Nama: Alethea Novira
Usia saat meninggal: 21 tahun
Kepribadian: Cerdas, sinis, tapi diam-diam berhati lembut
Alethea adalah seorang mahasiswi sastra yang memiliki obsesi aneh pada novel-novel tragis, alethea meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil yang di kendarai supir nya , bukan nya ke alam baka ia malah justru bertransmigrasi ke novel the love yang ia baca dalam perjalanan sebelum kecelakaan, ia bertransmigrasi ke dalam buku novel menjadi alethea alegria
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Agya Faeyza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
karma
Pagi itu, udara di ruang kerja Papa Bram terasa lebih berat daripada biasanya. Pikirannya tak tenang setelah mendengar laporan pergerakan putrinya, Alethea. Ia menggenggam ponselnya erat, menekan nomor yang hanya diketahui oleh orang-orang kepercayaannya. Dering pendek, lalu sambungan terangkat. Suara datar pengawal bayangannya terdengar di seberang.
Ada firasat lain yang mengusik batin Papa Bram kali ini—bukan hanya tentang apa yang dilakukan Alethea, tetapi juga ancaman yang mungkin kembali mengincarnya.
"Tio katakan kepadaku ,Apa ada gerakan musuh? Ada yang berusaha mencelakai Alethea lagi?" ucap papa Bram
"Ada, Tuan. Semalam, Nona Alethea bersama Bryan dihadang sekelompok orang di jalan sepi"
"Siapa mereka? Orang biasa? Pembunuh bayaran?"
"Orang bayaran, Tuan. Mereka bergerak cepat, mencoba menargetkan nona , namun tak disangka Bryan dan nona Thea bisa mengalahkan mereka semua tuan".
"Apakah ada dari mereka yang ditangkap?"
"Ya, Tuan. Salah satu dari mereka berhasil dilumpuhkan dan kini dalam pengamanan kami."
"Sudah diinterogasi?"
"Sudah, Tuan. Dia mengaku... mereka di bayar untuk mencelakai nona Thea tuan ,motif nya karna ia cemburu nona di dekati lelaki yang dia suka tuan".ucap tio
"Siapa dalangnya?" ucap papa Bram dingin
"Sherly, Tuan." ucap tio
"Sherly, ya... seperti nya anak itu terus mencari masalah dengan putri ku , kalian beri dia sedikit pelajaran tapi jangan sampai meninggal dulu , buat tangan nya patah dan tetap awasi dia jangan sampai dia membahayakan putri ku , jika dia ingin mencelakai putri ku lagi buat dia tak punya muka untuk bertemu dengan orang lain , kau tau apa maksud ku kan Tio ???." ucap papa Bram berkata pelan namun berbahaya
"Mengerti, Tuan. Kami akan siapkan segalanya." ucap Tio si pengawal bayangan
"Jika anak ingusan itu pikir dia bisa menyentuh putriku, dia salah besar." ucap papa bram
***
Sherly duduk di belakang kemudi, jemarinya mengetuk-ngetuk setir dengan gelisah. Mobil melaju di jalanan kota yang perlahan mulai sepi saat matahari bergulir ke ufuk barat. Ia merasa ada sesuatu yang aneh, semacam getaran tak kasatmata yang membuat bulu kuduknya berdiri. Tapi ia tak bisa menunjuk apa yang salah.
Ia menoleh ke kaca spion — hanya deretan kendaraan biasa di belakangnya. Namun saat melambat di lampu merah, suara menderu mendekat. Tiga motor melaju dari arah kiri dan kanan, beriringan dengan kecepatan yang tidak wajar.
Sebelum Sherly sempat berpikir, salah satu dari mereka mengayunkan tongkat bisbol—KRAK! Kaca jendela sebelah kirinya pecah berhamburan, membuat Sherly menjerit kaget.
Panik, Sherly membanting setir ke kanan tanpa kontrol. Mobilnya menghantam trotoar dengan keras, lalu terpelanting, menabrak tiang lampu jalan. Bunyi logam berderit memekakkan telinga, diikuti dentuman keras saat kap mobil penyok parah.
Asap tipis mulai mengepul dari mesin yang rusak. Sherly, dengan darah mengalir dari pelipisnya, mengerjap dalam kebingungan, sementara bayang-bayang para penyerangnya mendekat melihat Sherly yang sudah bercucuran darah di kepala dan tangan nya .
Sherly mengerang kesakitan, tubuhnya terjepit di balik kemudi yang ringsek. kepala nya berat dan tangan dan seluruh tubuh nya lemas, pergelangan tangan nya membentuk arah yang tidak wajar—jelas patah akibat benturan keras saat mobil menghantam trotoar dan tiang lampu.
Dari balik asap mulai muncul kerumunan orang yang mulai panik, tiga sosok berjaket gelap bergerak cepat. Mereka bukan sekadar penyerang sembarangan—mereka adalah pengawal bayangan, tangan-tangan tak terlihat yang bekerja di bawah perintah langsung Papa Bram.
Salah satu dari mereka memastikan Sherly tak bisa bergerak lagi, sementara yang lain memotret cepat luka-luka yang diderita perempuan itu, sebagai bukti eksekusi misi. Mereka tak perlu membunuhnya—rasa takut dan kehancuran fisik lebih dari cukup sebagai pesan.
Tanpa meninggalkan jejak, ketiganya menghilang ke gang-gang kecil, tepat sebelum sirene polisi mulai meraung dari kejauhan.
Tak lama kemudian, di tempat yang lebih aman, seorang pengawal bayangan menyalakan alat komunikasi rahasia. Suaranya datar, tanpa emosi, melapor:
"Tuan, misi selesai. Target mengalami kecelakaan. Tangan kanan nya patah tulang akibat benturan keras. Tidak ada kontak langsung. Tidak ada jejak yang tertinggal."
"Bagus. Biarkan rasa sakit itu jadi peringatan. Pantau dia dari jauh. Pastikan dia tak berani lagi menyentuh apa yang tidak boleh ia sentuh " . Ucap papa Bram puas
"Mengerti, Tuan. Kami akan terus awasi." ucap tio .
***
Sherly nyaris tak sadarkan diri saat suara sirene memekakkan telinga mendekat. Matanya sayup-sayup terbuka, buram oleh darah yang mengalir dari pelipis. Kesakitan menjalar dari tangannya yang patah, membuat setiap gerakan seperti disayat dari dalam.
Petugas medis datang tergesa-gesa, mengelilinginya. Dalam hitungan menit, tubuhnya yang lemah diangkat ke atas tandu. Suara orang-orang terdengar seperti gema jauh, tak jelas, hanya potongan-potongan:
"Perempuan, usia sekitar 17 tahun-an..."
"Tangan kanan fraktur terbuka... ada luka di kepala..."
"Stabilkan dulu, lalu bawa ke UGD!"
Sirine meraung lagi saat ambulans melaju kencang, membelah malam yang semakin mencekam.
Di rumah sakit, para perawat langsung menyambut dengan sigap. Sherly dilarikan ke ruang darurat, tubuhnya dipenuhi kabel dan selang infus. Matanya sempat terbuka, berusaha bicara, tapi bibirnya hanya bergerak tanpa suara. Rasa sakit terlalu mendominasi.
Seorang dokter muda melihat hasil rontgen cepat dan mengangguk pelan, wajahnya serius.
"Tulang radiusnya patah total. Kita harus operasi sesegera mungkin."
Sherly tak tahu—atau tak sempat berpikir—bahwa ini bukan sekadar kecelakaan. Ini peringatan. Dan bagi dunia tempat Sherly pernah bermain kotor, tak semua peringatan datang lewat kata-kata.
***
Di dalam sebuah ruangan gelap, hanya diterangi cahaya lampu gantung redup yang menggantung di atas meja kayu panjang, seorang pria duduk dengan tenang namun aura kemarahannya terasa pekat. Wajahnya tersembunyi di balik bayangan, tapi gerakan jarinya yang mengetuk meja menunjukkan ketidaksabarannya.
Seorang anak buah masuk dengan cepat, tubuhnya sedikit membungkuk, menunjukkan sikap hormat dan hati-hati. Ia membawa kabar yang tidak ingin didengar oleh siapa pun—terutama oleh Tuan-nya.
"Tuan... kami baru menerima kabar dari rumah sakit pusat. Sherly mengalami kecelakaan parah. Tangannya patah, luka di kepala. Sudah masuk ruang operasi." ucap anak buah
"Kecelakaan?"
(hening sejenak, lalu suara naik)
"Itu bukan kecelakaan bodoh! Anak itu pasti sudah menyinggung orang yang salah!" ucap seseorang itu mendesis , namun suaranya dingin dan penuh amarah
"Sepertinya memang begitu, Tuan. Kami belum tahu siapa pelakunya, tapi caranya terlalu rapi untuk sekadar insiden jalanan..." ucap anak buah pelan .
"Dasar anak tak tahu diuntung! Sudah diberi makan, sudah dikasih tempat, malah menyusahkan!"seseorang itu pun berdiri , sambil menggebrak meja
(ia berjalan pelan ke jendela, menatap keluar dengan mata tajam)
"Aku sudah bilang padanya: main cantik kalau mau bertahan di permainan ini. Tapi dia terlalu serakah. Terlalu percaya diri." seseorang
"Apa ada Perintah selanjutnya, Tuan?" sang anak buah
"Biarkan dia hidup. Biar rasa sakit itu mengajarnya. Tapi awasi terus. Jika dia bicara lebih dari seharusnya... bungkam. Dengan cara yang lebih abadi." ucap seseorang yang di panggil tuan dengan suara dingin , tatapan tajam seperti pisau
"dasar tak berguna " .
Tpi saya mw sedikit berkomentar, saya membaca novel kk karna tertarik membaca sinopsisnya.
Tapi menurut saya, percakapan ringannya terlalu banyak, membuat pembaca cepat bosan. Coba kakak kurangi percakapan2nya, tpi lebih menggambarkannya aja dan alur konfliknya buat lebih dalam kata2nya.
Terus penggambaran tokohnya agak kurang menjalankan perannya. seperti papa bram( kaya, hebat, punya banyak pengawal) tpi knapa anaknya kurang terjaga, gk ada pengawal yg memantauan dari dekat/jauh.
Arvel ( berjanji mau jaga adeknya di sekolah) tpi gk tw adek tersesat, pergi menyelatkan Aliando.
Gitu aja sih thor, semoga kedepannya lebih bagus, dan mohon jangan tersinggung dengan komentar saya.😊