NovelToon NovelToon
Tinta Darah

Tinta Darah

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Mengubah Takdir / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Mengubah sejarah / Keluarga / Persahabatan
Popularitas:444
Nilai: 5
Nama Author: Permenkapas_

terlalu kejam Pandangan orang lain, sampai tak memberiku celah untuk menjelaskan apa yang terjadi!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Permenkapas_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Terlambat menyadari

Oline menuju kelas dengan langkah gontai, biasanya ketika berangkat ke sekolah ia selalu bersemangat, tetapi lain untuk hari ini, dia enggan masuk sekolah tetapi ada tugas sekolah yang harus dia kumpulkan secepatnya.

Oline menjauh dari Devanka begitu juga sebaliknya, mereka bagai orang asing, saat berpapasan pun mereka saling menghindar dan saling tidak bertegur sapa, membuat teman-teman sekelas mereka heran dengan sikap aneh mereka.

Bagi Oline hari ini waktu sangatlah lambat, dia ingin secepatnya pulang. Oline terus saja memperhatikan arloji di tangannya, dia sangat bosan. Oline berinisiatif untuk mencuci wajahnya di toilet.

Saat berjalan menuju toilet, tak sengaja indera pendengarannya menangkap suara benda jatuh dari arah gudang belakang yang tidak terhubung dengan ruangan lain di sekolah tersebut, ia penasaran dan langsung menghampiri asal suara.

Oline mencari sesuatu di dalam gudang tetapi tidak ada yang mencurigakan semuanya normal-normal saja, ia berjalan keluar dari gudang. Tetapi instingnya mengatakan ada sesuatu di sekitar situ, akhirnya Oline melangkahkan kakinya menuju samping gudang.

Ada seseorang tergeletak dengan darah yang keluar dari kepalanya, wajah Oline pucat pasi saat tahu orang tersebut adalah Devanka. Oline memeriksa detak jantungnya.

“Masih ada,” ucapnya lega.

Tetapi sesaat kemudian hasrat itu muncul saat tangannya tak sengaja menyentuh darah Devanka, Oline sangat bersemangat untuk membunuh Devanka, dia bagai gelap mata. Oline langsung mengambil besi yang tergeletak di samping Devanka, dia mengarahkan besi runcing tersebut ke jantung Devanka tetapi tangan Oline yang satunya mencegahnya.

“Tidak Oline! Kamu bukan pembunuh, Bukan!” ucapnya sambil menggeleng.

Keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuhnya.

“Tetapi dia sudah membunuh Vanya, bukankah hukuman yang setimpal bagi pembunuh adalah dibunuh?”

Oline bimbang, tubuhnya bergetar hebat, egonya sedang berperang. Hasratnya semakin besar, keinginan membunuhnya sudah tak terbendung lagi, wajah Oline pucat pasi karena berperang melawan hasratnya sendiri.

Oline masih mempertahankan akal sehatnya, meski itu sangat menyakiti dirinya sendiri, ia berlari meninggalkan tubuh Devanka, dia meminta bantuan kepada guru yang kebetulan berpapasan dengannya.

“Pak, tolong! Di—di sana ada,” terangnya kepada guru tersebut sambil menunjuk ke arah samping gudang tepat tubuh Devanka terbaring lemas dan bersimbah darah.

“Ada apa Oline? Ayo yang jelas ngomongnya. Di sana ada apa?”

“Devanka! Kepalanya bersimbah darah.”

Guru itu terkejut dan langsung berlari ke arah yang di tunjuk Oline.

“Oline, ada apa?” tanya seorang teman kelasnya.

“Devanka! Di sana, dia pingsang dan bersimbah darah.”

Mendengar jawaban Oline beberapa anak yang kebetulan lewat langsung menuju arah samping gudang, tubuh Devanka di kerumuni banyak siswa, seorang guru dan beberapa murid laki-laki menggotong tubuh Devanka ke ruang UKS, mereka langsung mengobati luka di kepala Devanka. Untung saja luka itu tidak terlalu dalam dan Devanka langsung siuman sesaat setelah kepalanya selesai di obati.

“Gimana kepalanya? Masih pusing?” tanya seorang guru penjaga UKS.

Devanka menggeleng.

“Sudah baikan, Buk. Terimakasih,” ucapnya.

“Tadi katanya Oline yang menemukan kamu pertama kali di gudang belakang, lalu Oline minta tolong kepada guru dan murid-murid lain untuk membawa kamu ke sini,” jelasnya sambil membereskan kotak P3K.

Devanka terdiam, dia kembali memejamkan matanya.

“Kamu istirahat saja dulu, sampai keadaanmu mulai membaik,” lanjutnya sambil meninggalkan Devanka sendirian di UKS.

Sepeninggal sang guru Devanka kembali membuka matanya, dia duduk termenung sendiri, kini pikirannya dipenuhi oleh bayang-bayang Oline, tetapi entah kenapa dia enggan mengatakan isi hatinya tersebut.

Dia mengambil ponselnya dan mengirim pesan kepada Oline, tetapi pesan itu hanya di baca dan tidak kunjung di balas oleh Oline, Devanka mengerti.

Kini hatinya sudah kehilangan sosok yang berarti dalam hidupnya, rasanya sangat mustahil membuka hati untuk orang baru, ini pertama kalinya Devanka mencintai seseorang dan sebelum dia mengatakan isi hatinya, orang tersebut telah pergi.

Devanka mengambil dompetnya, ada sebuah foto terselip di sana, dia mengambil foto tersebut dan tersenyum.

“Kenapa baru sekarang aku menyadarinya? Kenapa sekarang? Setelah semuanya sudah tidak seperti dulu lagi, kenapa aku menyadarinya setelah kamu pergi?”

Bulir kristal jatuh dari matanya yang tajam.

“Aku belum sempat mengatakan kalau aku mencintaimu ... Vanya!” ucapnya lirih.

Devanka menyeka air matanya, tinggal sedikit lagi ia mengetahui siapa pembunuh dari Vanya, dia tidak rela jika Vanya mati di tangan orang yang kejam sedangkan Vanya tidak memiliki salah apapun. Bukti demi bukti sudah ia kumpulkan tinggal menunggu waktu untuk tahu wajah dari pembunuh orang yang dia cintai.

Devanka berjalan gontai meninggalkan ruang UKS, dia kembali ke kelasnya untuk mengikuti mata pelajaran terakhir karena sebentar lagi dia akan menghadapi ujian semester.

“Siang Bu,” ucap Devanka saat sudah memasuki kelas.

Semua mata tertuju kepadanya, tak terkecuali Oline. Saat mata Devanka tertuju ke arah Oline, Oline malah mengarahkan pandangannya ke arah lain, teman sekelasnya berbisik satu sama lain, mereka mengira kalau Oline dan Devanka sedang menjalin kasih.

“Kenapa kamu tidak istirahat dulu Devanka?” tanya sang guru.

“Saya sudah baikan buk, tidak enak rasanya tidur-tiduran sendiri.”

“Oh ... Devanka ingin di temani Oline buk, makanya tadi dia ngode. Tetapi sayangnya Oline tidak peka,” celetuk seseorang yang duduk di kursi paling belakang.

Oline langsung menatap lelaki itu dengan tajam, tetapi yang di tatap hanya tersenyum memperlihatkan deretan giginya.

Semua siswa meledak Oline dan Devanka, tetapi mereka tampak acuh dan tak memperdulikannya. Devanka duduk di kursinya tanpa di suruh terlebih dahulu.

“Kalau aku jadi kamu, aku lebih baik tidur di UKS sampai semua mata pelajaran selesai,” bisik Oline.

Oline masih penasaran dan menyimpan deretan pertanyaan di dalam benaknya, dia ragu. Tetapi tulisan Vanya di dalam diary miliknya pasti bukan suatu kebohongan.

"Benarkah Devanka? Lalu apa motifnya melakukan semua itu?" gumamnya.

"Oline!"

"Hah, iya Bu?"

"Apa kamu sedang 'tak enak badan?"

Oline menggeleng, kini semua mata tertuju padanya.

"Kalau kamu sedang 'tak enak badan, kamu bisa istirahat dulu di ruang UKS."

"Tidak, Bu, saya baik-baik"

Oline melihat Devanka, yang ternyata juga tengah melihat ke arah dirinya, Devanka tersenyum kecut, lalu mencoba kembali fokus pada papan tulis di depannya.

Sedangkan diluar, sepasang mata tajam bak elang tengah mengawasi bangunan sekolah tersebut.

"Apakah laki-laki tadi sudah mati?"

"Ku harap begitu, dia harus mati! Oline hanya milikku, 'tak akan kubiarkan dia dekat dengan siapapun selain diriku" ucapnya dingin.

Pria itu berbalik, berjalan menjauh membus semak belukar.

tidak ada yang tau, dan tidak ada yang menyadari keberadaannya di tempat itu.

Siapakah pria itu? Apakah dia pembunuh yang selama ini sedang diincar Bara?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!