Nayra Kirana, gadis berusia 22 tahun yang baru lulus kuliah, dihadapkan pada kenyataan pahit, ayahnya sakit keras dan keluarganya berada di ambang kehancuran ekonomi. Ketika semua pintu tertutup, satu-satunya jalan keluar datang dalam bentuk penawaran tak terduga—menikah dengan Arka Pratama, pria terpandang, CEO sukses, sekaligus... paman dari senior sekaligus bos tempatnya magang.
Arka adalah duda berusia 35 tahun, dingin, tertutup, dan menyimpan banyak luka dari masa lalunya. Meski memiliki segalanya, ia hidup sendiri, jauh dari kehangatan keluarga. Sejak pertama kali melihat Nayra saat masih remaja, Arka sudah merasa tertarik—bukan secara fisik semata, melainkan pada keteguhan hati dan ketulusan gadis itu. Ketika Nayra tumbuh dewasa dan kesulitan menghimpit hidupnya, Arka melihat kesempatan untuk menjadikan gadis itu bagian dari hidupnya.
Tanpa cinta, tanpa keromantisan, mereka memulai hidup sebagai suami istri berdasarkan perjanjian: tidak ada kewajiban fisik, tidak ada tuntutan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lee_ya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gue Libas Semua
“Jadi… kamu yakin mau ngajak aku dan Alma ke acara reuni kampusmu?” Nayra bertanya sambil mengganti popok Alma yang sedang menggeliat seperti ulat bulu.
Arka yang sedang merapikan dasi hanya tertawa kecil. “Kenapa nggak? Kamu istriku. Dan Alma? Dia kartu AS-ku buat menangkis omongan orang-orang.”
Nayra mengangkat alis. “Yang benar? Jangan-jangan kamu takut ketahuan bawa istri lucu dan anak unyu ke tempat para mantan.”
Arka menatapnya dari cermin. “Aku justru pengin pamer. Punya istri konyol, unik, kadang lebay tapi bikin hidupku hidup dan anak yang selalu bikin semua orang jatuh cinta.”
Nayra pura-pura tersipu. “Cie, sekarang pinter gombal.”
“Bukan gombal. Ini fakta dari hati seorang pria yang dulunya terlalu bodoh buat tahu apa itu cinta sejati.”
Nayra menatap suaminya yang kini berdiri di depannya sambil membawa tas bayi. Ia tersenyum, mencium pipi Alma yang sedang mengunyah mainan.
“Baiklah, Pak Suami. Kalau begitu, kita berangkat. Tapi ingat kalau ada mantan yang mencoba flirting, aku akan berubah dari ibu Alma jadi ninja daster.”
“Noted.” Arka tertawa.
***
Gedung tempat reuni itu mewah. Lampu kristal menggantung di langit-langit, suara musik klasik mengalun lembut, dan para alumni datang dengan jas dan gaun paling elegan mereka.
Nayra melongo begitu masuk.
“Ini reuni apa audisi Miss Universe?!” bisiknya.
Arka meremas pelan tangan Nayra. “Kamu yang paling cantik di ruangan ini.”
Nayra memutar bola mata. “Bisa tolong bilang itu ke makeup-ku yang cuma bedak bayi dan lipstick setengah meleleh?”
Arka tertawa. “Justru itu yang bikin kamu beda. Natural.”
Nayra menoleh cepat. “Arka…”
“Apa?”
“Barusan ada wanita dadanya hampir nabrak hidungku. Itu normal?”
Arka menoleh. Seorang wanita tinggi semampai dengan gaun merah menyala berjalan ke arah mereka. Langkahnya elegan, senyum tipis menghiasi wajahnya, dan pandangannya lurus ke arah Arka.
“Nadia,” gumam Arka pelan.
Nayra mengerutkan kening. “Nadia siapa?”
Sebelum Arka menjawab, wanita itu sudah berdiri di depan mereka.
“Arka,” sapa wanita itu dengan nada lembut. “Sudah lama sekali. Kamu masih tampan seperti dulu.”
Nayra menahan napas. Alarm mentalnya berbunyi keras.
Arka tersenyum kaku. “Hai, Nadia. Lama nggak ketemu.”
Nadia melirik Nayra dengan senyum tipis. “Dan ini…?”
“Ini istri saya. Nayra dan ini anak kami, Alma.”
Mata Nadia membulat. Tapi hanya sebentar, sebelum berubah menjadi senyum basa-basi.
“Oh aku dengar kamu menikah lagi. Tapi tidak menyangka secepat ini.”
Nayra tersenyum manis. “Cepat itu relatif, Mbak. Cinta yang pas, biasanya nggak perlu waktu lama untuk yakin.”
Nadia tertawa kecil. “Lucu juga. Punya anak secepat itu juga.”
“Memangnya cinta harus pakai jadwal seperti kuliah?” Nayra membalas dengan ekspresi polos.
“Kami lulus tanpa remedial, kok.”
Arka menahan senyum. Dia tahu bahwa sang istri dalam mode siap tempur.
***
Nadia masih berdiri di depan mereka. Matanya tajam, suaranya lembut, tapi ada nada licik di balik semua itu. Seperti belati yang dibungkus bunga.
“Aku ingat dulu kamu nggak suka anak-anak, Arka,” ujar Nadia sambil menatap Alma yang sedang menggigiti ujung syal Nayra.
Nadia adalah mantan pacar Arka saat di bangku kuliah.
Arka hanya mengangguk. “Dulu iya. Tapi semuanya berubah waktu Nayra hadir.”
Nayra tersenyum dan mencium Alma di pipi. “Cinta itu bukan cuma tentang cocok, tapi tentang siapa yang bisa mengubah kamu jadi lebih baik. Bukan makin egois.”
Nadia terkesiap sesaat. “Lucu juga kamu. Pintar ngomong ya?”
“Biasa,” kata Nayra enteng.
“Saya dulu ketua OSIS. Latihan pidato tiap hari.”
Arka nyaris tertawa.
Tapi Nadia belum menyerah. Ia melirik Nayra dari ujung kaki ke kepala. “Kamu masih muda ya, Nayra? Arka memang selalu suka yang segar-segar.”
“Oh tentu,” Nayra menimpali, tetap dengan senyum. “Dan kamu kelihatan matang. Kayak pisang goreng di balik etalase, Mbak.”
Arka langsung terbatuk menahan tawa.
Nadia mengangkat alis. “Maksud kamu?”
“Maksud saya wangi, menggiurkan, tapi kalau kelamaan di etalase ya ya begitulah, Mbak.” Nayra mengangkat bahu seolah polos.
Seorang teman kampus menghampiri mereka, menyelamatkan situasi. Tapi Nadia menatap Nayra dengan tatapan yang nyaris bisa mengelupas cat dinding.
***
Satu jam kemudian, Arka sedang mengobrol dengan rekan-rekan kampus pria. Nayra duduk di meja pojok bersama Alma, memandangi suaminya dari jauh.
“Hmm. Lihat tuh,” bisik Nayra ke Alma.
"Papa kamu dikerubungi kayak pangeran Arab. Tapi kamu tenang aja, Ma. Mama siap siaga kayak satpam minimarket.”
Alma menatap ibunya, menguap.
Baru Nayra berdiri, Nadia kembali muncul. Kini duduk di kursi dekat Arka. Ia memegang gelas anggur, bibirnya merah menyala, dan tangannya menyentuh pundak Arka.
“Oh tidak, kau salah meja, Mbak,” gumam Nayra. Ia mengambil Almanya, berjalan ke arah mereka dengan senyum cerah.
“Pa! Maaf, Alma pup. Butuh bantuan ganti popok!”
Seluruh meja mendadak diam.
Arka nyaris tersedak. “Sekarang?”
“Sekarang!” Nayra menatap tajam sambil menyodorkan Alma ke Arka. “Kamu, sebagai Papa, harus ikut terlibat dalam urusan penting ini!”
Nadia menatap geli, seolah ingin berkata apa-apaan ini.
Tapi Nayra tak peduli. Ia menepuk pundak Nadia dengan lembut. “Mbak Nadia, tahu nggak? Kadang cinta sejati itu bisa dilihat dari cara cowok ganti popok. Bukan dari seberapa hebat dia berdansa di pesta reuni.”
Arka berdiri dengan Alma di pelukannya. “Kamu ngajak aku berdansa atau ngajak aku ganti popok sih?”
“Ganti popok sambil berdansa kalau perlu.”
***
Di ruang ganti bayi, Arka tertawa sambil menatap Nayra yang sedang menyeka tangan Alma dengan tisu.
“Kamu sengaja ya tadi?”
“Apa?”
“Nayra.”
“Oke, ya, aku sengaja. Aku emang overprotective. Tapi kamu itu Arka-ku. Milik Alma dan aku. Dan aku bukan tipe yang diem aja kalau ada ‘hantu masa lalu’ nyolek-nyolek suamiku.”
Arka menarik tubuh Nayra ke pelukannya.
“Aku bahagia kamu datang hari ini. Aku tahu reuni ini penting buatku. Tapi kamu dan Alma jauh lebih penting.”
Nayra bersandar di dada Arka.
“Terima kasih karena tetap pulang ke aku. Meski bajuku nggak semahal gaun mantanmu. Meski aku sering salah campur MPASI dan meski aku pernah ngira shampoo bayi itu pelembut pakaian.”
Arka mencium ubun-ubunnya. “Justru karena semua itu aku jatuh cinta terus sama kamu.”
***
Acara mendekati penghujung. Para alumni berkumpul untuk foto bersama, dan panitia mulai sibuk mengatur posisi.
“Semua angkatan 2000 sampai 2010 di barisan tengah ya!” seru MC.
Nayra duduk di meja, menggendong Alma yang baru saja bangun tidur. Matanya masih setengah ngantuk, rambutnya acak-acakan.
Nayra memandang Arka yang sedang diajak ke barisan depan. Tepat di sebelahnya Nadia.
Wanita itu tampak sempurna. Gaun merahnya masih terawat, lipstick-nya belum pudar, dan senyumnya tampak seperti sengaja dilatih untuk pamer.
“Astaga. Dia lagi,” bisik Nayra pada Alma. “Kita nggak bisa tinggal diam."
Tanpa pikir panjang, Nayra berdiri sambil menggenggam Alma yang masih mengucek mata. Satu tangan Nayra mengusap rambut Alma yang sedikit lepek karena keringat, tangan satunya merapikan dasternya...eh, bukan daster, maksudnya gaun simple yang sedikit kusut karena sempat tertidur sambil menyusui tadi.
Langkahnya mantap. Meski di antara para wanita penuh high heels dan parfum berlapis, Nayra tetap percaya diri.
Sesaat sebelum sesi foto dimulai, Nayra tiba-tiba berdiri di samping Arka, tepat di antara suaminya dan Nadia.
“Oh, ini foto keluarga juga ya?” ucap Nayra dengan wajah jenaka. “Ayo Alma, kita tunjukkan ekspresi anak kenyang dan ibunya yang kelelahan tapi tetap menang gaya’.”
MC memandangnya ragu. “Ibu Nayra, ya? Kalau boleh, mungkin bisa duduk dulu karena ini untuk...”
“Saya alumni bonus,” Nayra nyengir. “Dan ini calon angkatan dua puluh... dua puluh berapa sih, Ka?”
“2040-an lah,” sahut Arka sambil terkekeh.
Nadia menghela napas. “Mungkin kita bisa lebih rapi untuk sesi formal ini…”
“Oh iya, sebentar.” Nayra mengeluarkan topi bayi berbentuk ayam jago kuning dan memakaikannya ke Alma.
“Lucu, kan?” Nayra tersenyum polos. “Katanya reuni kampus harus bawa ikon memorable. Nah, Alma ini ikon rumah tangga Arka yang paling menggemaskan.”
Suasana canggung berubah jadi riuh tawa.
Seorang alumni wanita berbisik, “Duh gemes banget bayinya...”
“Anaknya Arka ya? Wah mirip banget!”
“Eh, itu istrinya? Beda, ya fresh banget auranya.”
Nadia tersenyum kaku. Sementara Nayra berdiri santai, menggoyangkan badan Alma sedikit agar si bayi tertawa. Dan benar saja, saat kamera menyorot Alma tertawa lebar, Nayra tersenyum penuh kemenangan, dan Arka menatap keduanya seolah dunia ini milik mereka bertiga.
Klik.
Foto itu kelak menjadi viral kecil-kecilan di antara grup alumni.
Keterangan fotonya:
"Cinta bukan soal masa lalu. Tapi siapa yang membuatmu tertawa di masa kini."
Dalam perjalanan pulang, Nayra duduk di mobil sambil menyuapi Alma biskuit bayi.
“Ka, aku terlalu lebay nggak sih tadi?”
Arka mengemudi dengan satu tangan, tangan lainnya menggenggam tangan Nayra yang diletakkan di pangkuan.
“Lebay. Banget.”
Nayra mendelik.
“Tapi...” Arka melanjutkan,
“Itu yang bikin kamu beda. Kamu nggak diam saat dibenturkan dengan masa laluku. Tapi kamu juga nggak meledak-ledak. Kamu jadi kamu. Dan itu membuat semua orang melihat aku lebih beruntung.”
Nayra tertawa kecil. “Yakin kamu nggak malu bawa istri yang gila topi ayam?”
Arka mengangguk. “Bangga, malah.”
Alma bersin pelan, lalu memegang tangan ibunya. Nayra menatap tangan mungil itu, lalu memandang suaminya.
“Kayaknya reuni tadi bukan cuma buat kamu, deh.”
“Maksudnya?”
“Reuni itu kayak reminder. Kalau aku sudah sampai di rumah yang benar. Rumah yang nggak perlu sempurna, tapi penuh cinta.”
Arka berhenti di lampu merah. Menoleh padanya.
“Sama. Aku juga merasa akhirnya aku nggak perlu mencari siapa pun lagi. Karena yang kupeluk sekarang bukan cuma istri dan anak. Tapi dunia yang utuh.”
Lampu hijau menyala, mereka melaju pulang dan di belakang, Alma tertidur dengan topi ayam masih menempel di kepala.