“Pastikan kau sembuh. Aku tidak menikahimu untuk jadi patung di rumah ini. Mulailah terapi. Atau…” Edward menunduk, berbisik di telinganya, “...aku pastikan kau tetap di kamar ini. Terikat. Tanpa busana. Menontonku bercinta dengan wanita lain di tempat tidur kita.”
Laras gemetar, tapi matanya tak lagi takut. “Kau memang sejak awal… tak lebih dari monster.”
Edward menyeringai. “Dan kau adalah istri dari monster itu.”
Laras tahu, Edward tidak pernah mencintainya. Tapi ia juga tahu, pria itu menyimpan rahasia yang lebih gelap dari amarahnya. Ia dinikahi bukan untuk dicintai, tapi untuk dihancurkan perlahan.
Dan yang lebih menyakitkan? Cinta sejatinya, Bayu, mungkin adalah korban dari semua ini.
Konflik, luka batin, dan rahasia yang akan terbuka satu per satu.
Siap masuk ke kisah pernikahan penuh luka, cinta, dan akhir yang tak terduga?
Yuk, baca sekarang: "Dinikahi Untuk Dibenci"!
(Happy ending. Dijamin!)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 𝕯𝖍𝖆𝖓𝖆𝖆𝟕𝟐𝟒, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Petaka Mengungkap Rahasia
Senyuman pahit merekah di bibir Laras. Mata itu menoleh perlahan, menatap sang dokter dengan pandangan kosong yang menyayat.
“Bayu tak pernah tahu apa itu bahagia, Dok. Bahkan sejak kecil. Hidupnya adalah tumpukan luka. Ketika ia tertawa... itu hanya topeng. Dan aku...” Ia menunduk, suaranya gemetar. “Jika aku bersamanya, aku hanya akan menjadi luka lain. Menjadi pengingat bahwa dia tak pernah bisa mendapatkan apa yang benar-benar ia inginkan.”
Sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang mengisi ruangan.
Dokter itu mencondongkan tubuhnya, lembut bertanya, “Lalu bagaimana denganmu, Laras?”
Seketika, Laras menutup matanya. Helaan napasnya dalam dan berat. Lalu, bibirnya terbuka dengan pelan, tapi pasti.
“Aku akan baik-baik saja. Aku yakin... aku akan menemukan kebahagiaanku sendiri. Mungkin bukan bersama seseorang. Mungkin... hanya dengan berdiri tegak, tidak lagi takut, tidak lagi terbelenggu. Meskipun itu berarti aku harus sendiri sampai tua, aku akan tetap berjalan. Karena kali ini, aku ingin hidup untuk diriku sendiri.”
Dokter itu tak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menggenggam tangan Laras dengan hangat.
Di mata Laras, tak ada air mata. Tapi di dalam hatinya, ada satu perasaan baru yang tumbuh pelan-pelan: kebebasan.
***
Suara ketukan sepatu hak tinggi bergema di lantai marmer kantor tempat Laras bekerja. Ia tengah membenamkan diri dalam berkas-berkas, matanya fokus, wajahnya tenang seperti biasa. Namun suara langkah tergesa Desi memecah keheningan itu.
“Laras!” Desi nyaris berbisik, tapi nadanya panik. Ia mencondongkan tubuh ke meja kerja sahabatnya itu, wajahnya menegang.
Laras mendongak. “Kenapa? Ada apa?”
Desi menelan ludah, lalu mengeluarkan napas panjang seolah butuh keberanian untuk mengucapkannya. “Aku baru dapat kabar... Bayu... dia akan menikah. Dua bulan lagi.”
Hening. Sejenak waktu seolah berhenti.
Laras hanya berkedip pelan, lalu... tersenyum. Senyum itu manis, tapi nyaris tak sampai ke matanya. Jemarinya bergetar ringan saat merapikan kertas-kertas di hadapannya.
“Oh,” ucapnya ringan. “Akhirnya dia menikah juga.”
Desi menatapnya lekat-lekat. “Kau... nggak apa-apa?”
Laras mengangguk. “Tentu. Aku senang untuknya. Semoga dia bahagia. Itu... itu yang selalu aku doakan, 'kan?”
Tapi di dalam hati Laras, suara itu menggema seperti palu yang menghantam dada.
Jadi ini akhirnya... Bayu akan benar-benar menjadi milik orang lain. Bukan mimpi buruk. Bukan sekadar kemungkinan. Tapi nyata.
Desi duduk perlahan di kursi di depan Laras. Tatapannya penuh iba. “Kau masih mencintainya, 'kan?”
Laras tak menjawab. Ia hanya memandangi jendela yang menghadap ke jalanan kota. Mobil lalu lalang. Orang-orang berjalan dengan tujuan. Sementara hatinya diam di satu tempat yang sama—tempat yang ditinggal Bayu beberapa tahun lalu.
“Aku mencintainya seperti seseorang mencintai hujan yang tak pernah turun di tanah tandus,” bisiknya. “Kau tahu itu sia-sia... tapi kau tetap menengadah, menunggu.”
Desi menggenggam tangan Laras. “Lalu... setelah ini? Apa kau akan mulai urusan cerai dengan Edward?”
Laras menarik tangannya perlahan, lalu berdiri dan berjalan ke rak dokumen. “Iya. Sudah waktunya. Aku harus mengakhirinya... bukan hanya karena Bayu akan menikah. Tapi karena aku sudah terlalu lama menunda hidupku sendiri.”
“Laras...”
Laras menoleh, kali ini tersenyum tulus. Ada luka. Ada keikhlasan. Dan ada kekuatan baru yang mulai tumbuh.
“Cinta itu bukan soal memiliki, Des. Terkadang... cinta adalah soal melepaskan dan tetap mendoakan meski hati kita remuk jadi serpihan.”
Desi menunduk, menahan air mata. Ia tahu, sahabatnya ini mungkin terlihat kuat... tapi luka yang ditanggungnya tak terlihat oleh siapa pun.
Dan Laras?
Ia berdiri tegak.
Tapi di dalam dadanya, hujan baru saja turun—deras dan dingin. Namun ia tahu, mungkin ini awal dari tanah hatinya kembali subur.
***
Malam itu, langit mendung, seolah ikut memantulkan suasana hati Laras yang berat. Ia memarkir mobilnya di depan rumah orang tuanya—rumah sederhana yang telah menjadi saksi bisu betapa keras ia berusaha membahagiakan mereka.
Tangannya menggenggam kunci rumah erat-erat. Ada satu tujuan Laras malam itu: mengambil gaun biru yang dulu pernah dibelikan Bayu. Kenangan kecil yang entah kenapa terasa penting sekali untuk ia selamatkan malam ini.
Saat ia melangkah masuk, mendadak langkahnya terhenti.
Dari balik pintu kamar yang sedikit terbuka, suara orang tuanya terdengar jelas.
“Aku tertipu, Pak!” seru Wati, ibunya, dengan suara penuh kecemasan. “Aplikasi itu... tiba-tiba hilang! Semua saldo investasi kita lenyap!”
Laras membeku di tempat. Ia tak bermaksud menguping, tapi suara itu begitu keras, terlalu memanggil untuk diabaikan.
“Kenapa kamu berani pinjam uang sebanyak itu, Wati?!” Darma membalas, nadanya penuh amarah. “Kenapa nggak bilang-bilang?!”
“Karena kalau banyak investasinya, makin banyak uangnya, Pak!” Wati membela diri. “Lagian dulu waktu awal aku dapat duit dari aplikasi itu, kamu juga senang 'kan? Modal scroll-scroll doang, uang masuk! Kamu sendiri yang suruh aku tambah modal!”
Laras memejamkan mata, dadanya sesak. Ia tahu persis soal aplikasi-aplikasi seperti itu—platform yang mengklaim bisa menghasilkan uang hanya dengan membaca, memberi rating, atau sekadar scroll setiap hari.
Awalnya benar-benar ada imbal hasil kecil untuk memancing kepercayaan, tapi kemudian, mereka menjerat korbannya untuk investasi lebih besar... sebelum akhirnya lenyap tanpa jejak.
“Tapi nggak sampai gadaikan rumah ini juga, Wati!” Darma membentak dengan suara bergetar.
“Sudah terlanjur! Sekarang mending cari solusinya!” Wati bersikeras. “Laras sudah susah dimintai uang! Percuma punya suami kaya kalau pelit!”
Laras membeku. Padahal setiap bulan ia rutin mengirim uang untuk orang tuanya.
Wati menggerutu, “Sherin juga sama. Edward pelitnya minta ampun. Mana bisa kita berharap sama mereka? Ibu nelpon Laras kemarin aja, baru mau minta bantuan, Laras langsung potong, katanya nggak bisa kasih uang lebih. Anak itu sudah nggak guna buat kita!”
Pisau tak terlihat itu menancap tepat di dada Laras.
Sudah nggak guna?
Laras memeluk dirinya sendiri, menahan tubuhnya agar tidak ambruk di ambang pintu.
“Cepat cari solusi, Pak! Ibu sudah ditagih tetangga-tetangga! Mereka hina ibu! Bilang, punya menantu kaya kok malah ngutang di sana-sini!” Wati hampir menangis, suaranya serak.
Darma menghela napas berat. “Aku harus gimana, Wati... Rumah ini juga... rumah dari hasil jual rumah peninggalan orang tua Laras. Kalau sampai disita, kita benar-benar nggak punya apa-apa.”
Hening.
Kata-kata itu menampar Laras lebih keras dari apa pun yang pernah ia alami.
Rumah peninggalan orang tua Laras...?
Sebuah pertanyaan liar berputar di kepalanya.
Orang tua... Laras?
"Apa maksud mereka? Bukankah... bukankah aku ini anak mereka?"
Dunia Laras seketika runtuh. Semua kenangan, semua pengorbanan, semua kebaikan yang pernah ia lakukan untuk mereka—semuanya terasa sia-sia. Sejak kecil, ia sering merasa ada jarak yang tak kasat mata. Sherin selalu jadi prioritas. Laras? Laras hanyalah bayang-bayang yang mereka manfaatkan.
Air mata panas jatuh satu per satu di pipinya, tanpa ia sadari. Perihnya tak bisa dijelaskan—seperti luka lama yang baru tersayat lagi.
Tiba-tiba, gaun biru yang tadinya ingin ia ambil terasa begitu konyol. Apa gunanya menyelamatkan sepotong kain, ketika kenyataan baru saja menghancurkan seluruh pondasi hidupnya?
Apa yang baru saja ia dengar membuat dadanya seolah dihempaskan dari tebing tinggi. Hampa. Retak. Jatuh tanpa dasar.
Mereka tidak pernah benar-benar mencintainya. Hanya memanfaatkan keberadaannya. Ia bukan anak. Ia bukan darah mereka.
Laras membalikkan badan, berjalan cepat keluar rumah, menahan isak yang nyaris pecah. Ia tahu, jika ia tinggal satu menit lagi, ia akan jatuh berlutut di lantai, memohon penjelasan. Tapi ia sudah cukup dihina.
Malam itu, Laras bersumpah dalam hatinya.
Ia akan hidup bukan lagi untuk membuktikan apa pun pada mereka. Ia akan hidup untuk dirinya sendiri. Dengan caranya sendiri.
Dan kali ini, tak ada seorang pun yang akan menghentikannya.
...🍁💦🍁...
.
To be continued
semangat kak sehat selalu 🤲
kamu sudah lama menderita dan kamu pantas untuk bahagia Laras...
Semangatt kak lanjut... sehat selalu 🤲