Spin-off dari Istri Amnesia Tuan G
Dalam beberapa jam, Axello Alessandro, seorang aktor terkenal yang diidamkan jutaan wanita jatuh ke titik terendahnya.
Dalam beberapa jam, Cassandra Angela, hater garis keras Axel meninggal setelah menyatakan akan menggiring aktor itu sampai pengadilan.
Dua kasus berbeda, namun terikat dengan erat. Axel dituduh membunuh dua wanita dalam sehari, hingga rumah tempatnya bernaung tak bisa dipulangi lagi.
Dalam keadaan terpaksa, pria itu pindah ke sebuah rumah sederhana di pinggiran kota. Tapi rumah itu aneh. Karena tepat pukul 21.45, waktu seakan berubah. Dan gadis itu muncul dengan keadaan sehat tanpa berkekurangan.
Awalnya mereka saling berprasangka. Namun setelah mengetahui masa lalu dan masa kini mereka melebur, keduanya mulai berkerjasama.
Cassie di masa lalu, dan Axel di masa kini. Mencoba menggali dan mencegah petaka yang terjadi.
Mampu kah mereka mengubah takdir? Apakah kali ini Cassie akan selamat? Atau Axel akan bebas dari tuduhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Joy Jasmine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 ~ Tetap Hater Nomor 1
Saat kembali ke kantor mereka. Ronan melihat para anggotanya yang begitu sibuk. Riven duduk di depan laptopnya, sementara Indira membantu pria muda itu mencatat hal-hal penting yang ditemukan. Luca sendiri tengah menyusun berkas sembari sesekali mengecek ponselnya. Elora? Gadis itu pasti sedang berkutat di laboratorium.
Luca yang mendengar ponselnya berbunyi segera meraihnya. Baru saja ia ingin menelepon sang kapten, pria itu sudah duluan berdiri di samping mejanya. Luca sampai terperanjat ketika melihat sang kapten berdiri tegak dan diam bagai hantu di sana.
Namun ia tetap sigap berdiri tegap. "Kapt, tim legal baru saja konfirmasi. Surat perintah penggeledahan rumah Axel bisa keluar maksimal empat jam lagi… Kalau enggak ada halangan.”
Ronan mengangguk. "Lalu bagaimana dengan surat permintaan data pada agensi?"
Luca menghela napasnya, lalu menggeleng pelan. "Belum ada kabar, Kapt."
Ronan mendengus, wajahnya menampakkan ketidaksenangan yang jelas. "Sepertinya ada yang sengaja menahan. Mungkin kita harus minta langsung tanpa surat."
"Sengaja menahan?" Luca mengernyit heran.
"Apa Axel memiliki kuasa sebesar itu?" lanjut pria itu merasa Axel mungkin tidak punya. Bukan ia meremehkan, namun mereka sudah memeriksa pria itu sampai ke akar-akarnya. Tidak ada yang aneh, dan yang jelas Axel memulai karir dari bawah tanpa backingan. Jadi tidak akan bisa memiliki kuasa sebesar itu.
"Bukan Axel," balas Ronan dengan yakin.
"Maksud Kapt... agensi?" tanya Indira yang mulai masuk ke dalam pembahasan. Mereka terdiam, diam-diam menyetujui di dalam hati. Bahkan Riven yang tampak fokus pada laptopnya juga ikut mendengar dengan teliti.
"Jika mereka yang menahan, Axel mungkin memang hanya dijadikan kambing hitam, Kapt. Jadi sekarang kita enggak bisa santai lagi. Bisa saja ada yang masuk duluan ke apartemen Axel, lalu bukti... bisa hilang."
Ronan mengernyit saat merasa perkataan Indira masuk akal, pria itu lalu menatap sang bawahan.
"Luca, atur orang untuk berjaga terlebih dahulu! Saat surat perintah keluar, kita bisa langsung eksekusi." Ronan memerintah dengan serius.
Luca mengangguk sembari memberi hormat. "Siap, Kapt."
"Ingat, jaga jarak aman! Jangan sampai mereka tahu kalau kita sedang memantau!"
.
.
.
Sementara di sebuah ruangan yang tampak mewah, seorang pria paruh baya berdiri menghadap jendela. Kedua matanya menerawang ke bawah sana, menatap hiruk pikuk perkotaan yang tiada pernah sepi itu.
Saat itu, pintu dengan kayu jati premiumnya diketuk dari luar. Pria itu tidak berbalik, hanya menjawab dengan tenang.
"Masuklah!" titahnya yang langsung diterima orang di luar sana.
Perlahan pintu itu terbuka, memperlihatkan seorang pria dengan rambut klimis berwarna coklat tua. Pria itu tinggi tegap, berjalan masuk dengan tenang. "Tuan."
Bruk.
Dalam sekejap, sebuah buku yang keras melayang hingga mendarat tepat di dahinya.
"Awalnya aku udah tidak mengizinkan diotopsi. Tapi apa yang kau bilang? Tidak akan ketahuan?... Sekarang mereka udah mulai curiga dan minta daftar penerima pisau itu."
Darren yang dahinya telah berdarah itu menggertakkan giginya sejenak. Setelah itu, kepalanya yang menunduk perlahan terangkat untuk menatap sang atasan. "Saya menyarankan otopsi agar Tuan tidak dicurigai."
"Jangan banyak alasan! Sekarang aku bahkan harus bayar lebih banyak untuk menutup mulut mereka. Ini semua karena dirimu. Kalau mereka sampai mendapatkan daftar penerima itu, kau tau sendiri apa yang akan terjadi. Dan jika semuanya terungkap, maka kau yang akan aku lempar duluan ke penjara."
Darren bergeming, sementara Leonard berusaha menenangkan napasnya yang memburu. "Sekarang ada di mana pisau milikmu?"
"Jangan bilang masih kau bawa ke sana sini?"
Darren kembali menunduk, menunjukkan bahwa apa yang dikatakan Leonard adalah benar.
"Bodoh! Kau masih menyimpannya? Lenyapkan segera! Kalau perlu sampai tidak bersisa. Tapi jangan buang sembarangan!"
"Kau dengar tidak?"
Darren mengangguk, pria itu menatap isyarat Leonard yang mengibaskan tangan, menyuruhnya sudah boleh pergi. Ia pun kembali mengangguk, sembari mundur beberapa langkah dan berbalik keluar.
Sementara Leonard yang ditinggal menarik napas dan mengeluarkannya dengan kesal.
.
.
.
4 Desember 2024.
Cassie menutup koper setelah memasukkan semua barang yang ingin ia bawa.
"Baju, dress, celana, underwear, makeup, skincare, alat mandi, snack semua udah. Ah, akhirnya bisa istirahat." Ia langsung bangun dan menjatuhkan diri ke atas kasur. Dari sana ia bisa melihat tiga koper miliknya yang sudah tersusun rapi.
Dua koper baju dan makeup, sementara satu koper snack. Gadis itu tertawa sendiri, sudah bisa membayangkan bagaimana manajernya akan marah-marah besok.
Namun tawa itu langsung hilang saat teringat besok tidak pulang. "Kalau aku di luar rumah ini, aku enggak akan ketemu cowok menyebalkan itu. Seperti saat di rumah sakit dulu."
"Wah, sepertinya malamku besok akan tenang." Ia menutup matanya, tersenyum tipis namun yang muncul di kepalanya justru wajah Axel yang tengah meledeknya.
Sontak kedua matanya kembali terbuka. "Sialan, kenapa aku seperti melihatnya di depan mata?"
Gadis itu memukul kepalanya sendiri. "Pasti aku merasa kasihan karena semalam dia sakit sampai hampir mau mati," gumamnya sembari mengingat wajah dan tubuh Axel yang terluka.
"Iya, pasti karena aku kasihan. Jadi, apa nanti aku masakin sup buah, ya?"
"Ih, mikir apa sih? Ngapain baik amat sama dia? Pokoknya aku enggak boleh terlalu baik sama dia! Aku tetap hater nomor 1 yang paling membencinya.
.
.
.