Anya tidak menyangka bahwa hidupnya suatu saat akan menghadapi masa-masa sulit. Dikhianati oleh tunangannya di saat ia membutuhkan pertolongan. Karena keadaan yang mendesak ia menyetujui nikah kontrak dengan seorang pria asing.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Japraris, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 26
Di jantung perusahaan Danendra, Arga mengusap pelipisnya, kelelahan menghimpit tubuhnya. Bayangan lembur seharian, menangani pekerjaannya sendiri dan tumpukan tugas Rangga, memenuhi pikirannya. Ia mendesah pelan, suara beratnya nyaris tak terdengar.
"Tuan, semuanya sudah selesai," lapor Rangga, berkas-berkas tertata rapi di atas meja. wajahnya tegang, mencerminkan beban tanggung jawab yang dipikulnya.
Arga mengangkat sebelah alisnya, pertanyaan tersirat dalam sorot matanya yang tajam. "Tidak ada yang terlewat?"
"Tidak, Tuan. Semua sesuai perintah Anda," jawab Rangga, berusaha meyakinkan.
Sejenak, keheningan menyelimuti ruangan.
Rangga berdeham pelan. "Tuan..."
"Ada apa? Katakan saja," desis Arga, suaranya terdengar sedikit tidak sabar.
"Apakah dia akan menerimanya? Melihat karakternya..." Rangga menggaruk tengkuknya, kegelisahan tampak jelas dalam raut wajahnya.
"Maka tugasmu adalah membujuknya. Lakukan apa pun yang perlu." Suaranya tegas, namun ada sedikit kelembutan yang tak terlihat jelas di balik kata-katanya.
"Maaf, Tuan, tapi aku... aku merasa kesulitan. Membujuk seseorang, apalagi wanita, bukanlah keahlian ku."
Arga menatap Rangga dengan tatapan tajam. Seulas senyum sinis tersingkap di bibirnya. "Oh, begitu? Lalu bagaimana dengan Susi? Siapa yang membujuknya hingga luluh di tengah malam bulan purnama itu?"
Rangga terdiam. Sindiran Arga mengenai Susi, wanita yang selama ini menjadi kekasih hatinya, membuatnya tertunduk malu. Ia teringat akan usaha kerasnya saat itu, perencanaan matang yang dilakukannya untuk mendapatkan Susi.
Arga melanjutkan, "Jangan katakan padaku kau hanya bermodalkan keberuntungan. Kau pandai bermanuver, Rangga. Maka lakukan bila perlu. Bujuk dia."
"Tuan..." Rangga terlihat semakin cemas, rasa tanggung jawab yang berat menekan pundaknya. Namun, ia tak berani membantah lagi setelah sindiran menohok Arga.
Arga menaikkan satu alisnya, pertanyaan tersirat dalam tatapannya yang dingin. "Ada lagi?"
"Ada, Tuan. Malam ini ada undangan makan malam di kediaman Tuan Joseph."
Senyum tipis, yang lebih mirip seringai, terkembang di bibir Arga. Ia tahu maksud di balik undangan itu. "Kamu wakili aku. Aku ingin bersama anak dan istriku."
Rangga ingin membantah, menjelaskan betapa pentingnya pertemuan itu, namun Arga sudah mengambil keputusan. Ia hanya bisa mengangguk patuh.
"Pulang," perintah Arga, menarik jasnya dan mengenakannya dengan gerakan cepat dan tegas.
Rangga segera mengumpulkan berkas-berkas, memasukkannya ke dalam tas Arga, dan mengikuti bosnya keluar. Di dalam mobil, suasana hening, diselingi gelegar mesin mobil yang mewah.
"Rangga, bunga apa yang disukai wanita?" Tiba-tiba Arga bertanya, suaranya terdengar tak biasa, lebih lembut dari biasanya.
Rangga terperanjat. Pertanyaan yang tak terduga itu membuatnya semakin bingung. "Tuan? Aku benar-benar tidak tahu. Tuan bisa bertanya pada Susi, dia wanita, pasti tahu."
Arga menghela nafas panjang. "Memangnya kamu tidak pernah membelikan bunga untuk Susi?" tanyanya, suara sedikit lebih lunak, namun tetap menyimpan sedikit sindiran.
Rangga menggeleng, "Tidak pernah, Tuan. Aku selalu mengikuti arahan Tuan. Memberikan kartu, kemudian menyuruhnya untuk membeli apa saja yang ia inginkan."
Arga terdiam, merenungkan jawaban Rangga. Kemudian, ia mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
"Berhenti," perintahnya, suaranya sedikit keras.
Mobil berhenti mendadak.
"Ada apa Tuan?"
Arga turun dari mobil tanpa menjawab Rangga, melangkah cepat ke toko bunga di seberang jalan.
Ini pertama kalinya Rangga melihat Arga—sang bos yang dingin dan tak terduga—memperlihatkan sisi lembutnya. Ia mengamati punggung Arga yang tegap, mencoba memahami perubahan tak terduga ini.
Arga kembali, membawa setangkai bunga ungu yang indah. Senyum tipis, sebuah senyum yang selama ini tersembunyi di balik topeng kesombongan, terkembang di wajahnya. Senyum itu berbeda, lebih tulus, dan jauh lebih menawan dibanding senyum yang biasa ditunjukkan Arga. Rangga memperhatikan detail-detail kecil ini; seolah Arga adalah orang yang berbeda.
"Tuan, bunga apa itu?" tanya Rangga, masih tak percaya dengan perubahan drastis yang terjadi pada bosnya. Ia merasa seperti menyaksikan sebuah drama yang rumit dan tak terduga.
"Ini bunga cinta abadi," jawab Arga, sebuah nada percaya diri yang tak terbantahkan terdengar dalam suaranya.
Ia tampak tenang, bahkan lebih rileks dibanding sebelumnya. Entah apa yang terjadi padanya. Rangga merasa seperti menyaksikan transformasi yang luar biasa. Ia sedikit penasaran, apakah ini efek dari keinginan Arga untuk mendapatkan kembali Anya?
"Tuan yakin? Mungkin ada bunga lain yang lebih cocok...?"
Arga terkekeh pelan, "Kalau salah, penjualnya tak perlu jualan lagi. Hancurkan tokonya. Jalan!" Nada bercanda itu terasa berbeda; lebih ringan, lebih...manusiawi. Tidak seperti biasanya yang dingin dan menakutkan.
Mobil melaju.
Rangga mengamati Arga dari kaca spion; senyum menawan—berbeda jauh dari senyum sombong, angkuh, penuh dendam, atau meremehkan yang biasa ia lihat—terukir di wajah bosnya. Rangga hanya bisa menggelengkan kepala, heran sekaligus penasaran dengan perubahan mendadak yang terjadi pada bosnya. Ia berharap semua ini berakhir baik, baik untuk Anya, untuk Arga.
Lima menit kemudian, mobil berhenti di depan rumah besar bergaya klasik milik Arga. Arga, yang kini tampak lebih rileks, segera keluar dan masuk ke dalam rumah.
"Bibi, Anya dan Kinan di mana?" tanyanya pada Bibi. Suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
"Tuan, mereka di dapur. Sedang menyiapkan makan malam," jawab Bibi, tersenyum hangat. Ia memperhatikan perubahan sikap Arga yang terlihat lebih ramah dari biasanya.
"Bibi, bunga ini melambangkan cinta abadi?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit gugup.
Bibi tersenyum, "Ya, Tuan. Bunga lavender melambangkan cinta, kesetiaan dan pengabdian. Nyonya pasti senang."
"Terima kasih, Bi," kata Arga, kemudian bergegas menuju dapur, membawa bunga tersebut dengan hati-hati.
Rangga hanya bisa menggelengkan kepala, tersenyum kecil melihat perubahan sikap sang bos.
Di dapur, suasana hangat terpancar dari Anya dan Kinan yang sedang menata hidangan. Anya tersenyum lembut, sedangkan Kinan tampak riang, menata piring-piring kecil dengan hati-hati.
"Tuan Arga sepertinya sedang jatuh cinta pada Nyonya," bisik Bibi kepada Rangga, suaranya penuh arti. Ia memperhatikan interaksi Arga dan Anya dari kejauhan.
"Benar, Bibi. Bos sedang jatuh cinta," sahut Rangga, tersenyum tipis. Ia merasa lega melihat perubahan yang terjadi pada Arga.
"Semoga cinta Nyonya Anya tulus untuk Tuan. Selama ini Tuan selalu kesepian," lanjut Bibi, suaranya terdengar sedikit iba.
"Nyonya Anya tulus, Bibi. Jika tidak, mana mungkin dia mau melahirkan anak seorang pria angkuh dan menakutkan seperti Arga," timpal Rangga, menambahkan dengan nada percaya diri.
"Benar juga," kata Bibi, mengangguk setuju.
Arga masuk ke dapur, menarik perhatian Anya dan Kinan. Anya tampak terkejut, namun senyumnya tetap tersungging di bibirnya.
"Anya, Kinan," sapa Arga, suaranya terdengar lembut dan penuh kasih sayang.
"Arga," jawab Anya, suaranya sedikit gemetar, menunjukkan rasa gugup dan haru.
"Om Tegas," sapa Kinan, suaranya riang.
"Om Tegas?" Arga mengerutkan kening, sedikit kecewa karena Kinan memanggilnya "Om Tegas", bukan "Ayah".
Anya terlihat agak bersalah.
Arga menghela napas, mencoba meredakan kekecewaannya. Ia memutuskan untuk tidak merusak suasana bahagia yang sudah tercipta.
"Sayang, ini untukmu," kata Arga, menawarkan bunga lavender kepada Anya dengan lembut. Ia menatap Anya dengan penuh harap.
Anya menerima bunga itu dengan tangan gemetar, menciumnya dengan lembut. "Terima kasih, Arga. Wanginya harum sekali, warnanya juga cantik." Suaranya terdengar sedikit bergetar, menunjukkan perasaannya yang campur aduk.
"Bunga ini melambangkan cinta, kesetiaan dan pengabdian ku untukmu," kata Arga, tatapannya penuh kasih sayang.
Ia menatap Anya dengan sungguh-sungguh, mengungkapkan perasaannya yang terpendam selama ini. Anya terharu, tersanjung dengan pengakuan Arga.
Untuk mengalihkan pikirannya yang campur aduk, Anya mengajak Arga dan Rangga makan malam bersama. Suasana makan malam terasa hangat dan nyaman.
seneng jika menemukan cerita yg suka alur cerita nya 👍🤗🤗
koq knapa gak dijelaskan sihhhh... 😒
Jangan menyia-nyiakan ketulusan seorang laki2 baik yg ada didepan mata dan terbukti sekian tahun penantian nya👍😁
Masa lalu jika menyakitkan, harus di hempaskan jauhh 👍😄
Gak kaya cerita lain, ada yg di ceritakan dulu awal yg bertele-tele.. malah malas nyimak nya 😁😁