjang, Izara merangkak ke jendela belakang kamar yang menghadap ke kebun tetangga. Hujan masih mengguyur, tapi itu lebih baik daripada berhadapan dengan si pembunuh yang kini ada di dalam rumah.
Tangannya gemetar saat mencoba membuka jendela. Kuncinya macet. Ia menggigit bibir, menahan panik.
Klik.
Akhirnya terbuka.
Izara naik ke ambang jendela dan melompat ke luar. Tanah becek membuatnya tergelincir, tapi, ia segera bangkit dan berlari—tanpa alas kaki, tanpa arah. Satu-satunya tujuan: menjauh dari rumah itu.
Hujan membasahi tubuhnya. Dingin menusuk, tapi adrenalin membungkam rasa. Ia menerobos semak, melewati pagar kayu kecil, masuk ke gang sempit yang gelap menuju jalan utama
“Sialan, dia kabur!” desis pria itu, matanya menajam saat melihat Izara berlari cepat menuju jalan utama.
Izara terus berlari meski lututnya lemas. Di kejauhan, lampu warung kecil tampak menyala. Harapan menyala—tempat aman!
Izara menuju warung. Kaki berlumpur, rambut menempel di wajah. Pemilik warung, lelaki tua berkemeja tipis, menoleh dengan bingung.
Namun sebelum sempat bicara—
"KETEMU KAU!"
Suara berat menghantam dari sisi kanan. Izara menoleh—pria itu sudah di sana, hanya beberapa langkah darinya.
Tubuhnya membeku.
Pemilik warung mematung, matanya melebar, tak bergerak.
Pria itu melangkah cepat, menarik tangan Izara dengan kasar.
"Lepas—!" Izara menjerit, meronta.
Izara berusaha melawan, tapi tubuhnya lelah, dingin, dan pria itu terlalu kuat.
Tak ada yang menolong.
Bapak warung hanya berdiri kaku, mulut setengah terbuka. Tak berkata apa-apa. Tak bergerak.
“Jangan ikut campur,” desis pria itu. Lalu menyeret gadis itu ke gang sempit di samping warung.
Gadis itu menjerit. “Tolong! Tolong aku!!”
Tapi tak ada jawaban. Hujan makin deras, menelan jeritannya. Dunia seolah menutup mata.
Langkah-langkah mereka menghilang ke dalam kegelapan. Bayangan tubuh mereka samar di balik tirai hujan yang membutakan.
Beberapa menit berlalu.
Di pinggir jalan, warung itu tetap berdiri dengan lampunya yang redup. Bapak pemilik warung menatap kosong ke arah gang, lalu memalingkan muka, pura-pura sibuk menyusun rokok di raknya. Tak satu pun pelanggan datang malam itu.
Dan di gang gelap yang sunyi...
Terdengar satu suara terakhir—
“Tidakkk… ahkkk!!”
Setelah itu, hanya hujan yang bicara.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments