Erie, seorang gadis berusia 19 tahun yang mempunyai nasib malang, secara tiba-tiba dinikahkan oleh bibi angkatnya dengan pria bernama Elden. Tidak hanya bersikap dingin, pria tampan nan kaya raya itu juga terkesan misterius seperti sedang menyembunyikan sesuatu dari Erie. Kira-kira bagaimana cara Erie bertahan di dalam pernikahannya? Apakah Erie bisa merebut hati sang suami ketika ia tahu ternyata ada wanita lain yang menempati posisi istimewa di dalam hidup suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mei Shin Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Afraid
Elden mendekati Jessie. Ia sempat terpisah dari wanita itu sebentar karena ia harus menemui perwakilan kedutaan dari negara tetangga yang datang ke kediaman Alvaro. Elden memperhatikan lawan bicara Jessie. Mereka adalah pria-pria paruh baya yang menjadi anggota dewan. Elden tersenyum sinis kemudian meletakkan tangannya di pinggang Jessie. "Maaf menganggu, bolehkah saya membawa wanita cantik ini kembali?" ujarnya menghentikan perbincangan mereka.
Walau sedikit terkejut dan kesal, tapi para pria itu tak punya pilihan selain mengizinkan Jessie pergi. "Tentu Tuan, Anda boleh membawa wanita Anda sekarang," ucap salah satu dari mereka.
"Terima kasih." Elden memandang Jessie dengan pandangan lembut. "Ayo," katanya sembari membawa Jessie ke taman belakang rumah. Ia mengajak Jessie ke salah satu sudut agar tidak terlalu tampak dari para tamu.
"Mereka hanya pria-pria konyol yang mendapatkan suara dengan cara kotor," ujar Jessie sambil mengalungkan tangannya di leher Elden.
Elden mengangkat sudut bibirnya sebelum berucap. "Tidak tertarik?"
Jessie semakin mendekatkan wajahnya pada wajah Elden. Aroma wine dari bibirnya dapat tercium dengan jelas oleh pria itu. "Untuk apa? Sebentar lagi mereka akan miskin."
"Benar, tapi sekarang mereka belum miskin. Lagipula mereka sangat berani mendekatimu meski mereka tahu kau adalah kekasihku."
"Ah! Apakah kau sedang marah?"
"Sedikit." Elden meletakkan kedua tangannya di pinggang Jessie dan merapatkan tubuh mereka. "Apakah kau tahu lelaki tua yang berjas merah di antara mereka?"
"Aku tidak kenal."
"Dia pemilik beberapa ratus hektar hutan lindung di wilayah bagian barat. Dia menggunakan kekuasaannya membuat undang-undang untuk memiliki hutan itu."
Jessie tersenyum. "Sekarang aku tertarik."
Elden mendekatkan bibirnya ke telinga Jessie. Ia berbisik lembut namun terdengar dingin dan penuh percaya diri. "Dia adalah targetku, Jessie." Usai mengucapkan kalimatnya, Elden mengangkat kepalanya. Akan tetapi, ia menangkap sosok perempuan yang sedang berjalan dengan langkah sempoyongan menuju ke salah satu tempat duduk yang ada di taman itu. Sosok itu adalah istrinya, Erie. Elden melepaskan tangannya dari tubuh Jessie. "Tunggu sebentar," katanya sambil mengusap kepala Jessie sebentar.
Dengan penuh pertanyaan, Elden mendekati Erie. "Kenapa kau berada di sini?" tanyanya kepada perempuan itu. Setelah tak mendapatkan jawaban, Elden bertanya lagi. "Kau kenapa?" Elden menunduk sedikit untuk bisa melihat wajah Erie dengan seksama. Wajah perempuan itu memerah. Matanya juga sayu dan gerakannya terlihat gontai. Sepertinya istrinya itu tengah mabuk. Siapa orang yang berani memberikan minuman beralkohol kepada perempuan itu? Sialan!
"Bagaimana kau bisa mabuk? Berdiri!" kata Elden kepada Erie. Entah mengapa hanya dengan melihat kondisi Erie yang seperti itu saja sudah membuat Elden begitu marah.
Bukannya mendengarkan, Erie justru menjawab perkataan Elden dengan berani. "Apa pedulimu?"
"Jangan membuatku marah! Cepatlah berdiri!" ucap Elden dengan nada meninggi.
"Kenapa? Aku ingin berada di sini."
Tidak. Jika Erie berada di tempat itu dengan kondisi seperti ini akan memicu banyak mata lelaki hidung belang untuk menatapnya. Elden sangat paham tabiat cabul para lelaki yang ada di dalam sana. "Oh, kau ingin berada di sini agar pria-pria itu bisa mendekatimu? Kau ingin menunjukkan betapa tak berharganya dirimu, hah?!"
"Apa maksudmu?"
"Lihatlah dirimu. Saat ini kau terlihat seperti wanita murahan dengan penampilan seperti itu."
Elden mengalihkan pandangannya. Matanya mencari-cari keberadaan Mario. Rasanya ingin sekali ia memaki pengawalnya itu karena membiarkan Erie dalam kondisi mabuk seperti itu.
Elden mendengar suara Erie, tapi ia tidak mendengar dengan jelas perkataannya karena perempuan itu berucap sambil bergumam. Elden baru menyadari bahwa Erie telah menjauh darinya ketika ia kembali memandang perempuan yang kini berada di dekat pohon.
Kejadian itu sungguh sangat cepat. Elden tak bisa mencernanya dengan baik, tapi ia bisa melihat sesosok orang menggunakan penutup kepala mendekati Erie dan menusuk perempuan itu. Refleks, Elden berlari mendekati Erie yang terjatuh di atas tanah. Ia tak menyangka malam itu, tangannya kembali berlumur darah. Namun kali ini, darah yang menempel di tangannya bukanlah darah para musuhnya seperti sebelumnya, melainkan darah dari istrinya sendiri.
"Vallerie! Vallerie!" teriak Elden memanggil nama istrinya yang kini ada di dalam pelukkannya dalam keadaan tak berdaya. Suara Elden yang keras itu menarik perhatian para tamu. Para penjaganya yang mendengar itu juga langsung mendekati Elden. Sebagian dari mereka mengejar pelaku penusukkan, sebagiannya lagi mengamankan tempat itu sampai Elden membawa Erie ke rumah sakit dengan menggunakan ambulan.
XXXXX
Beberapa hari berikutnya, Elden kembali melakukan rutinitas padatnya di perusahaannya. Ia telah menyelesaikan rapatnya pagi ini dan kini telah berada di dalam ruangannya.
Elden melepaskan jasnya dan melonggarkan dasinya. Ia merasakan penat dan letih. Ia menarik kursi di ruangan kantornya dan menjatuhkan dirinya di kursi kebesarannya itu dengan kasar. Elden menghela napas panjang sambil memandang bingkai foto di atas meja kerjanya. Foto seorang gadis yang tersenyum lebar kepadanya.
"Gadis kecilku, aku sangat merindukanmu," desah Elden. Ia meletakkan kepalanya di depan foto itu. Sudah berhari-hari pria itu tidak sempat untuk beristirahat. Ia benar-benar lelah dan kemudian berangsur-angsur terlelap dalam tidurnya.
Flashback On
Siang itu, semua tiba-tiba berubah. Ini terlalu cepat untuk Elden dan adiknya. Ia tidak bisa menerimanya. Ia sangat marah. Tuan Besar Alvaro, pria yang dipanggilnya sebagai papi itu memutuskan untuk menikah lagi. Padahal hari itu adalah peringatan satu tahun kematian maminya. Dan sialnya, sang ayah malah menikahi sekretaris kepercayaan ibunya.
Sebenarnya Elden tak terlalu mempermasalahkan jika ayahnya menikah dengan Bibi Diana, nama sekretaris ibunya itu. Hanya saja Elden kecewa dengan ayahnya. Seharusnya ayahnya itu tidak menghancurkan kepercayaan sang ibu seperti ini, di waktu sekarang.
"Aku tidak setuju," kata Elden tegas. Ia berkata seperti itu ketika mendengar pengumuman pernikahan yang di sampaikan oleh ayahnya saat acara peresmian salah satu cabang perusahaan di kota New York. Elden memang sudah diperintahkan oleh pria itu untuk menjadi pewarisnya sejak usia Elden menginjak 10 tahun. Itulah sebabnya, hampir setiap hari, selama 4 tahun ini, Elden selalu mengikuti ayahnya dalam melakukan perjalanan bisnis.
"Kenapa kau tidak setuju?" tanya Tuan Besar kepada putra sulungnya itu.
"Mamiku baru meninggal setahun lalu dan kau ingin menikah lagi?" kata Elden meninggikan suaranya. Sejak sang ayah mengusir ibu dan adik laki-lakinya, sejak itulah Elden mulai membencinya.
Alasan pengusiaran yang didengar oleh Elden adalah perselingkuhan. Itu sangat tidak masuk akal. Mana mungkin ibunya yang lemah lembut itu melakukan hal seperti itu? Ini pasti akal-akalan ayahnya. Pasti pria itu yang berselingkuh, tetapi ia menuduh ibunya yang berkhianat. Sungguh Elden muak untuk menyebutnya sebagai ayah lagi.
"Lalu apa masalahnya?" ucap Tuan Besar cuek. Ia duduk di dalam ruangan kantor barunya itu.
"Apa masalahnya? Kau yang telah membuat mami meninggal dan sekarang kau mau menikah?" kata Elden yang baru berusia 14 tahun itu menantang ayahnya.
"DIAAM! Kau tidak tahu masalahnya!" Tuan Besar membentak Elden. Namun, Elden sama sekali tidak takut. Ia sudah biasa dengan bentakkannya. Bahkan ia juga sudah biasa menerima siksaan dari pria itu.
"Bagaimana kau bisa menyebut dirimu sebagai suami mamiku? Bahkan kanker yang dialami mami pun kau tidak tahu," kata Elden lagi. Jika perselingkuhan adalah alasan yang diberikan kepada Elden untuk menjawab mengapa ibu dan adiknya meninggalkan rumahnya, maka kanker merupakan alasan lain untuk menjelaskan penyebab kematian ibunya yang sangat mendadak.
Mendengar perkataan Elden membuat Tuan Besar naik pitam. "Berani sekali kau kepada papimu!"
"Papi? Siapa? Sejak mami dan Daniel kau usir, aku sudah menganggap papiku telah mati!"
PLLAAAKKK
Satu tamparan keras dari Tuan Besar mendarat di pipi Elden. Elden sama sekali tidak merasakan sakit. Menurutnya, rasa sakit atas perlakuan orang itu terhadap ibunya lebih menyakitkan dari apapun.
Dengan tersenyum sinis, Elden berkata kepada pria itu. "Terserah apa yang ingin kau lakukan. Tapi perlu kau ingat, jika kau menikah, maka aku akan keluar dari rumahmu!" ancam Elden kepadanya.
Elden meletakkan dokumen-dokumennya di atas mejanya dan keluar dari ruangan itu. Elden berjalan area parkir untuk mencari mobilnya. Setelah menemukannya, Elden memacu mobilnya dengan kecepatan penuh.
Elden ingin sekali pergi menyusul ibunya oleh sebab itulah setahun yang lalu Elden belajar menyetir mobil secara diam-diam di organisasi. Awalnya ia pikir ia akan cepat mati jika mengendarai mobil dengan cara tidak benar. Namun, ingatannya tentang Daniel menghentikan tekadnya untuk mati. Ia tidak tega dengan adiknya itu. Ia harus bisa bertahan untuk bisa menghidupi Daniel di kota New York ini.
Setelah satu jam berkeliling kota tanpa tujuan, akhirnya Elden memutuskan untuk pergi ke suatu tempat. Tempat yang sering ia, ibunya dan Daniel kunjungi dulu. Tempat itu adalah sebuah taman yang terletak tak jauh rumah ibunya yang sekarang menjadi tempat tinggal Daniel.
Sudah lama sekali Elden tak menginjakkan kaki ke taman itu. Terakhir kali Elden datang adalah lima tahun yang lalu sebelum ia dijemput paksa oleh ayahnya dan dipisahkan dengan ibu dan adik laki-lakinya. Sebenarnya, saat sang ayah mengusir ibu setahun sebelumnya, beberapa hari kemudian Elden nekat mengikuti ibunya untuk tinggal di New York. Namun, kebersamaan mereka hanya bertahan setahun. Ayahnya yang mengetahui Elden berada New York dan bukannya di organisasi, marah dan memaksa Elden untuk tinggal bersamanya. Setelah itu, Elden benar-benar dikurung di dalam organisasi. Ia belajar, makan, melatih fisik dan melakukan semua kegiatannya di dalam sebuah gedung bersama dengan anak-anak berusia sama dengannya, termasuk Mario.
Elden memarkirkan mobilnya dan berjalan ke dalam taman. Ia melihat tidak ada yang berubah dari taman itu. Masih tetap indah dengan hiasan beraneka macam bunga dan pepohonan yang rindang. Hanya satu yang bertambah, yakni sekumpulan bunga tulip yang tidak tahu sejak kapan ada di sana.
Elden menghirup udara segar. Ia sedang duduk di sebuah bangku yang terletak di tengah-tengah taman. Suasana taman ini membuatnya merindukan ibunya. Sampai detik terakhir ia tidak bisa melihat sang ibu karena pada saat yang bersamaan, Elden tiba-tiba jatuh sakit sehingga berada di dalam rumah sakit. Mengingat itu membuat Elden tanpa terasa meneteskan air mata.
Tiba-tiba, sebuah bola kecil menghantam kepalanya. Elden menjerit karena terkejut.
"Maafkan aku kak!" ujar seorang gadis kecil berlari menghampirinya. "Ma..maaf kak. Aku tidak sengaja melemparkan bolanya," katanya dengan napas terengah-engah. Penampilan anak kecil itu sangat berantakan. Sepatunya kotor, celana panjangnya terkoyak dan bajunya sangat lusuh. Kening dan lututnya terluka. Sepertinya ia baru terjatuh.
"Apakah sangat sakit kak? Maafkan aku, aku benar-benar tidak sengaja." Dengan gemetar, tangannya menyentuh kening Elden, tepat di mana bekas lemparan bola tadi. "Kakak sampai menangis? Maaf.. Pasti kakak sangat kesakitan."
Elden terkejut. Ternyata gadis itu mengira ia menangis karena lemparan bola yang sebenarnya tidak terasa menyakitkan baginya.
"Aku hanya membawa satu. Semoga ini bisa mengobati luka kakak," ucap anak kecil itu terus mengoceh. Ia mengambil sebuah plester dari dalam saku celananya dan menempelkan plester luka itu ke kening Elden. "Sudah selesai. Aku pulang dulu kak. Mama sudah menungguku di rumah. Sekali lagi aku minta maaf kak. Semoga kakak cepat sembuh," ujar gadis itu seraya tersenyum lebar kepada Elden sebelum ia pergi meninggalkannya sendiri di taman itu.
Elden sangat heran dengan sikap gadis itu. Anak kecil itu sangat mengkhawatirkan orang lain padahal dirinya sendiri terluka. Tapi entah mengapa, sikap itulah yang mampu menghentikan kesedihannya.
Sejak hari itu, hampir setiap sore Elden menyempatkan diri untuk mampir ke taman itu. Elden selalu ingin bertemu dengan gadis kecil itu. Ternyata gadis yang baru berusia enam tahun itu sangat suka mengejar kelinci yang ada di taman. Penampilannya saat pertama kali mereka bertemu pun ia dapatkan karena mengejar kelinci putih yang bersembunyi di taman itu. Senyumnya, tawanya dan tingkah konyolnya mampu menyingkirkan kesedihan dan beban Elden untuk sejenak. Tanpa terasa Elden mulai menyukai perasaan itu. Perasaan yang sama ketika ia dekat dengan ibu dan adiknya. Perasaan ingin melindungi dan menjaganya.
"Kau sedang mencari apa?" tanya Elden di suatu hari ketika gadis itu sedang menengok-nengok ke kanan dan ke kiri seperti sedang mencari sesuatu.
"Mama belum menjemputku. Biasanya Mama tidak pernah terlambat menjemputku," katanya dengan nada khawatir.
"Rumahmu di mana? Mau kakak antar?" tawar Elden padanya.
Wajah gadis kecil itu berubah ceria. "Benarkah kak?"
Elden tersenyum. "Tentu."
Anak kecil itu membalas senyuman Elden. "Terima kasih kak."
"Ayo, sebelum hari menjadi gelap," ujar Elden sembari menggenggam tangan kecilnya dan menuntunnya menuju ke mobil.
Tak lama kemudian mereka tiba di sebuah rumah yang cukup besar. Gadis itu sepertinya memiliki ingatan yang sangat tajam. Ia menunjukkan arah yang tepat padahal rumahnya cukup jauh dari taman. Dan ternyata rumah itu adalah milik Tuan Gavin, seorang arsitek kaya yang sangat terkenal. Bahkan dulu, Tuan Besar Alvaro ingin bekerja sama dalam proyek pembangunan perusahaan. Namun, Tuan Gavin menolak mentah-mentah tawaran ayahnya. Tak disangka gadis itu adalah putri arsitek itu.
"Ini rumahku kak. Terima kasih kak sudah mengantarkanku," kata gadis itu sembari tersenyum kepada Elden. Elden membalas perkataannya dengan senyuman pula. "Hati-hati, kak. Sampai jumpa," ucap gadis itu lagi sambil membuka pintu dan keluar dari mobil.
Anak itu berjalan menuju gerbang dan membukanya. Tiba-tiba sesosok bayangan pria mendekati gadis itu. Pria itu menusuk gadis kecil itu dengan pisau dan kemudian ia melarikan diri. Dengan panik, Elden keluar dari mobil dan mendekati gadis yang sudah tergeletak tak berdaya di tanah itu.
Elden mencabut pisau dari perutnya dan mencoba menghentikan darah yang mengalir deras dari perutnya dengan kedua tangannya. Elden menggocang-goncangkan tubuhnya dan meneriakkan namanya. Namun, gadis itu tak kunjung membuka matanya. Elden menyentuh pergelangan tangan gadis itu dan ia tak merasakan denyut nadinya. Air mata Elden mulai menetes. Ini tidak mungkin terjadi! Tidak!
TTTIIIIDDDAAAKKK!
Flashback Off
"TIDAK!" teriak Elden. Ia terbangun dari tidurnya. Mimpi itu ia rasakan kembali. Mimpi ketika ia kehilangan gadis kecilnya. Wajahnya sangat pucat. Ia meneguk segelas air untuk menenangkan pikirannya. Ia kembali memandang bingkai foto yang ada di mejanya itu. Sudah cukup! Katanya dalam hati. Ia memanggil Mario untuk datang ke ruangannya.
"Mario, ayo kita selesaikan! Aku sudah muak dengan permainan ini!" katanya kepada pengawal setianya itu.
"Baik, Tuan. Saya akan menyiapkan segala sesuatunya," ucap Mario lalu keluar dari ruangan Elden.
"Tunggu aku gadis kecilku. Aku akan menjemputmu," kata Elden sambil mencium bingkai yang berisi gadis kecil dari masa lalunya itu.
XXXXX
Dukung novel ini dengan tinggalkan like, comment dan vote...
Danke ♥️
By: Mei Shin Manalu
katanya bucin
apa BAWA ya...
Kl diangkat ke layar lebar pasti penonton nya kyk semut antrinya
kereeen